Mencari Panutan
“Gue nge-fans sama Michelle Obama.” Kata seorang sahabat saya beberapa waktu lalu ketika mantan Ibu Negara Amerika Serikat itu meluncurkan bukunya yang berjudul Becoming.
“Kalau gue baca bukunya Michelle karena pengen tahu perspektifnya tentang Barack. Soalnya gue justru mengidolakan Barack Obama” timpal saya waktu itu.
Ini hanya sebuah percakapan sederhana antara dua orang mengenai tokoh yang menjadi idola mereka. Hm… idola… Mungkin lebih tepat bila kata yang digunakan adalah panutan, yang merupakan terjemahan bebas saya terhadap Role Model.
Barack Obama adalah panutan saya. Meskipun kami tidak pernah bertemu muka apalagi bertegur sapa, tetapi diam-diam saya mengikuti sepak terjangnya baik sebelum, pada saat, maupun jauh setelah dia selesai menjadi presiden. Dari Barack, saya belajar tentang cara berkomunikasi, penggunaan intonasi dan pemilihan kata-kata untuk menekankan sebuah persoalan tertentu, ketenangannya dalam berargumen, pilihan waktu yang digunakan untuk marah, diam, dan melontarkan lelucon-lelucon untuk menghangatkan suasana. Banyak sekali wawasan yang saya dapatkan hanya dengan menonton youtube dan membaca artikel-artikel tentangnya.
Tetapi sekarang kita tidak sedang membahas tentang Barack Obama. Kita akan berdiskusi tentang panutan.
Semua orang ingin memiliki panutan. Ini lumrah. Kita membutuhkan panutan karena kita tumbuh dengan lingkungan yang penuh dengan perbandingan. Orang tua kita menempatkan diri mereka sebagai panutan terawal kita, ditunjukkan dengan bagaimana cara mereka merawat kita, dan bagaimana mereka menampilkan diri mereka sendiri di hadapan kita. Sedikit banyak ini pun berpengaruh kepada cara kita berpikir. Kita kerap menganggap orang tua kita – minimal salah satu diantara mereka – sebagai pahlawan kita, yang terkadang justru terbawa sampai usia dewasa, dimana kita tidak jarang mencari pasangan yang memiliki sifat “mirip orang tua”.
Nah. Ketika umur kita semakin matang, katakanlah memasuki usia produktif, maka kriteria “panutan” pun berkembang. Di saat memasuki dunia remaja, kadang kita menempatkan salah satu siswa paling populer, yang belum tentu kita kenal, sebagai tolok ukur kita. Siswa paling ganteng, paling cantik, paling punya banyak pengikut di media sosial, paling digilai lawan jenis, dan seterusnya. Bagi yang mainstream, bisa juga kita menempatkan siswa paling rajin, pintar, juara kelas, jawara olimpiade sains, atau yang sejenisnya, menjadi panutan kita.
Ketika kita memasuki dunia produktif, yang saya letakkan dalam konteks bekerja secara profesional, sosok panutan kita kembali berubah. Kita memalingkan pandangan kita kepada tokoh-tokoh seperti Steve Jobs, Elon Musk, Bill Gates, atau tokoh lokal seperti Nadiem Makarim, William Tanuwijaya, Belva Devara, dan segudang tokoh inspiratif lainnya. Siapapun itu, yang menjadi panutan kita adalah seseorang yang dalam bayangan kita memiliki apa yang dibutuhkan untuk sukses seperti apa yang kita mau, dan darinya-lah kita bisa belajar untuk meraih kesuksesan tersebut.
Memiliki panutan selalu merupakan hal yang baik. Namun yang menjadi masalah adalah apabila kita salah memilih panutan. Mungkin tidak akan terlalu menjadi soal, bila orang tersebut hanya sekedar idola saja. Akan tetapi ketika kita menjatuhkan pilihan kita kepada seseorang untuk mengisi peran panutan dalam hidup kita, artinya kita akan mempelajari dia dan berusaha untuk sedekat mungkin menjadi seperti orang tersebut. Runyam ketika ternyata orang yang selama ini menjadi panutan kita ternyata tidak sebaik itu.
Kita dapat saja berargumen, “ya saya kan ngga goblok juga yaa…. Yang bagus ya saya ambil, yang tidak bagus ya saya ngga ikutin. Kan gitu aja.”
Tidak semudah itu, kawan.
Tidak semua orang paham apa yang baik dan benar. Ini bukan persoalan pintar atau bodoh. Analoginya begini. Seorang balita yang baru belajar berjalan dan memiliki orang dewasa untuk mendampinginya, memberikan contoh cara berjalan yang baik, mengkoreksi kesalahan si balita, memberikan pujian ketika langkahnya benar, akan memiliki peluang lebih besar untuk bisa berjalan dengan benar, ketimbang bila anak tersebut hanya memiliki binatang peliharaan disampingnya. Bukan karena anak itu pintar atau bodoh, tetapi karena pada saat dia sedang belajar berjalan, kognitifnya belum berkembang sampai pada kondisi dia bisa memahami mana yang benar dan mana yang tidak benar.
Ketika kita menempatkan orang yang salah sebagai panutan kita, kadang kita tidak sadar dan mencoba untuk ikut semua nasihat atau pelajaran hidupnya, termasuk hal-hal yang tidak benar. Sayangnya, tidak jarang ketika kita akhirnya menyadari, segala sesuatunya sudah terlambat.
Oleh karena itu penting bagi kita untuk bisa memilih panutan-panutan yang tepat. Apalagi saat ini dengan perkembangan teknologi yang begitu pesat dan media sosial yang mengambil porsi besar keseharian kita, kita akan sangat mudah sekali terekspos kepada tokoh-tokoh tertentu yang terkesan mulia, namun sejatinya tidak demikian. Orang-orang seperti ini menggunakan istilah trendi “personal branding” sebagai senjata andalan mereka untuk menggaet pengikut, padahal di luar dari yang mereka tampilkan di media, banyak juga yang payah.
Lalu, Apa sih Kriteria Panutan yang tepat?
Sebenarnya tidak ada patokan baku mengenai siapa yang boleh – atau tidak boleh – menjadi panutan kita. Tokh itu adalah urusan kita, dan kita yang tahu apa yang kita mau.
Meskipun demikian, ada baiknya sebelum kita memutuskan mau mengidolakan siapa lalu kemudian membuat dia menjadi suri tauladan kita, kita lihat dulu beberapa hal ini. Pertama, karakter. Pelajarilah karakter orang yang kita pikir pantas jadi panutan kita. Apabila kita kenal langsung orang tersebut, akan jauh lebih mudah. Kita bisa ngobrol dengannya, menggali lebih dalam apa nilai-nilai dan prinsip hidupnya, mengetahui latar belakang perjalanan kesuksesan (serta kegagalan)-nya, dan lain-lain. Bila kita tidak punya kesempatan untuk mengenalnya, maka kita selalu dapat menggunakan jemari kita untuk mencari di google. Jika dia adalah seorang tokoh terkenal, harusnya ada banyak artikel yang dapat kita kulik tentang sosok orang tersebut.
Kedua, lihat reputasinya. Reputasi disini termasuk karya-karyanya, dan juga kegagalan-kegagalannya. Caranya pun sama seperti di atas, bila kenal langsung orangnya, galilah orang tersebut. Bila tidak kenal, gunakan keajaiban teknologi masa kini, pelajari media sosialnya, artikel-artikel publikasi tentang dia, apapun itu. Jangan hanya menggali yang baik-baik saja, tetapi cobalah cari semuanya. Ingat untuk tetap memiliki pemikiran yang terbuka, objektif, dan fokus pada fakta yang ada. Sebuah informasi tentang kejelekan seseorang bukan berarti bahwa orang tersebut jelek seluruhnya, tetapi minimal kita memiliki pandangan yang lebih menyeluruh terkait orang tersebut.
Ketiga, tanyakan kepada orang lain. Seseorang yang pantas menjadi panutan, biasanya akan memiliki “penggemar” yang tidak cuma seorang-dua orang. Bila itu orang yang kita kenal, biasanya kita akan mudah melihat siapa penggemarnya, karena penggemar tidak akan berada jauh-jauh dari idolanya. Mestinya ada di sekitar situ. Sebaliknya, bila kita tidak mengenal orang tersebut secara langsung, seorang idola harusnya punya basis penggemar yang mudah dicari dimana-mana. Cobalah cari basis penggemarnya. Pastikan juga kita yakin akan reputasi dan latar belakang orang yang kita tanyakan. Jangan sampai kita bertanya kepada orang yang sama tidak pahamnya dengan kita.
Jika ketiga hal tersebut sudah kita lakukan, dan kita yakin akan keputusan kita, maka ya sudah. Akhirnya kita punya seseorang yang dapat kita anggap sebagai panutan kita. Meskipun demikian, jangan mengikuti seseorang dengan gelap mata. Sekarang saatnya membuktikan kalau kita tidak “goblok”. Ujilah setiap nasihat, saran, masukan, atau apapun dari tokoh panutan kita, sebelum kita menjalankannya di dunia nyata. Jangan terima mentah-mentah segala hal yang terilhami darinya. Gunakan akal sehat kita, tanyakan kepada orang-orang yang lebih ahli atau berpengalaman daripada kita, dan biasakan diri untuk juga bertanya secara kritis: “kalau bukan begitu, apakah masih bisa?”
Memiliki panutan selalu menjadi hal yang penting dalam pertumbuhan pribadi kita, entah itu karakter, kematangan berpikir, atau kesuksesan. Dengan adanya panutan yang tepat, kita seakan memiliki mercusuar yang menyinari kita untuk menembus kabut lautan dan menuju tujuan akhir kita. Oleh karena itu, memiliki panutan yang tepat menjadi hal yang sangat penting. Ujilah segala sesuatu. Jangan pernah menerima segala sesuatu tanpa terlebih dahulu kita saring, termasuk saat kita menyaring panutan. Lakukan itu seperti seakan-akan hidup kita akan benar-benar diubahkan olehnya.
About Jeff:
Jeffrey Pratama adalah seorang praktisi Human Resource yang telah 15 tahun berkarir di beberapa perusahaan terbaik di Industrinya. Selain sebagai seorang Executive Professional, Jeffrey juga merupakan seorang Coach yang tersertifikasi, dengan passion yang mendalam di bidang pengembangan diri dan karir, khususnya bagi anak-anak muda. Penggemar music jazz dan klub sepakbola Manchester United ini juga penikmat setia buku-buku, khususnya yang terkait dengan pengembangan diri dan bisnis.
Saat ini Jeffrey juga secara rutin menjadi narasumber dalam diskusi online dengan Dipidiff seputar kehidupan profesional. Anda dapat mengikuti diskusi ini setiap dua minggu sekali, pada hari Minggu pukul 08.30 WIB di channel IG LIVE @dipidiffofficial
TERBARU - Review Buku
Review Buku Novelist as a Vocation - Har…
01-03-2023 Dipidiff

New York Times Best Seller Sunday Times and New Stateman Book of The Year A Most Anticipated Book: Esquire, Vulture, LitHub, New York Observer Judul : Novelist as a Vocation Penulis : Haruki Murakami Alih Bahasa...
Read moreReview Buku Earthlings - Sayaka Murata
14-02-2023 Dipidiff

A New York Times Book Review Editors' ChoiceNamed a Best Book of the Year by the New York Times, TIME and Literary HubNamed a Most Anticipated Book by the New York Times, TIME, USA Today, Entertainment Weekly, the Guardian, Vulture, Wired, Literary Hub, Bustle, PopSugar, and Refinery29 Judul...
Read moreReview Buku Kiki's Delivery Service - Ei…
21-12-2022 Dipidiff

A Junior Library Guild Selection. Kiki's Delivery Service is a Japanese classic, beautifully translated by Emily Balistrieri and brought to life with exquisite illustrations by Joe Todd-Stanton. Judul : Kiki's Delivery Service Penulis...
Read moreReview Buku Hayya - Helvy Tiana Rosa …
19-12-2022 Dipidiff

Judul : Hayya Penulis : Helvy Tiana Rosa & Benny Arnas Jenis Buku : Fiksi Religi Penerbit : Republike Penerbit Tahun Terbit : Juni 2022 Jumlah Halaman : 294 halaman Dimensi Buku : 14 x 3...
Read more