Review Buku Helium Mengelilingi Kita - Qomichi
Judul : Helium Mengelilingi Kita
Penulis : Qomichi
Jenis Buku : Sastra Fiksi, Coming of Age
Penerbit : MCL Publisher
Tahun Terbit : Maret 2023
Jumlah Halaman : 246 halaman
Dimensi Buku : 14 x 20,5 cm
Harga : Rp. 110.000*harga sewaktu-waktu dapat berubah
ISBN : 9786235915258
Softcover
Tersedia di MCL Publisher
Sekelumit Tentang Isi
Lium sangat berpengaruh dalam hidup Helena. Dia jadi teman main, kakak, bahkan berperan sebagai orang tua bagi gadis itu. Mereka mengalami dunia kanak-kanak yang unik, bermimpi besar, tapi takdir Lium dan Helena akhirnya bercabang.
Di SMA krisis dan keraguan Helena semakin tebal. Dia bertemu dengan Ruri, siswa religius dengan masalah mental akut. Hubungan ini memaksa Helena mengambil risiko yang mengubah kehidupan teman dan dirinya sendiri.
Helena berharap Lium akan kembali dan menemaninya kala dewasa, namun guncangan terjadi lagi dan kali ini mengubah segalanya.
Helium Mengelilingi Kita membentangkan kisah gadis yang imajinatif, meski kehidupannya kompleks dan kerap kecewa oleh kenyataan. Dituturkan secara atraktif, novel ini mengusik emosi karena menyinggung perkembangan diri, kesehatan mental, pengaruh sosial, dan cara seseorang memutuskan di saat yang gawat.
Rekomendasi
Interesting and thought provoking. Rekomendasi penuh dari saya untuk dibaca.
Catatan: kecanduan alkohol, bunuh diri, disfungsi keluarga, kesehatan mental, ateis, dll.
This Book Review Might Have Spoiler!
Tokoh dan Karakter
Helena
Lium
Nelly
Nenek
Ruri
Clara
Nurul
Sarmila
Sanju
Leonnie
Meski kesannya banyak, tapi tokoh utama di novel ini cukup jelas karena porsinya yang berbeda. Ada Helena, Lium, dan Ruri, ditambah minor karakter, Sarmila, Sanju, dan Nurul, Nenek, Leonnie, dan lain-lain.
Lium tumbuh besar dalam keluarga disfungsi dengan ayah seorang pemabuk dan ibu yang sering ke luar malam. Helena ditinggal meninggal ibunya dan tidak mengenal ayahnya, ia hidup dengan Nenek yang taat beribadah dan sayang padanya. Jika ditarik sebab akibat, mungkin pengaruh Nenek memberikan fondasi tanpa sadar pada Helena dalam hal akidah berbeda dengan Lium yang tidak punya siapapun yang mengarahkannya pada agama kecuali yang ia dapat dari sekolah. Novel Helium Mengelilingi Kita memang asyik untuk bahas diskusi psikologis penokohan.
Sulit bagi Lium rasanya menerima kenyataan tentang balon tak terkutuk. Aku pun sempat ikut sedih jadinya. kedua keluarga kami tidak kaya. Ayah Lium suka minum-minum sementara ibunya perempuan yang suka ke luar. sedangkan ayahku pergi entah ke mana dan Ibu ada di langit. hanya Nenek yang membersamaiku.
Meski deskripsi fisik tokoh minim (hanya dinyatakan sedikit-sedikit dengan kata "cantik", "populer" dll) tapi sisi karakter tokoh dibuat sangat menonjol and it works. Saya paham perang batin Helena, kegetiran dan keputusasaan Lium, dan penderitaan Ruri. Tiga tokoh ini mewakili kisah coming of age mereka yang tumbuh besar dalam asuhan keluarga yang berkondisi khusus, sebut saja penuh trauma dan depresi. Isu mental memang sangat digarisbawahi di novel Helium Mengelilingi Kita.
Sabar saja, karena awalnya memang seolah tidak ada protagonis di buku ini, tapi di akhir kita akan menyimak total transformasi para tokoh yang membuat kita bisa berempati dengan perjuangan hidup mereka yang tidak mudah. Khususnya berkaitan dengan keimanan, saya menghargai perjalanan menuju menemukan dan akhirnya menjadikannya sebenar-benarnya keyakinan.
Alur dan Latar
Alur maju dengan kecepatan sedang cepat jauh dari kata membosankan. Cerita disampaikan dari sudut pandang orang pertama (Helena) yang memberikan pembaca kesempatan yang banyak untuk bisa menyelami perasaan dan pikirannya dengan cara yang mendalam.
Menariknya, kisahnya sendiri tidak jelas dimana lokasi dan tahun berapa-nya. Sebagai gantinya cukup disebutkan kampung, kota, dan kita bisa menebak-nebak latar waktu cerita berlangsung di abad 21 karena sudah para tokohnya yang sudah menggunakan smartphone. Dari perbincangan saya dengan kak Qomichi di IGLive The Book Feature, ternyata beliau memang menyengaja menggunakan lokasi dan tahun yang samar untuk novelnya agar bisa diterima secara lebih luas oleh pembaca, tanpa pelabelan atau pengotakan desa dan kota tertentu di tahun tertentu pula. Pilihan ini sesuai untuk tema mental health yang ada di dalam buku yang nyatanya terjadi dimana-mana bahkan level dunia.
Opini - Yang menarik dan atau disuka dari Buku ini
Dimana Tuhan ketika hidup begitu dihimpit beban, hingga lelah dan ingin mengakhirinya? Dimana Tuhan ketika orang-orang yang dicinta pergi meninggalkan? Mengapa shalat dan berdoa jika doa-doa yang dipanjatkan nyatanya tidak menjadi nyata? Siapa aku sebenarnya? Apakah aku layak mencintai dan dicintai? Untuk apa hidup?
Novel coming of age karya Qomichi mulus membungkus semua pertanyaan-pertanyaan paling esensial yang berkecamuk di benak kita semua. Lewat tokoh Lium (ayahnya pemabuk, ibu sibuk entah apa), Helena (ibunya tiada, ayah entah siapa), dan Ruri (ayah pemuka agama dengan gosip miring, dan ibu yang menderita sakit berat) kita tenggelam dalam kalut dan gelapnya kehidupan, berjuang mencari pembenaran dan bertahan dengan iman.
Helium Mengelilingi Kita mengangkat isu-isu berat dan sensitif, seperti kesehatan mental, trauma masa kecil, keyakinan diri, harga diri, ketimpangan sosial, ateis, dan masih banyak lagi.
Isu ketimpangan sosial dalam kaitannya dengan pendidikan dituangkan dalam beberapa dialog dan adegan masa kanak-kanak Helena, misalnya, tentang les yang mahal menunjang kepintaran anak dan ini hanya bisa diakses oleh orang yang punya uang.
"Enak ya bisa pintar. Apalagi kayak Clara, dia ikut les sama kayak anak-anak kompleks."
"Kalau gitu ayok kita ikut les juga, San. Supaya sama pintarnya.,"
Sanju menghela napas dengan bibir tertekuk. Ia menggeleng pelan seraya mengendikkan bahu. "Katanya harus bayar. Mahal pula tuh."
Mendengar hal itu aku jadi kecewa. Aku melirik Clara sejenak. Salah satu teman kelas yang paling berada di sekolah negeri kami. Sampai hari ini pun aku bahkan baru tahu jika menjadi pintar harus membayar sebanyak itu. Menurutku aku pintar, tapi aku hanya lima besar di kelas. Lium juga pintar meski hanya peringkat tiga. tampaknya Kak Doni ikut les juga sehingga bisa menyabet peringkat pertama.
Halaman 12
Tidak hanya isu ketimpangan akses edukasi yang diangkat, saya pribadi menyukai dialognya yang menarik, membuat ruang refleksi dan kontemplasi tentang situasi pendidikan dan sosial dengan tetap mengusahakan gaya berpikir kanak-kanak yang polos.
Di sekolah, guru mengatakan padaku bahwa aku anak yang baik dan pintar. Lium juga mengaku jika dia sering dipuji guru dengan hal yang sama. Kata guru, semakin rajin kita ke sekolah, semakin membaut kita menjadi pintar. Dan kata Lium, jika kita pintar, itu akan memudahkan kita menjadi orang kaya.
"Kau sendiri tahu kan, orang yang pintar itu kerjanya di kantor-kantor." Lium bercerita dalam perjalanan pulang sekolah. "Kayak ayah Nelly, dia kerja di kantor. Jadi kaya deh."
"Kata Sanju juga kalau pintar harus les kayak Nelly."
"Bukannya terasa kayak kita sekolah dua kali, ya? Dony pernah cerita sih."
Aku bergidik. "Gak tahu, tapi yang pintar-pintar di sekolah kayaknya orang kaya semua. Nelly saja ranking di kelas A."
"Pantas saja mereka kaya."
Setelahnya, aku menceritakan hal ini pada Nenek. Nenek mengatakan jika kita ingin lebih pintar lagi, kita harus mendapatkan ilmu sebanyak-banyaknya. Kemudian kata kepala sekolah yang berdiri di depan semua orang hari Senin kemarin, ilmu itu wajib didapatkan dan ilmu itu mahal.
Mahal berarti tidak murah. tidak murah berarti memerlukan banyak uang untuk mendapatkannya. "Berarti untuk benar-benar jadi pintar harus kaya." Aku membenarkan yang dikatakan Sanju dan menyampaikannya kepada Lium.
"Tapi, kita juga pintar kok." Lium membantah meski tahu jika kami sudah kalah.
"Tapi, kita gak lebih pintar dari anak-anak kompleks. Aku ranking empat di kelas B bukan kelas A. Tahun depan mungkin Clara yang bisa masuk kelas A. Aku nggak."
Lium menganggaruk kepala gusar karena dia juga hanya ranking di kelas B. Kelas A dianggap sebagai wadah para murid pintar meski sebenarnya hanya diisi anak-anak berada. Hanya saja saat itu pemikiran kami tetap, kelas A merupakan kelas anak-anak pintar dan pintar berarti mereka kaya.
Halaman 13
Ketika para tokoh makin dewasa, dialog-dialog ini juga tetap menarik diikuti dan menjadi salah satu bagian yang paling saya suka karena mampu membawakan topik yang sulit namun dapat disampaikan dengan baik.
Misalnya topik shalat yang kerap menimbulkan tanda tanya di dalam diri apakah benar shalat dapat membuat hidup lebih baik, sedang untuk orang-orang yang sedang mengalami ujian tampak jelas tidak mengubah apa-apa.
Aku menatap langit perlahan dan menekuk kedua lututku sembari memeluknya. "Nenek pernah bilang, tak peduli kita ada di mana, selagi kita berpijak di bumi Allah, kita selalu berada dalam perlindungannya."
Lium mengerjap pelan. "Kau masih salat?"
Aku mengendikkan bahu. "Terkadang."
Lium mencibir. "Aku tidak salat lagi. tapi, aku masih percaya pada-Nya terkadang." Ia turut mendongakkan kepala ke langit. "Salat tidak mengubah Ayah jadi tidak mabuk-mabukan. Lagi pula Ayah dan Ibu tidak salat. Satu-satunya cara hanyalah minggat dan membangun hal baru di pusat kota."
Tapi, Nenek salat dan dia tetap baik. Aku tidak berencana meninggalkannya. "Kau tahu, Lium? Sewaktu Ayah pergi, aku tak pernah melihat Ibu salat lagi. Setahun kemudian dia meninggal dan Nenek pernah bilang kalau itu tidak bagus."
"Pernahkah kau bertanya pada nenekmu apakah dengan ibumu salat, ayahmu akan kembali?"
Desiran angin seketika menerbangkan anak rambut kami dan membungkam mulutku. Lium menunjukkan senyum kemenangannya. "Semuanya tidak akan berubah. Seperti balasan dari surat untuk langit. Kau tahu apa yang terjadi jika kita mengirimkan surat itu dulu? Kita akan menunggu balasan sampai kita mati, padahal balasan itu tidak pernah ada."
Halaman 25
Atau pertanyaan tentang menikah, apa itu menikah, mengapa orang mau menikah tanpa cinta, dan lain sebagainya.
"Gara-gara ibunya, Lium jadi gak percaya sama menikah." Aku tertunduk dengan dagu yang ditopang tekukan lutut. Mataku menatap Nenek yang mengucap takbir seiring dengan manik tasbihnya. "Sudah beberapa hari dia gak mau nemuin Helena. Dia marah soalnya menikah mungkin bakalan bikin kami jadi seperti ibu dan ayahnya."
"Keluarganya memang tidak harmonis," Nenek menjawab. Cerita tentang Ayah dan Ibu yang seperti orang paling bahagia di muka bumi, benar-benar versi berbeda dari cerita Ayah dan Ibu Lium. Nenek juga menambahkan bahwa setiap insan tidak selalu memiliki kisah yang sama. "Orang tuanya memang tidak mempunyai ikatan pernikahan yang baik, tapi bukan berarti Lium tidak akan punya hubungan yang baik pula."
Ingin aku mengatakan hal yang serupa kepada Lium nantinya. Namun, seberapa keras kepala laki-laki itu, sama batunya seperti hati yang ia miliki.
"Kalau tidak saling mencintai, mengapa mereka justru menikah?"
Lama Nenek berpikir dalam semedinya. "Ya... beberapa orang menikah hanya sebagai pelengkap kehidupan. Kompromi. Tak apa tak saling cinta, yang penting menikah. Dengan begitu salah satu urusan agama lengkap."
Lalu bagaimana dengan Adam dan Hawa? Tidakkah setiap orang seharusnya hidup bahagia bersama? Jika Ayah atau Ibu Lium tidak bahagia seperti yang Lium maksudkan, lalu kenapa mereka dulu menikah? Hanya melengkapi tugas agama? Tidakkah hal ini terlalu disepelekan?
..
Nenek menjelaskan bahwa tak semua yang kita inginkan adalah sesuatu yang kita butuhkan. "Ada beberapa alasan yang Allah buktikan bahwa Ia hanya memberikan hal-hal yang kita butuhkan meski kita tidak menginginkan."
Halaman 33
Topik makin sensitif ketika mengangkat soal pindah agama dan keraguan terhadap keberadaan Allah.
"Arghhh!" Lium menggeram dan meninju pohon yang ada di sampingnya. AKu memejamkan mata sekilas dan melihat kepalan tangannya yang berdarah. Lium kemudian berteriak dan menyumpah serapah dengan emosi yang meluap-luap. "Allah tidak ada, oke. Allah itu tidak ada." Dia meneriakiku.
"Kalau Dia ada, kenapa Dia tidak mengajariku untuk taat seperti anak-anak lain? Kenapa Dia membiarkanku lahir di keluarga yang tak pernah ngajarin salat? Kenapa Dia membiarkan ibuku menikah sama orang non-muslim? Kenapa? Kenapaa?!"
Mataku mengerjap melihatnya seperti itu. Rasanya sakit. AKu bahkan dapat merasakan dirinya yang kesakitan.
"Kalau Dia ada kenapa Dia tidak menempatkan kami bersama orang-orang yang baik? Kenapa kami selalu dibuat tidak baik?" Lium mulai memukuli dirinya sendiri.
"Stop." Aku menahan Lium yang hendak membenturkan kepala pada batang pohon. "Stop!"
Halaman 46
Dan salah satu puncak topik yang paling menarik adalah tentang ateis ketika tokoh utama novel ini merasa bahwa percaya Tuhan atau tidak ternyata tidak mengubah apapun, meski sebagian doa dikabulkan tapi tetap saja tidak bahagia. Saya penasaran seperti apa eksekusi penulis terhadap topik ini.
"Kau mengatakan hal itu karena Allah tidak mengabulkan doa-doamu?"
Aku termenung sejenak. "Sebagian iya, sisanya tidak. Allah mengabulkan beberapa doa kami dan kami tidak bahagia."
Dapat kupastikan Ruri memikirkan kata 'kami' yang baru saja aku sebut. Laki-laki itu berkutat dengan kemelut pikiran kontrasnya. "Tidakkah kau berpikir Allah sedang mengujimu?"
"Dia menguji semua orang dan membuat orang berpikir untuk meninggalkan-Nya. Sampai semua orang benar-benar meninggalkan-Nya."
Halaman 79
Kehadiran tokoh-tokoh utama yang berlatar belakang keluarga tidak bahagia dengan beragam problematika juga menyadarkan sekali lagi bahwa ujian hidup itu tidak bisa disamaratakan 'rasanya', persis seperti yang dikatakan oleh Helena tentang Sanju yang tidak pernah kehilangan ibu, tak pernah kehilangan orang yang ia percaya, tak pernah merasa ditipu, tidak sama seperti dirinya, Lium, atau Ruri. Di sini saya jadi berpikir tentang berat ringannya ujian hidup tiap orang, mungkin sekali apa yang saya kira mudah sebenarnya berat bagi yang mengalami, vice versa. Oleh karena itu saya percaya, Allah memberikan porsi cobaan kehidupan masing-masing setara kemampuannya. Atau Teman-Teman punya opini yang berbeda? Atau pertanyaan renungan lanjutan?
Sanju memang anak yang dewasa, tapi ini lain cerita. Sanju tak pernah kehilangan ibu, tak pernah kehilangan orang yang ia percaya, tak pernah merasa ditipu. Mana paham dia dengan diriku. Keluarga Lium tak salah mendapat masalah, Nenek salat pun kena banyak getahnya. Apa bedanya hal itu?
Kebetulan besoknya ada pengajaran anak rohis secara perdana dan aku mminta Nurul menanyakan perihal itu pada pembina rohis kami.
"Setiap hamba Allah baik mereka yang beriman maupun yang tak beriman sudah diberi porsi masing-masing dalam cobaan kehidupannya. Jadi tidak ada bedanya dan seterusnya.. dan seterusnya..."
Kira-kira itulah poin yang dapat kutangkap dari jawaban yang kubutuhkan. Cukup adil mengingat pembimbing dapat menjawab dengan cara yang lebih mudah dimengerti daripada jawaban Nenek. Namun, tetap saja beberapa hal terasa berat sebelah, terutama tentang cara orang beriman atau tidak mendapat porsi menyelesaikan masalahnya,
Halaman 83
Untuk ke depannya saya penasaran apakah kak Qomichi bisa menghadirkan kisah yang sama mendalamnya seperti Helium Mengelilingi Kita namun dengan deskripsi fisik tokoh yang lebih detail, permainan alur kombinasi plus flashback, dan pov kombinasi. Selain itu, meski sepele, tapi saya sempat bertanya-tanya dan merasa terganjal dengan kata ganti yang digunakan Helena yang saat itu masih usia kanak-kanak ketika membahasakan Lium dengan kata 'laki-laki'. Secara tata bahasa laki-laki memang untuk segala umur, tapi saya terbiasa dengan "anak laki-laki" jika usianya masih belia, apalagi kata ganti ini digunakan oleh Helena yang juga masih anak perempuan. Mungkin justru karena masih anak-anak maka kegamangan kata ganti Helena ke Lium justru dianggap normal. Entahlah.
"Kalau kita minta baik-baik sama ayahnya Nelly, kita pasti dikasih," kataku dalam kebuntuan mengenai Lium yang memikirkan tentang balon. Lium membantah, sebab orang-orang di kompleks tidak ada yang memperlakukan anak dusun dengan baik. mereka tidak akan memedulikan kami.
Hal tersebut tentu tidak melunturkan tekad Lium. Laki-laki itu selalu mencoba segala hal agar semua yang direncanakan berjalan seperti yang sudah ia bangun. "Kalau ibumu memang di sana, hidup kamu bisa bahagia nantinya."
Halaman 9
Secara total, saya suka sekali dengan novel ini karena ceritanya yang deep, emosional dan dramatik, dibingkai kisah cinta yang pas membawakan isu-isu kesehatan mental para tokohnya. Tak mengherankan karena Qomichi memang berlatar belakang pendidikan psikologi. Jangan khawatir, ending-nya memberikan ruang bagi kita untuk release semua emosi sehingga tidak menjadi beban berkepanjangan.
Sebagai penutup review ini, ada satu kutipan di buku yang saya paling ingat yakni soal kegilaan yang disebutkan di dalam buku sebagai berikut:
"Gila yang sebenarnya itu ketika kita sudah tidak ingat lagi dengan Allah."
Halaman 76
Helium Mengelilingi Kita sejatinya adalah novel coming of age yang menggarisbawahi pesan fungsi keluarga dalam proses tumbuh kembang manusia, transformasi diri, dan bagaimana sebuah keputusan bisa mempengaruhi masa depan seseorang. Novel ini juga bernuansa religi, membacanya membuat saya merasa mengenal Tuhan lebih baik lagi.
Simak video bincang buku Helium Mengelilingi Kita ini bersama Qomichi di IGLive @dipidiffofficial
Tertarik baca?
Siapa Qomichi
Qomichi menyukai anak-anak, hutan, burung-burung, langit, dan barang-barang lama. "Susah Move On" adalah nama tengahnya (kalau ada). Seorang pecandu realistic fiction, sering bertengkar dengan adaptasi. Selalu merasa bahwa isu sosial sebagiknya diangkat ke permukaan dan patut dibicarakan. Prestasi terbesarnya adalah tetap bernapas.
Helium Mengelilingi Kita merupakan novel kedua dan naskah ketiga yang terbit dalam naungan penerbit.
Sumber: Buku Helium Mengelilingi Kita
Profil misterius kak Qomichi ini akhirnya sedikit terungkap setelah IGLive The Book Feature Dipidiff kak Qomichi bercerita tentang aktifitasnya yang baru saja beres skripsi Fakultas Psikologi.
-------------------------------------------------------------------------
Dipidiff.com adalah sebuah media edukasi yang menginspirasi melalui beragam topik pengembangan diri, rekomendasi buku-buku, dan gaya hidup yang bervibrasi positif.
Diana Fitri, biasa dipanggil Dipi, adalah seorang ibu yang gemar berkebun, dan rutin berolahraga. Gaya hidup sehat dan bervibrasi positif adalah dua hal yang selalu ia upayakan dalam keseharian. Sambil mengasuh putra satu-satunya, ia juga tetap produktif dan berusaha berkembang secara kognitif, sosial, mental dan spiritual.
Lulusan prodi Pemuliaan Tanaman Universitas Padjadjaran, Dipi lalu melanjutkan studi ke magister konsentrasi Pemasaran, namun pekerjaannya justru banyak berada di bidang edukasi, di antaranya guru di Sekolah Tunas Unggul, sekolah kandidat untuk International Baccalaureate (IB), dan kepala bagian Kemahasiswaan di Universitas Indonesia Membangun. Setelah resign tahun 2016, Dipi membangun personal brand Dipidiff hingga saat ini.
Sebagai Certified BNSP Public Speaker dan Certified BNSP Trainer, serta certified IALC coach, Dipi diundang oleh berbagai komunitas dan Lembaga Pendidikan untuk berbagi topik membaca, menulis, mereviu buku, public speaking, dan pengembangan diri, misalnya di Kementrian Keuangan, Universitas Negeri Semarang, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, BREED, Woman Urban Book Club, Lions Clubs, Bandung Independent School, The Lady Book Club, Buku Berjalan.id, SMAN 24 Bandung, SMAN 22 Bandung, dan lain-lain. Dipi juga pemateri rutin di platform edukasi www.cakap.com . Dipi meng-coaching-mentoring beberapa remaja dan dewasa di Growth Tracker Program, ini adalah program pribadi, yang membantu (terutama) remaja dan dewasa muda untuk menemukan passion dan mengeluarkan potensi mereka.
Berstatus bookblogger, reviu-reviu buku yang ia tulis selalu menempati entry teratas di halaman pertama mesin pencari Google, menyajikan ulasan terbaik untuk ribuan pembaca setia. Saat ini Dipi adalah brand ambassador untuk Periplus Bandung dan berafiliasi dengan Periplus Indonesia di beberapa event literasi. Dipi juga menjadi Official Reviewer untuk Republika Penerbit dan berpartner resmi dengan MCL Publisher. Kolaborasi buku-bukunya, antara lain dengan One Peach Media, Hanum Salsabiela Rais Management, KPG, Penerbit Pop, Penerbit Renebook, dan Penerbit Serambi. Reviu buku Dipi bisa dijumpai di www.dipidiff.com maupun Instagram @dipidiffofficial. Dipi host di program buku di NBS Radio. Dulu sempat menikmati masa dimana menulis drop script acara Indonesia Kemarin di B Radio bersama penyiar kondang Sofia Rubianto (Nata Nadia). Podcast Dipi bisa diakses di Spotify DipidiffTalks.
Let's encourage each other to shape a better future through education and book recommendation.
Contact Dipidiff at DM Instagram @dipidiffofficial
TERBARU - REVIEW BUKU
Review Buku The Quiet Tenant - Clémence …
23-08-2023 Dipidiff
National Best Seller One of The Most Anticipated Novels of 2023 GMA Buzz Pick A LibraryReads #1 Pick One of The Washington Post’s Notable Summer Books 2023One of Vogue’s Best Books of 2023One of Goodreads’s Most Anticipated Books...
Read moreReview Buku The Only One Left - Riley Sa…
23-07-2023 Dipidiff
Editor's Pick Best Mystery, Thriller & Suspense The Instant New York Times Bestseller Named a summer book to watch by The Washington Post, Boston Globe, USA Today, Oprah, Paste, Country Living, Good Housekeeping, and Nerd Daily Judul...
Read moreReview Buku Helium Mengelilingi Kita - Q…
14-06-2023 Dipidiff
Judul : Helium Mengelilingi Kita Penulis : Qomichi Jenis Buku : Sastra Fiksi, Coming of Age Penerbit : MCL Publisher Tahun Terbit : Maret 2023 Jumlah Halaman : 246 halaman Dimensi Buku : 14 x 20,5...
Read moreReview Buku Earthlings - Sayaka Murata
14-02-2023 Dipidiff
A New York Times Book Review Editors' ChoiceNamed a Best Book of the Year by the New York Times, TIME and Literary HubNamed a Most Anticipated Book by the New York Times, TIME, USA Today, Entertainment Weekly, the Guardian, Vulture, Wired, Literary Hub, Bustle, PopSugar, and Refinery29 Judul...
Read more