Review Buku Novelist as a Vocation - Haruki Murakami
New York Times Best Seller
Sunday Times and New Stateman Book of The Year
A Most Anticipated Book: Esquire, Vulture, LitHub, New York Observer
Judul : Novelist as a Vocation
Penulis : Haruki Murakami
Alih Bahasa : Philip Gabriel, Ted Goossen
Jenis Buku : Asian & Asian Americans Biographies, Fiction Writing Reference, Memoir
Penerbit : Knopf
Tahun Terbit : November, 2022
Jumlah Halaman : 224 halaman
Dimensi Buku : 20,83 x 14,99 x 2,79 cm
Harga : Rp. 320.000*harga sewaktu-waktu dapat berubah
ISBN :9780451494641
Hardcover - Deckle Edge
Edisi Bahasa Inggris
Available at PERIPLUS BANDUNG Bookstore (ig @Periplusbandung)
Sekelumit Tentang Isi
An insightful look into the mind of a master storyteller—and a unique look at the craft of writing from the beloved and best-selling author of 1Q84, Norwegian Wood, and What I Talk About When I Talk About Running.
Para penulis dan pembaca yang bertanya-tanya dari mana novelis terlaris ini mendapatkan idenya dan apa yang mengilhami dunia surrealnya yang aneh kini dapat memuaskan rasa keingintahuannya dengan hadirnya buku ini. Haruki Murakami berbagi pemikirannya dengan pembaca tentang peran novel dalam masyarakat kita; asal-usulnya sendiri sebagai seorang penulis; dan renungannya tentang percikan kreativitas yang menginspirasi penulis, seniman, dan musisi lain.
Momen-momen personal juga dikisahkah di sini, misalnya saat datangnya visi menulis novel di tengah pertandingan bisbol Yakult Swallows; atau tentang pentingnya ingatan dan memiliki "mental chest of drawers" bagi seorang penulis; perlunya kesendirian, kesabaran, dan rutinitas lari sehari-hari; serta peran penting yang dimainkan merpati pos dalam kariernya dan banyak lagi.
"What I want to say is that in a certain sense, while the novelist is creating a novel, he is simultaneously being created by the novel as well." —Haruki Murakami
* Sinopsis dari Amazon.com
Yuk kita intip daftar isinya,
Foreward
Are Novelist Broad-minded?
When I Became a Novelist
On Literary Prizes
On Originality
So What Should I Write About?
Making Time Your Ally: On Writing a Novel
A Completely Personal and Physical Occupation
Regarding School
What Kind of Characters Should I Include?
Who Do I Write For?
Going Abroad: A New Frontier
Notes
Seputar Fisik Buku dan Disainnya
Yang menarik dan atau Disuka dari Buku ini
Seorang Murakami yang terkenal seinternasional begitu menulis buku bertema kepenulisan pasti membuat penasaran banyak orang. Apa kisah di balik layar kesuksesannya? Apa teknik dan inspirasinya? Apa opininya tentang beragam isu terkait dunia sastra? Dan buku ini menjawab hal tersebut *kurang lebih demikian.
Dalam bab pengantar, Murakami menjelaskan bahwa esai-esai ini ditulis tahun 2010 dan dipublish tahun 2015 di Jepang, lalu diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris tahun 2022. Artinya, ada hal-hal yang sudah tidak relevan di sini misalnya situasi pandemi yang terjadi setelah buku ini diterbitkan. Keadaan tersebut telah memaksa untuk membuat beberapa perubahan signifikan dalam hidup kita. Namun, esai ini tidak mencerminkan perubahan itu, atau perubahan individu yang Murakami alami. Apa yang tertuang di sini adalah pikiran dan perasaan Haruki Murakami di tahun 2015.
Selain itu sebagian esay sudah diserialkan di majalah Monkey Business. Disebutkan di buku bahwa Motoyuki Shibata memulai majalah baru Monkey Business tahun 2008 dan bertanya ke Murakami apakah ia punya karya untuk diterbitkan di majalah, yang lalu disetujui oleh Murakami dalam bentuk cerita pendek. Baru setelah itu timbul ide dari Murakami untuk menawarkan kumpulan esay yang ia tulis ke majalah Monkey Business. Enam bab pertama buku ini menjadi serial di edisi bulanan majalah tersebut, sedang lima esay terakhir ditulis khusus untuk buku ini. Meski buku ini kemudian diterima sebagai esai otobiografi namun tujuan Murakami sendiri awalnya tidak ke arah sana.
I imagine this book will be taken as autobiographical essays, but they weren’t originally written with that in mind. What I was after was to write, in the most concrete and practical way, about he path I've followed as a novelist, and the ideas and thoughts I've had in the process. That said, writing novels is nothing less than expressing yourself, so talking about the process of writing means you inevitably have to talk about yourself.
Page ix
Masih di bab pengantar, Murakami menyatakan harapannya bahwa isi buku ini bisa menjadi berguna sedikitnya secara praktis untuk para penulis, meski secara pribadi ia menggarisbawahi dirinya yang orang biasa dan kalau tidak menulis novel kemungkinan besar namanya tidak akan pernah dikenal. Apa yang dibagikan Murakami di bukunya ini tidak menjadi jalan satu-satunya bagi seseorang yang ingin menjadi penulis, melainkan ini cara Murakami dalam perjalanannya menjadi novelis kenamaan.
Truthfully, I have no idea if this book could serve as a guidebook or introduction to help those hoping to write novels. What I mean is, I'm the kind of person with a very individual way of thinking, and I don’t know how far you can generalize about or apply my way of writing and living. I know hardly any other writers, so I don’t know how they write, and I can't make comparisons. For me, this is the only way I can write, so that's how I do it. I'm certainly not advocating this as the best way to write novels. You might be able to apply some things in my methods, but others might not work so well. It goes without saying, but if you take a hundred novelists you'll find a hundred different ways of writing novels. I hope that each of you grasps that and comes to your own conclusions about my applications.
Buku ini terdiri dari 11 bab inti; (1) Are Novelist Broad-minded?, (2) When I Became a Novelist, (3) On Literary Prizes, (4) On Originality, (5) So What Should I Write About?, (6) Making Time Your Ally: On Writing a Novel, (7) A Completely Personal and Physical Occupation, (8) Regarding School, (9) What Kind of Characters Should I Include? , (10) Who Do I Write For?, (11) Going Abroad: A New Frontier.
Di bab Are Novelist Broad-minded?, menurut Murakami 'people with brilliant mind' tidak sesuai untuk menjadi novelis karena menulis novel atau bercerita adalah aktivitas yang berlangsung lambat dengan kecepatan rendah. Orang yang pintar akan dengan mudah membuat pesan yang ingin ia sampaikan dalam format yang rasional dan menyampaikannya kepada audiens. Mereka tidak memerlukan novel untuk itu, meski di lapangan banyak novel yang juga ditulis oleh orang-orang yang brillian. Ia tidak pernah merasa dirinya jenius, bahkan pelan dalam memahami sesuatu.
Menulis novel basically uncool enterprise (duduk berjam-jam sendirian dalam ruangan, tidak bersosialisasi, tidak ada yang bertepuk tangan mengapresiasi prosesnya), oleh karena itu kualifikasi untuk menjadi novelis profesional adalah keuletan. Menurutnya semua orang bisa menulis novel jika mereka mau, hanya untuk terus menghasilkan karya itu adalah persoalan yang berbeda.
To accomplish it, one needs, well, a special something. Talent is important, of course, and backbone. Like so many things in life, luck and fate play a big role, too. But there is something else that is needed, a kind of qualification. Some have it and some don’t. Some possess it from birth while others struggle mightily to acquire it.
Page 7
Di bab When I Become a Novelist, Murakami menceritakan momen dimana ia mendapatkan pencerahan bisa menulis novel saat menonton di pertandingan baseball di Jingu Station. Waktu itu sore yang cerah di bulan April 1978 dimana pembuka musim Central League, Yakult Swallows melawan Hiroshima Carp. Seusai pertandingan Murakami naik kereta api ke Shinjuku, pergi ke toko buku dan membeli setumpuk kertas tulis dan pulpen Sailor seharga dua ribu yen. Setiap malam dia mengerjakan tulisannya, setelah pulang kerja menulis di meja dapur. Enam bulan berikutnya draft Hear the Wind Sing pun selesai.
Sebagai penulis Haruki Murakami mengungkapkan rasa senang dan kegembiraan yang sama saat menulis' dahulu hingga saat ini. Sebab apa artinya menjadi penulis kalau tidak menikmati aktifitasnya, dan ia juga tidak pernah paham penderitaan yang dialami oleh penulis lain.
There is no basic change today – I feel the same pleasure and excitement I felt when I wrote my first novel. I wake up early, brew coffee in the kitchen, pour some in a big mug, sit down at my desk, and boot up my computer. Then sit there and muse about what to write that day. Such moments are pure bliss. To tell the truth, I have never found writing painful. Neither (thankfully) have I ever found myself unable to write. What's the point of writing, anyway, if you're not enjoying it? I can't get my head around the idea of “the suffering writer.” Basically, I think, novels should emerge in a spontaneous flow.
Page 35
Di bab On Literary Prize ada kisah Akutagawa Prize dimana Haruki Murakami hanya menjadi nominasi sebanyak dua kali, dan bagaimana orang-orang membicarakan hal itu seolah-olah sebuah kemalangan, padahal ia sendiri tidak peduli menang Akutagawa Prize atau tidak. Reaksi orang-orang yang seperti itu membuatnya tercengang, bahkan ada sebuah buku yang khusus membahas mengapa Murakami tidak mendapatkan Akutagawa Prize. Buku itu berjudul The Reasons Haruki Murakami Failed to Win the Akutagawa Prize, sebuah judul yang menurut Murakami memalukan.
Di bab ini juga ada opini Murakami terkait tawaran yang datang padanya sebagai juri penghargaan, dan alasan mengapa ia menolak menjadi juri di ajang tersebut.
Please don’t misunderstand – by no means am I denigrating writers (my comrades in arms) who sit on literary prize juries. There are those who are able to focus on their work single-mindedly, while at the same time objectively critiquing works by new writers. They must have a mental switch of some sort that allows them to play that dual role. I can only extend my deepest respect and gratitude to them. Sadly, however, I cannot join their group. I need time to make decisions, and even then, I often make the wrong ones.
Literary Prize dalam pandangan Murakami adalah sesuatu yang baik jika penghargaan itu bisa membuat penulisnya maju dan berkembang, dan seorang penulis dengan atau tanpa penghargaan ini sebaiknya menomorsatukan jati dirinya yang seorang penulis, bahwa di atas segalanya kualitas individu seorang penulislah yang utama. Jika sebuah literary prize justru mengganggu pekerjaan dan menjadi beban si penulis, maka prize tersebut justru menjadi hal yang jelek. Oleh karena itu makna sebuah literary prize jadi berbeda-beda di tiap penulis.
Literary prizes thus mean vastly different things to different people. Their significance depends on an individual s standpoint, on the writer's circumstances and the way he thinks and lives. You can't lump us all together. That is really all I want to say on the topic of literary prizes.
Page 51
Di bab An Originality, Haruki Murakami mengemukakan opininya terkait apa definisi orisinal. Menurut Murakami ada tiga persyaratan dasar yang harus dipenuhi seorang artist untuk dianggap "original", yakni;
(1) Seniman harus memiliki gaya yang jelas unik dan individual (suara, bahasa, atau warna). Selain itu, keunikan itu harus langsung terlihat pada pandangan pertama (atau pendengaran).
(2) Gaya itu harus memiliki kekuatan untuk memperbarui dirinya sendiri, harus tumbuh seiring waktu, tidak pernah berhenti di tempat yang sama untuk waktu yang lama, karena itu mengekspresikan proses penemuan kembali diri yang internal dan spontan.
(3) Seiring waktu, gaya karakteristik itu harus terintegrasi dalam jiwa pendengarnya, untuk menjadi bagian dari standar evaluasi dasar mereka.
Menarik pula ketika Murakami menyatakan opininya terkait budaya Jepang yang mengedepankan harmoni sehingga membenci sesuatu yang melawan arus. Padahal karya original tentunya akan tampak berbeda dari yang lainnya dan bukan hanya tidak sama dengan yang lain tapi juga punya pengaruh besar pada karya-karya setelahnya di era yang bersangkutan.
Saran Murakami jelas di sini, terkait kritik yang diterima oleh seorang seniman atau penulis, sebaiknya disikapi sepositif mungkin dengan tetap mengedepankan kepercayaan diri terhadap karya yang diciptakan. Sebuah karya yang original juga memerlukan kebebasan, seperti halnya yang ia rasakan selama berkarir sebagai penulis, tanpa pernah menemui writer's block karena ia menulis sesuai mood dan tidak ada editor yang menagih-nagih karya selanjutnya sebab ia tidak pernah menjanjikan hal tersebut pada siapapun. Dengan cara seperti itu Murakami merasa bahagia dan jauh dari stress.
Originalitas harus terasa murni dan sederhana, atau dalam kalimat New York Times diwakilkan dengan "fresh, energetic, and unmistakably your own"
Di bab What Should I Write About? Murakami membagikan cara untuk menjadi aspiring novelist. Caranya yaitu dengan membaca sebanyak mungkin novel apapun, membangun kebiasaan observasi detail, tidak cepat menilai, lalu menyimpan memori tersebut ke dalam personal chest of drawers sebagai materi. Lalu ekstrak fitur tertentu ke dalam bentuk yang mudah diingat, detail yang mencolok yang tertanam lekat di dalam benak. Personal chest of drawers ini adalah aset besar penulis saat mengerjakan novel. Semakin kaya materi yang dimiliki, maka semakin natural materi ini muncul saat diperlukan. Untuk penulis pemula yang masih minim bahan menulis tidak ada cara lain selain menulis sebisa mungkin dan mulai mengumpulkan materi.
It is especially important to plow through as many novels as you can while you are still young. Everything you can get your hands on – great novels, not-so-great novels, crappy novels, it doesn’t matter (at all!) as long as you keep reading. Absorb as many stories as you physically can. Introduce yourself to lots of great writing. To lots of mediocre writing, too.
Page 74
Di bab ini Murakami juga membahas cara menulis novel dengan topik kehidupan sehari-hari, yakni dengan menghilangkan keinginan untuk menjelaskan dan beralih fokus ke episode, adegan, frase, sehingga menyuarakan pesan. Step selanjutnya adalah menghubungkan logika dengan sastra, dan ritme keseluruhan cerita.
When I began my first novel, Hear the Wind Sing, I knew I had no choice but to write about having nothing to write about. Since you won't- can't – handle heavy topics like war, revolution, and famine, you must deal with lighter material, which in turn impels you to develop a lighter vehicle that is agile and mobile.
Page 82
Two principle guided me. The first was to omit all explanations. Instead, I would toss a variety of fragments – episodes, images, scenes, phrases – into that container called the novel and then try to join them together in a three-dimensional way. Second, I would try to make those connections in a space set entirely apart form conventional logic and literary clichés. This was my basic scheme. More than anything else, music helped move this process forward.
Page 83
I wrote as if I were performing a piece of music… you have to sustain a solid rhythm from start to finish – when you fail, people stop listening. The next most important element is the chords, or harmony if you like…. Finally there is the matter of free improvisation, which lies at the root of jazz music. Once the rhythm and chord progression (or harmonic structure) have been established, the musician is able to weave notes freely into the composition.
Page 84
Bab Making Time Your Ally: On Writing a Novel, saya yakin akan sangat bikin penasaran para penulis buku karena di sini Murakami membeberkan proses kreatifnya menulis novel. Tapi sebelum itu ia bercerita tentang beda kumpulan cerpen dan novel di matanya sebagai penulis. Cerpen baginya adalah media yang tepat untuk bisa bermanuver dengan topik-topik kecil yang tidak bisa ditangani oleh novel. Cerpen sangat sesuai untuk meluncurkan eksperimen baru dan menulis cerpen tidak membutuhkan banyak waktu. Sedangkan novel adalah sebuah karya yang komprehensif, jika cerpen bisa dianggap latihan, maka karya yang sesungguhnya adalah novel.
Langkah pertama Murakami saat memulai proses novel adalah menghentikan semua projek menulis yang ada dan fokus dengan novel yang sedang digarap. Untuk teknik menulis, ia menghasilkan kira-kira 10 halaman manuskrip bahasa Jepang (setara dengan seribu enam ratus kata dalam bahasa Inggris) setiap hari. Pada hari-hari dimana ia ingin menulis lebih banyak pun, ia tetap berhenti ketika telah mencapai sepuluh halaman, dan ketika sedang tidak ingin menulis, ia memaksakan diri untuk memenuhi kuota itu. Baginya penting untuk mempertahankan kecepatan yang stabil saat menangani proyek besar.
When writing a novel, my rule is to produce roughly ten Japanese manuscript pages (the equivalent of sixteen hundred English words) every day. This works out to about two an a half pages on my computer, but I base my calculations on the old system out of habit. On days where I want to write more, I still stop after ten pages, when I don’t feel like writing, I force myself to somehow fulfil my quota. Why do I do it this way? Because it is especially important to maintain a steady pace when tackling a big project. That can't work if you write a lot one day and nothing at all the next day. Page 95
Bangun pagi setiap hari, lalu menyeduh kopi segar, dan bekerja selama empat atau lima jam berturut-turut adalah rutinitas yang ia bangun selama menjadi penulis. Setelah berhasil menyelesaikan draft pertama, ada jeda istirahat, biasanya satu minggu, sebelum melakukan penulisan ulang tahap pertama. Di penulisan tahap pertama ini ia lalu melakukan perubahan besar-besaran naskahnya dari awal hingga akhir, akibatnya karakter tokoh bisa saja berubah, plot jadi berbeda, ada bagian-bagian yang dibuang, dan lain sebagainya. Penulisan ulang ini biasanya memakan waktu satu atau dua bulan. Setelah itu jeda lagi selama satu minggu atau lebih, baru kemudian melakukan penulisan ulang tahap kedua. Di tahap ini Murakami fokus pada detail manuskrip. Setelah selesai lalu istirahat lagi dan masuk ke penulisan ulang ketiga, dan setelahnya mengambil waktu istirahat lebih lama, kurang lebih dua minggu hingga satu bulan. Setelah istirahat usai, naskah baru disebar ke pembaca pertama. Detail yang dilakukan di tiap tahap bisa teman-teman baca sendiri di bukunya.
Kritik menjadi lumrah di tahap ini, termasuk kritik yang datang dari istrinya sebagai pembaca pertama semua karyanya. Kritik-kritik seperti ini disikapi Murakami dengan menulis ulang bagian tersebut karena merasa itu memang tugasnya untuk menghilangkan hambatan-hambatan yang ditemui pembaca novelnya. Detail bagian ini juga bisa teman-teman baca sendiri di bukunya.
Making time your ally menurut Murakami adalah menggunakan kemauan untuk mengontrol waktu sehingga waktu menjadi sekutu seorang penulis. Ambil alih kendali situasi dan berhenti bersikap pasif.
In my opinion, using your willpower to control time is what makes it your ally. You must'n let it go on controlling you. That just makes you passive.
Page 108
You have no choice but to take it to heart and actively construct your schedule on that principle. In other words, assume command of the situation and stop being passive!
Page 108
Di bab A Completely Personal & Physical Occupation, Murakami menggarisbawahi pentingnya seorang penulis untuk menjaga kesehatan mental dan fisik. Menulis itu proses yang personal. Menulis fiksi adalah proses yang sepenuhnya pribadi dan terjadi di ruang tertutup. Meski beberapa penulis menulis novel karena diminta tapi faktanya novel-novel yang ditulis atas prakarsa sang novelis sendiri. Tapi apapun yang memicu penulisan, begitu seorang penulis duduk menulis novel, dia benar-benar sendiri dengan tugas itu.
Penulis berpikir keras dan lama untuk menuliskan cerita, oleh karena itu perlu istirahat dan menjaga fisik tetap bugar. Murakami menghabiskan sekitar satu jam untuk berolahraga di luar ruangan. Menulis adalah pekerjaan yang panjang dan sepi oleh karenanya penulis harus memiliki stamina, dan stamina hanya bisa didapat dari kesehatan secara fisik. Detail tentang hal ini bisa teman-teman baca di bukunya, dimana Murakami menjelaskan pengalamannya sebagai penulis selama berpuluh tahun dengan usia yang tidak lagi muda, juga olahraga apa persisnya yang ia terapkan dalam kehidupannya untuk menjaga stamina.
Bukan hanya fisik, seorang penulis harus memiliki kekuatan mental dan akal karena tulisan sangat dapat membawa si penulis ke kegelapan dunia imajinasi yang menyesatkan. Seorang penulis harus mengatur kekuatan fisik dan kekuatan spiritual agar seimbang, sehingga efektif saling menguatkan. Semua hal ini penting kecuali si penulis adalah kelompok orang jenius seperti Mozart, Schubert, dll yang mampu berkembang dengan sangat baik dalam waktu yang singkat dan menghasilkan karya yang luar biasa. Meski cara tiap orang bisa berbeda, tapi saran ini terbukti dalam pengalaman Haruki Murakami.
I think this is mental toughness. I'm talking about a firm, strong will that allows you to keep on writing novels despite all sorts of difficulties you encounter along the way.
Page 127
And if you want to sustain that willpower over the long haul, then your quality of life becomes an issue. First of all, you need to live to the full. And my basic idea is that ‘living fully’ means, to some extent, building up the framework that contains the soul, the physical body, and pushing it forward it step by step.
Page 127
Physical strength and spiritual strength are like the two pairs of wheels of a car. When they are in balance and are functioning well, then the car operate most efficiently and moves in the optimal direction.
Page 127
You have to manage physical strength and spiritual strength so they are in balance, so they effectively reinforce each other. The more protracted the fight, the more significance this theory takes on.
Page 128
Di bab Regarding School, Murakami menceritakan apakah pendidikan sekolah membantunya menjadi seorang novelis. Murakami ternyata menganggap sekolah itu membosankan, meski untuk hal-hal yang menarik minatnya ia akan mempelajarinya atas inisiatifnya sendiri. Baginya ada yang jauh lebih menarik dan penting untuk dilakukan yaitu membaca sebanyak mungkin buku. Di bab ini diceritakan saat pertama kali ia mulai membaca buku english version dan bagaimana di awal-awal ia kesulitan namun dengan seiring waktu semua menjadi lebih mudah dan familiar, meski membaca buku engver ternyata tidak membuat ia mendapatkan nilai yang bagus di mata pelajaran bahasa Inggris di sekolah.
Membaca buku sekali lagi memegang peran penting terhadap profesi novelisnya di masa depan. Membaca secara luas membantunya merelatifkan sudut pandang dan membuatnya memiliki pandangan yang lebih majemuk. Harapan Murakami untuk pendidikan sekolah sederhana, yakni agar sekolah tidak menekan imajinasi anak-anak yang secara alami imajinatif.
What I hope for from schools is simply that they do not surpress the imagination of children who are naturally imaginative. That's enough. I want them to provide an environment in which each person's individuality can thrive. Do that, and schools will become fuller, freer places. Simultaneously, society itself will also become a fuller, freer place.
Page 148
Bab What Kind of Characters Should I Include kembali banyak insight yang bisa diambil misalnya apakah Murakami menciptakan tokoh cerita berdasarkan orang sungguhan yang ia kenal dalam kehidupannya. Ternyata jawabannya mayoritas tidak, dan hanya ada dua atau tiga kali dimana ia menggunakan tokoh yang demikian. Dalam banyak kasus, tokoh-tokoh yang ada dalam novelnya muncul dari alur cerita. Saat ia membuat karakter, ia tanpa sadar mengeluarkan informasi dari berbagai fragmen dari lemari otak dan menjalinnya menjadi satu. Proses otomatis ini ia sebut dengan Automatic Dwarves. Detail tentang ini bisa teman-teman baca sendiri di bukunya.
But beyond being real, interesting, and somewhat unpredictable, I think what's more important is the question of how far the novel's characters advance the story. Of course it's the writer who creates the characters; but characters who are – in a real sense – alive will eventually break free of the writer's control and begin to act independently.
Page 162
Murakami juga menyinggung nama penulis Natsume Soseki yang ia anggap cerita-ceritanya memiliki karakter yang menarik dan penuh warna, bahkan jika tokoh itu hanya muncul sebentar saja.
Sebagai penulis Murakami sangat menyukai perasaan bahwa ia bisa menjadi siapapun yang ia inginkan lewat cerita yang ia tulis. Di bab ini Murakami menceritakan novelnya yang selalu menggunakan pov 1 di awal-awal karirnya dan baru berkembang ke pov lain. Juga bagaimana ia kemudian memutuskan untuk menamai tokohnya setelah sebelumnya anonim. Keputusan ini ia ambil saat novelnya makin panjang dan tokoh-tokoh tak bernama tentu akan membingungkan pembaca.
Menurut Murakami, karakter adalah elemen penting dalam novel, namun ada yang lebih penting lagi yakni tentang seberapa jauh karakter novel memajukan cerita. Ketika sebuah novel berada di jalur yang benar, tokoh tersebut mengambil kehidupan mereka sendiri dan cerita bergerak maju dengan sendirinya. Hal ini terjadi contohnya di novel Tsukuru Tazaki. Detail bagian ini juga bisa teman-teman baca sendiri di buku.
Sebagai penutup bab, Murakami menyatakan hal yang sangat menginspirasi dan menarik menurut saya, yakni bahwa tokoh-tokoh yang ia ciptakan ini juga memberinya banyak pelajaran. Ke depannya ia ingin menghidupkan semua jenis karakter yang aneh, eksentrik, dan penuh warna.
At any rate, there still seems so much I need to learn about the characters in my novels. And at the same time there seems to be so much I need to learn from the characters in my novels. In the future, I want my novels to bring to life all kinds of weird, eccentric, and colourful characters. Whenever I begin writing a new novel, I get excited, wondering what kind of people I'm going to meet next.
Page 167
Mungkin ini akan mengejutkan beberapa pembaca ketika membaca bab Who Do I Write For? bahwa Murakami ternyata tidak pernah merasa menulis untuk orang lain, bahkan saat ini setelah menjadi penulis ternama, perasaan itu masih sama. Murakami mengatakan bahwa ia menulis untuk dirinya sendiri, tapi itu tidak berarti dia tidak memikirkan pembacanya sama sekali. Dalam hatinya ia merasa punya koneksi dengan pembacanya, meskipun mengaku bahwa ia tidak punya gambaran mental yang jelas tentang pembaca buku-bukunya.
Fokus utama Murakami memang selalu berada pada karyanya, tentang bagaimana ia ingin bisa menulis novel sedalam mungkin, dengan tema-tema yang makin berat tapi dibawakan dengan seringan mungkin seperti gaya tulisan yang sudah ia bangun dari mula. Yang paling utama adalah ia ingin menulis novel yang ia merasa senang menulisnya. Demi konsentrasi di hal ini, ia akhirnya memutuskan untuk menjual kafe jazz-nya. Episode kisah ini bisa teman-teman baca detailnya di buku.
Dalam karirnya sebagai penulis, Murakami juga menyadari bahwa tidak peduli apa atau bagaimana ia menulis, seseorang akan mengatakan sesuatu yang buruk tentangnya. Tiap orang punya preferensi. Jadi ia memutuskan untuk tidak peduli dan tetap menulis apa yang ingin ia tulis dan dengan cara yang ia inginkan. Setidaknya ia sebagai penulis menikmati proses dan karya yang ia hasilkan.
Since I became a writer, though, and started regularly publishing books, there is one lesson I be learned, which is that no matter what or how I write, somebody's going to say something bad about it.
Page 176
It's easy to criticize – all you have to do is say what you're thinking, and you don’t have to take any responsibility for anything. For the person who's being criticized though, if he takes each and every criticism seriously he'll never survive. So I've concluded ‘whatever'. If people are going to say terrible things, then I'm just going to write what I want to write, in the way I want to write it.”
Page 176
In that case it's better to stand up for yourself and do what makes you happy, what you really want to do, the way you want to do it. Do that, and even if your reputation isn’t so great, if your books don’t sell well, you can tell yourself ‘it 's okay. At least I enjoyed myself.” You'll be convinced it was all worthwhile.
Page 177
Di bab ini Murakami juga menjelaskan mengapa ia tidak muncul di publik dan jarang tampil di media sosial. Namun di luar negeri, ia melakukan berbagai acara, termasuk event tanda tangan penulis, itu karena ia melihat sebuah tugas yang ada padanya sebagai penulis Jepang. Ada satu hal menarik juga yang disampaikan Murakami di bab ini terkait toko buku di Jepang yang memajang karya penulis laki-laki dan wanita secara terpisah, sesuatu yang tidak ia lihat terjadi di toko buku di luar negeri.
Sebagai penutup bab ini, Murakami menyampaikan apresiasinya yang besar terhadap pembaca yang menyampaikan surat berisi ungkapan rasa kecewa terhadap bukunya namun tetap menantikan karya berikutnya, disertai ucapan agar ia terus bersemangat menulis.
I sometimes get interesting letters form readers. ‘ I read your latest book Mr Murakami, and was disappointed, unfortunately I just couldn’t get into it, but I'm definitely buying the next one. Keep up the good work!” that kind of message. Truth be told, I love readers like that and am very grateful for them, because in that message there's a clear sense of trust. And that makes me feel I'd better do a great job on the next book. And I hope with all my heart that he/she will like it. Of course, ‘You can't please everyone,’ I don’t know if it will actually turn out that way or not.
Page 186
Bab terakhir buku ini, Going Abroad; A New Frontier, mendedikasikan isinya untuk kisah Murakami bisa menjadi penulis internasional. Ini menurut saya menarik sekali disimak untuk para penulis yang ingin karyanya diterima global dan bahkan jikapun profesi pembaca bukan penulis, poin ini juga menarik untuk diperhatikan.
Karya pertama Murakami benar-benar diperkenalkan di Amerika menjelang akhir 1980-an. Ini terjadi ketika Kodansha International menerbitkan edisi hardcover terjemahan bahasa Inggris dari A Wild Sheep Chase, dan beberapa cerita pendeknya juga diterbitkan di The New Yorker. Berkat terjemahan Alfred Birnbaum yang hidup, buku itu diterima dengan baik lebih dari yang diharapkan, bahkan mendapatkan ulasan panjang lebar di The New Yorker, dipuji oleh John Updike. Tapi penjualannya sendiri sebenarnya tidak terlalu berhasil. Baru setelah diterbitkan dalam edisi paperback Vintage, buku ini menjadi buku dengan penjualan yang kuat dan stabil.
Setelah itu ada buku Hard-Boiled Wonderland and the End of the World dan Dance Dance Dance yang juga mendapatkan perhatian dan tinjauan baik. Haruki Murakami juga bercerita betapa proses sulit yang ia alami untuk bisa tembus ke The New Yorker membantunya untuk mengembangkan kemampuannya dan mendapatkan tempat di hati pembaca di Amerika Serikat serta membuat namanya makin dikenal luas.
Menarik bahwa menurut Murakami sulit bagi majalah di Jepang untuk membayangkan tingkat prestise dan pengaruh yang dimiliki The New Yorker. Orang-orang Amerika tidak terkesan dengan penjualan sejuta eksemplar buku di Jepang atau memenangkan penghargaan, namun begitu karya masuk ke The New Yorker mereka mulai memperlakukan penulis bersangkutan dengan sangat berbeda. Detailnya bisa teman-teman baca sendiri di buku.
Bab ini ditutup dengan satu pertanyaan yang menggelitik, "So, where, I ask myself, do you think that potential lies?" Menurut Murakami perjalanan keberhasilannya awalnya adalah memantapkan diri sebagai penulis di Jepang, lalu mengalihkan fokusnya ke luar negeri, dan memperluas jangkauan pembacanya. Setelah itu, ia akan kembali menggali dirinya lebih dalam lagi, mencari potensi lain dan perubahan-perubahan yang tanpa akhir.
It's found inside me, I believe. First, I established myself as a writer within Japan, then turned my attention abroad, and widened the scope of my readership. And after this, I think, I will go even more deeply down inside myself, probing even further and deeper within. For me that's a new, unknown land, the final frontier.
I don’t know if I can effectively open up that frontier, but as I said, it's a wonderful thing to have a goal like this for yourself. No matter how old you are, no matter where you live.
Page 208
Buat saya pribadi, buku ini sudah menjawab pertanyaan-pertanyaan yang umum diajukan kita ke penulis terkenal, Haruki Murakami khususnya. Hal-hal yang membuat penasaran kini bisa dicari jawabannya di Novelist as a Vocation. Pencerahan saat menonton Yakult Swallow rasanya sudah pernah Murakami tulis di bukunya yang berjudul First Person Singular, bedanya saya tidak merasa pasti bahwa saat itu ia sedang menceritakan dirinya sendiri alih-alih menulis pengalaman tokoh fiksi.
Buku ini memang tidak berisi panduan langkah demi langkah menyusun novel. Pembaca yang berharap demikian sudah pasti kecewa. Namun, memoar ini somehow punya nilai yang sama karena di sini Murakami membagikan cara dia menulis dengan cukup detail, bahkan cara yang ia tempuh hingga karyanya dikenal di Amerika Serikat dan akhirnya di dunia.
Tulisannya juga bergaya refleksi dimana sebagai seorang penulis ia menapak tilas perjuangannya dari awal sekali saat menulis dengan tangan karena belum ada teknologi komputer, ketika ia benar-benar pemula dan tidak punya materi juga teknik menulis tapi fokus menyelesaikan karyanya yang pertama, dan ketika untuk pertama kalinya karyanya akhirnya diterjemahkan di Amerika serta mengalami penolakan berulangkali dari The New Yorker. Dari refleksi ini saya mendapatkan banyak insight karena menyimak keuletan dan daya juang Haruki Murakami.
Buku ini juga ditulis dengan kejujuran, terasa hangat dan intim. Pada beberapa kesempatan Murakami menyampaikan opininya dengan apa adanya, tanpa takut dinilai arogan atau berbeda, tapi juga mengakui bahwa mungkin apa yang dia lakukan akan dinilai sombong. Ia juga rendah hati dan bijak ketika menyampaikan bahwa cara yang dia tempuh bukanlah harga mati, dan setiap orang tentu punya caranya masing-masing untuk sukses. Buku ini sejatinya memang berisi pengalaman personal Haruki Murakami dalam membangun profesinya sebagai novelis ternama.
Banyak hal-hal menarik di luar teknik menulis yang juga saya temukan di sini, mulai dari hal kecil seperti buku penulis laki-laki dan wanita yang dipajang terpisah di toko buku Jepang hingga prestise majalah The New Yorker, atau tentang pendidikan Jepang dan pandangan sastra di sana. Juga tentang bagaimana mampu membaca buku bahasa Inggris begitu banyaknya ternyata tidak berpengaruh signifikan terhadap nilai pelajaran bahasa Inggris di sekolah. Di luar saran-saran seputar kepenulisan, emosi-emosi juga ditampakkan seperti kekecewaan pribadi, harapan, dan impiannya untuk masa depan. Ada terselip juga pesan misalnya untuk pendidikan Jepang di masa depan.
Ada beberapa hal repetitif memang di buku ini seperti penjelasan berulang tentang mengapa Murakami jarang muncul di public Jepang dan aktif di luar negeri. Selain itu yang menjadi pertanyaan saya adalah apakah yang Murakami bagikan dalam konteks teknik menulis novel adalah sesuatu yang berbeda dari yang umum sudah diketahui oleh para penulis novel. Ini tidak bisa saya jawab karena saya bukan penulis novel
Terlepas dari itu, buku ini tetap menawarkan pandangan yang mendalam tentang keseharian seorang penulis kawakan dan selama membaca saya menempatkan benak saya seterbuka mungkin untuk bisa memahami opini-opini Haruki Murakami. Kesimpulannya adalah I enjoy this book a lot.
Siapa Haruki Murakami
Haruki Murakami lahir di Kyoto pada tahun 1949 dan sekarang tinggal di dekat Tokyo. Karyanya telah diterjemahkan ke dalam lebih dari lima puluh bahasa, dan salah satu penghargaan internasional terbarunya adalah Penghargaan Dunia Cino Del Duca, yang penerima sebelumnya termasuk Jorge Luis Borges, Ismail Kadare, Mario Vargas Llosa, dan Joyce Carol Oates.
Also by Haruki Murakami
Fiction
1Q84
After Dark
After the Quake
Blind Willow, Sleeping Woman
Colorless Tsukuru Tazaki and His Years of Pilgrimage
Dance Dance Dance
The Elephant Vanishes
First Person Singular
Hard-Boiled Wonderland and the End of the World
Kafka on the Shore
Killing Commendatore
Norwegian Wood
South of the Border, West of the Sun
Sputnik Sweetheart
The Strange Library
A Wild Sheep Chase
Wind/Pinball
The Wind-Up Bird Chronicle
Non Fiction
Absolutely on Music (with Seiji Ozawa)
Underground: The Tokyo Gas Attack and the Japanese Psyche
What I Talk About When I Talk About Running: A Memoir
Murakami T Shirt
Sumber: Amazon dan Buku Novelist as a Vocation
Rekomendasi
Buku ini saya rekomendasikan kepada semua fans Haruki Murakami, para pembaca yang ingin tahu lebih banyak tentang cara penulis terkenal ini dalam membangun karirnya dan teknik-teknik yang ia gunakan dalam kepenulisan. Selain tentang kepenulisan ada pula opini-opini lain terkait Literary Prize, pendidikan Jepang, dll.
-------------------
-------------------------------------------------------------------------
Dipidiff.com adalah sebuah media edukasi yang menginspirasi melalui beragam topik pengembangan diri, rekomendasi buku-buku, dan gaya hidup yang bervibrasi positif.
Diana Fitri, biasa dipanggil Dipi, adalah seorang ibu yang gemar berkebun, dan rutin berolahraga. Gaya hidup sehat dan bervibrasi positif adalah dua hal yang selalu ia upayakan dalam keseharian. Sambil mengasuh putra satu-satunya, ia juga tetap produktif dan berusaha berkembang secara kognitif, sosial, mental dan spiritual.
Lulusan prodi Pemuliaan Tanaman Universitas Padjadjaran, Dipi lalu melanjutkan studi ke magister konsentrasi Pemasaran, namun pekerjaannya justru banyak berada di bidang edukasi, di antaranya guru di Sekolah Tunas Unggul, sekolah kandidat untuk International Baccalaureate (IB), dan kepala bagian Kemahasiswaan di Universitas Indonesia Membangun. Setelah resign tahun 2016, Dipi membangun personal brand Dipidiff hingga saat ini.
Sebagai Certified BNSP Public Speaker dan Certified BNSP Trainer, serta certified IALC coach, Dipi diundang oleh berbagai komunitas dan Lembaga Pendidikan untuk berbagi topik membaca, menulis, mereviu buku, public speaking, dan pengembangan diri, misalnya di Kementrian Keuangan, Universitas Negeri Semarang, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, BREED, Woman Urban Book Club, Lions Clubs, Bandung Independent School, The Lady Book Club, Buku Berjalan.id, SMAN 24 Bandung, SMAN 22 Bandung, dan lain-lain. Dipi juga pemateri rutin di platform edukasi www.cakap.com . Dipi meng-coaching-mentoring beberapa remaja dan dewasa di Growth Tracker Program, ini adalah program pribadi, yang membantu (terutama) remaja dan dewasa muda untuk menemukan passion dan mengeluarkan potensi mereka.
Berstatus bookblogger, reviu-reviu buku yang ia tulis selalu menempati entry teratas di halaman pertama mesin pencari Google, menyajikan ulasan terbaik untuk ribuan pembaca setia. Saat ini Dipi adalah brand ambassador untuk Periplus Bandung dan berafiliasi dengan Periplus Indonesia di beberapa event literasi. Dipi juga menjadi Official Reviewer untuk Republika Penerbit dan berpartner resmi dengan MCL Publisher. Kolaborasi buku-bukunya, antara lain dengan One Peach Media, Hanum Salsabiela Rais Management, KPG, Penerbit Pop, Penerbit Renebook, dan Penerbit Serambi. Reviu buku Dipi bisa dijumpai di www.dipidiff.com maupun Instagram @dipidiffofficial. Dipi host di program buku di NBS Radio. Dulu sempat menikmati masa dimana menulis drop script acara Indonesia Kemarin di B Radio bersama penyiar kondang Sofia Rubianto (Nata Nadia). Podcast Dipi bisa diakses di Spotify DipidiffTalks.
Let's encourage each other to shape a better future through education and book recommendation.
Contact Dipidiff at DM Instagram @dipidiffofficial
TERBARU - REVIEW BUKU
Review Buku The Quiet Tenant - Clémence …
23-08-2023 Dipidiff
National Best Seller One of The Most Anticipated Novels of 2023 GMA Buzz Pick A LibraryReads #1 Pick One of The Washington Post’s Notable Summer Books 2023One of Vogue’s Best Books of 2023One of Goodreads’s Most Anticipated Books...
Read moreReview Buku The Only One Left - Riley Sa…
23-07-2023 Dipidiff
Editor's Pick Best Mystery, Thriller & Suspense The Instant New York Times Bestseller Named a summer book to watch by The Washington Post, Boston Globe, USA Today, Oprah, Paste, Country Living, Good Housekeeping, and Nerd Daily Judul...
Read moreReview Buku Helium Mengelilingi Kita - Q…
14-06-2023 Dipidiff
Judul : Helium Mengelilingi Kita Penulis : Qomichi Jenis Buku : Sastra Fiksi, Coming of Age Penerbit : MCL Publisher Tahun Terbit : Maret 2023 Jumlah Halaman : 246 halaman Dimensi Buku : 14 x 20,5...
Read moreReview Buku Earthlings - Sayaka Murata
14-02-2023 Dipidiff
A New York Times Book Review Editors' ChoiceNamed a Best Book of the Year by the New York Times, TIME and Literary HubNamed a Most Anticipated Book by the New York Times, TIME, USA Today, Entertainment Weekly, the Guardian, Vulture, Wired, Literary Hub, Bustle, PopSugar, and Refinery29 Judul...
Read more