Review Buku The Only One Left - Riley Sager
Editor's Pick Best Mystery, Thriller & Suspense
The Instant New York Times Bestseller
Named a summer book to watch by The Washington Post, Boston Globe, USA Today, Oprah, Paste, Country Living, Good Housekeeping, and Nerd Daily
Judul : The Only One Left
Penulis : Riley Sager
Jenis Buku : Murder Thrillers, Psychological Thrillers, Suspense Thrillers
Penerbit : Dutton, imprint Penguin Random House LLC
Tahun Terbit : 2023
Jumlah Halaman : 400 halaman
Dimensi Buku : 6 x 1 x 9 inci
Harga : Rp. 285.000*harga sewaktu-waktu dapat berubah
ISBN : 9780593474471
Paperback
Edisi Bahasa Inggris
Available at PERIPLUS BANDUNG Bookstore (ig @Periplusbandung)
Sekelumit Tentang Isi
Bestselling author Riley Sager returns with a Gothic chiller about a young caregiver assigned to work for a woman accused of a Lizzie Borden-like massacre decades earlier.
At seventeen, Lenora Hope
Hung her sister with a rope
Stabbed her father with a knife
Took her mother’s happy life
“It wasn’t me,” Lenora said
But she’s the only one not dead
Pembunuhan keluarga Hope mengejutkan pantai Maine pada suatu malam berdarah di tahun 1929. Sementara kebanyakan orang menganggap Lenora yang berusia tujuh belas tahun bertanggung jawab, polisi tidak pernah bisa membuktikannya. Selain penyangkalannya setelah pembunuhan, dia tidak pernah berbicara di depan umum tentang malam itu, juga tidak pernah menginjakkan kaki di luar Hope's End, rumah besar di sisi tebing tempat pembantaian itu terjadi.
Sekarang tahun 1983, asisten kesehatan rumah, Kit McDeere, tiba di Hope's End untuk merawat Lenora setelah perawat sebelumnya, Mary, melarikan diri di tengah malam. Di usia tujuh puluhan dan terkurung di kursi roda, Lenora bisu dan hanya bisa berkomunikasi dengan Kit menggunakan mesin tik tua. Suatu malam, Lenora menuliskan kalimat yang membuat hati Kit tercekam, bahwa ia ingin menceritakan semua yang terjadi dulu itu.
Saat Kit membantu Lenora menulis tentang peristiwa yang mengarah ke pembantaian keluarga Hope, pelan-pelan terungkap cerita-cerita lain di baliknya. Tetapi ketika detail baru tentang kepergian perawat Mary terungkap, Kit mulai curiga Lenora mungkin tidak mengatakan yang sebenarnya — dan bahwa wanita yang tampaknya tidak berbahaya dalam perawatannya bisa jauh lebih berbahaya daripada yang dia pikirkan.
Disarikan dari Amazon.com
Rekomendasi
Novel ini saya rekomendasikan kepada para pecinta misteri pembunuhan, gothic thriller, dan fiksi thriller, dengan tokoh utama wanita biasa. Plot twist berlapis dan latar gothic-nya adalah dua hal yang paling berkesan, ending-nya tertutup, dan adegan seputar pembunuhan dideskripsikan cukup detail.
Catatan: pembunuhan, bunuh diri, kekerasan dan kekejaman, dll.
This Book Review Might Have Spoiler!
Tokoh dan Karakter
- Winston Hope
- Evangeline Hope
- Virginia Hope
- Lenora Hope
- Mr. Gurlain
- Kit McDeere
- Carter
- Mrs. Baker
- Jessica
- Mary
- Archibald
- Peter Ward
- Richard Vick
- Ricardo Mayhew
- Berniece Mayhew
Tokoh utama di buku kita kali ini adalah Kit dan Lenora yang oleh Riley Sager dideskripsikan fisiknya dengan cukup rinci. Bahkan tokoh-tokoh lainnya pun disebutkan ciri-cirinya di dalam cerita. Meski beberapa pembaca kadang tidak menggunakan deskripsi yang diberikan penulis untuk mengimajinasikan tokoh, dan persepsi tiap orang sangat mungkin berbeda, namun secara teknis, saya menyukai hal seperti ini tidak terlewatkan oleh Riley Sager.
Lenora Hope, di usia muda kulitnya pucat dan wajahnya lembut, hidung mancung, bibir ranum, mata hijau terang, dengan tatapan nakal. Di usia 71 tahun, di mata Kit, Lenora tampak seperti sesuatu yang memudar dengan jubah tipisnya yang berwarna abu-abu, begitupun sandal, dan kaus kaki. Jubahnya putih, dengan rambut yang penuh uban, dibiarkan panjang dan lurus hingga bawah bahu. Namun matanya tetap tetap hijau terang seperti waktu ia masih muda.
Unlike Mrs. Baker, I'm stopped cold by the portrait. In it, Lenora is seated on a white divan, with pink-striped wallpaper behind her and, just over her shoulder, a sliver of mirror in a gilt frame. Lenora leans somewhat awkwardly against the armrest of the divan. Her hands rest on her lap, fingers intertwined, suggesting a tension the painter tried hard to disguise with a too-casual pose.
Her pale skin and delicate features make me think of a flower just before it blooms. Young Lenora had a pert nose, ripe lips, and green eyes almost as bright as the stained glass over the Grand Stairs. She stares directly at the painter, a spark of mischief in her gaze, almost as if she knows what people will be saying about her decades in the future.
Page 28
Or even the presence of Mrs. Baker behind me. All I can focus on is Lenora, seated in that old-timey wheelchair, bathed in sunlight so bright it makes her look pale, almost translucent.
The infamous Lenora Hope, reduced to a ghost.
Everything about her, really, seems sapped of color. Her robe is threadbare and gray, as are the slippers on her feet. Gray socks run to just below her knees, where they bunch and sag. The nightgown under the robe was likely white once upon a time, but too many washings have left it the same ashen shade as her skin. The grayness extends to her hair, which is kept long and straight and cascades down her shoulders.
It isn't until Lenora lifts her head that i see a single bit of color.
Her eyes.
Their green is almost as bright as her eyes in the portrait down-stairs. But what's fascinating in the painting is downright startling in person, especially when surrounded by all that gray. They remain me of lasers. They burn.
Page 44
Di usia 17 tahun Lenora dituduh membunuh keluarganya namun tidak dihukum karena ketiadaan bukti kuat, sekarang dia lumpuh, menderita stroke berkali-kali, dan bisu di kursi roda di Hope's End.
Kit McDeere, gadis berusia 31 tahun, bekerja di agensi Gurlain selama 12 tahun sebelum kena skors tanpa bayaran selama 6 bulan karena kasus kematian seorang pasien yang ditanganinya. Ia diinvestigasi oleh polisi, agensi, dan Departemen Kesehatan dan Layanan Kemanusiaan negara. Kejadian ini sangat tidak menyenangkan dan membuat Kit terpuruk. Penampilan fisik Kit digambarkan sebagai seseorang yang tidak peduli dengan fashion dan penampilan karena alasan-alasan praktis. Mantel yang dikenakan mantel lama, blus putih, rok abu-abu, sepatu flat hitam tua. Di dalam suatu adegan Kit juga pernah disebutkan memakai celana panjang dan cardigan sepuluh tahun kadaluwarsa. Ia jelas bukan wanita yang 'bergaya' dalam fashion dan lebih mengutamakan kenyamanan serta penghematan.
The woman pauses to take in what I'm wearing, seemingly finding my coat lacking. It's blue wool and pilled in too many places to count. I've had it for so long I can't remember when or where I bought it. Or maybe Mrs Baker's apparent distaste is reserved for what s under the coat. White blouse. Gray skirt. Black flats last worn at my mother's funeral. If so, I can't help it. These are the nicest clothes I own.
Page 25
I honestly have no idea how to respond. Do I feel relaxed after being suspended without pay six months ago? iI it refreshing being forced to sleep in my childhood bedroom and tiptoe around my silent, seething father, who disappointment colors our every interaction? Did i enjoy being investigated by the agency, the state's Department of Health and Human Service, the police? The answer to all of it is no.
Page 6
Mrs. Baker, pengurus rumah tangga Hope's End, adalah seorang wanita yang berpenampilan monokrom, rambut putih sebahu, gaun hitam membingkai tubuhnya yang langsing, kulit pucat, mata biru, lipstik tebal warna merah ceri, usia sekitar tujuh puluh lima, berkacamata kucing yang tergantung dengan rantai di leher. Penampilannya dramatis.
Before I can even knock, the doors fly open, revealing a woman standing just inside. Her sudden presence startles me. Or maybe it's simply her monochrome appearance that's startling. White hair that brushes her shoulders. Black dress fitted tightly around a svelte frame. Lace collar that resembles the doilies my grandmother used to crochet. Pale skin. Blue eyes. Lipstick a bold cherry red. It's all so dramatic and severe that I can't quite pinpoint the woman's age. If i had to guess, I'dd say seventy-five, knowing I could be off by at least ten years in either direction.
A pair of cat's-eye glasses hangs from a chain around the woman's neck. She brings them to her eyes and peers at me for a breath of a second - an instant appraisal.
Page 24-25
Mr. Gurlain, atasan Kit di Gurlain Home Health Aides, sikapnya kaku, dingin, tidak berempati, dideskripsikan fisiknya sebagai pria kurus, tinggi. Perusahaan Gurlain menyediakan jasa perawatan pasien jangka panjang satu-satunya di pantai Maine.
Carter, laki- laki tampan yang bekerja di Hope's End merawat kebun dan semua ground area di sana. Usia pertengahan tiga puluhan, bertubuh bugar, janggut lebat, dan rambut yang ikal di bagian ujung.
Jessica, pelayan Hope's End, wanita muda berusia sekitar dua puluh, berseragam pelayan formal, gaun hitam selutut, baju dengan kerah putih kaku, celemek putih yang belepotan, rambut berwarna merah mencolok dengan campuran warna garis biru neon di kedua sisi wajah, kelopak mata diwarnai biru dan berlipstik merah muda, pipinya pun berwarna merah muda dengan warna yang lebih gelap di atas tulang pipi.
Archibald, koki di Hope's End, pria berusia tujuh puluhan, dengan dada dan perut besar mengenakan celana kotak-kotak dan mantel koki putih, kepala dicukur dan hidung yang agak bengkok, namun senyumnya lebar.
Selain itu ada Winston Hope yang menghasilkan banyak uang dalam pengiriman dan membangun perkebunannya di pantai berbatu Maine Utara, licik, tamak, dan selalu menggunakan uang serta kekuasaan untuk mendapatkan yang ia mau. Ada Evangeline Hope, istri Winston Hope yang depresi, dan Virginia Hope, saudara Leonora. Kenny (20 tahun), punya hubungan mutual dengan Kit, Mary perawat yang menghilang, Peter Ward yang melukis keluarga Hope jaman dulu, detektif Richard Vick yang menyelidiki kasus Kit, Ricardo Mayhew yang menjaga rumah Hope jaman dulu beserta istrinya yang bekerja sebagai pelayan, Berniece Mayhew.
Alur dan Pov
Cerita beralur kombinasi maju mundur dan sedikit flashback. Kecepatannya sedang-cepat. Kisah masa lalu mengambil latar waktu tahun 1929 dan masa kini di tahun 1983. Secara total, memang terasa vibes jaman lampaunya.
Kisah disampaikan dari sudut pandang Kit dan Lenora (Pov 1) bergantian.
The Only One Left berlatar tempat kota Maine dengan sebagian besar lokasi di mansion Hope's End. Selebihnya ada lokasi kantor Gurlain Home Health, rumah Kit, ruang interogasi, dan beberapa lokasi lainnya di sana-sini.
Latar
Rumah besar Hope's End digambarkan dengan detail sehingga tercipta vibes gotiknya dengan baik.
Rumah besar Hope's End dan area sekitarnya digambarkan sebagai rumah yang sangat besar tapi rusak dan berantakan. Jendela lantai dua kehilangan panel dan lubang yang menganga ditutup dengan kayu lapis. Bongkahan marmer rusak ada di beberapa pintu dan jendela. Atapnya kehilangan seperlima bagian dari batu tulisnya, sehingga terlihat usang dan bopeng.
Jalan masuk berakhir di bundaran di depan rumah, dengan jeruji yang mengarah ke garasi yang berjumlah lima beberapa meter dari bangunan utama.
I drive slowly, my gaze fixed on the jaw-dropping structure looming up ahead. But as I get closer, the luxurious grandeur of the place fades like fog, revealing the neglect hiding in plain sight.
Up close, I realize, Hope's End is a mess.
One of the second-floor windows is missing panes and now has plywood covering the gaping hole. Chunks of marble have broken off the detailing around some of the doors and windows. The roof is missing a fifth of its slate shingles, giving it a battered, pockmarked look that s honestly a relief. at last, a place as broken as I feel.
The driveway ends in a roundabout in front of the house, with another spoke leading to a low-slung garage several yards from the main building. turning through the roundabout, I count the garage doors.
Five.
How the other half lives indeed.
At the front of the house, I park, get out of the car, and hop up three steps to a massive set of double doors placed in the dead center of the mansion.
Page 24
Bagian dalam Hope's End lebih bagus daripada bagian luarnya, tetapi hanya sedikit saja. Tepat di belakang pintu ada serambi besar dengan ubin marmer, tirai beludru di jendela, dan permadani di dinding. Perabotan dari pohon palem, pot hingga kursi kayu mewah dengan bantal berdebu di bawah bantal brokat. Di atas kepala, langit bercat minyak yang penuh dengan awan merah muda menghiasi langit-langit yang melengkung. Semuanya terlihat mewah sekaligus lusuh dan berhenti di masa lalu, seperti lobi hotel bintang empat yang tiba-tiba ditinggalkan puluhan tahun lalu.
Di sebelah kiri, lorong panjang melewati jendela tinggi dan satu pintu terbuka, menuju ke satu set pintu ganda lebar yang saat ini ditutup. Kemudian berbelok tajam ke kanan, menghilang di tikungan. Di sebelah kanan adalah lorong lain, langsung ke ruangan yang bermandikan sinar matahari.
Di depan ada The Grand Stairs yang dibangun tahun 1913, yakni sebuah tangga berkarpet merah tepat di seberang pintu depan yang menjulang selusin anak tangga sebelum terbelah menjadi dua seperti sepasang sayap. Setiap bagian simetris kemudian melengkung ke atas ke lantai dua. Sebuah jendela kaca patri menjulang di atas landasan tengah, di mana sinar matahari yang miring dalam warna pelangi mewarnai karpet.
Lantai ber berbintik-bintiknya tidak rata.
Tidak ada apa pun tentang Hope's End yang menunjukkan keceriaan, bahkan beberapa bagian yang indah pun terlihat kelam. Kesuraman dan malapetaka tampaknya telah menetap di sudut-sudut, berkumpul di sana seperti sarang laba-laba. Ada juga hawa dingin di udara - sesuatu yang berbau asin dan tidak berwujud yang membuat menggigil.
The inside of Hope's End is nicer than the outside, but only slightly. Just beyond the door is a grand foyer with marble tile, velvet drapes at the windows, and tapestries on the walls. the furnishings range from potted palms to fancy wooden chairs with dusty cushions under brocade pillows. Overhead, an oil-painted sky full of puffy-pink clouds adorns the arched ceiling. It all looks simultaneously fancy and shabby and stopped in time. Like the lobby of a four-star hotel that had been suddenly abandoned decades ago.
To the left, a long hallway runs past tall windows and a single open doorway, on its way to a set of wide double doors that are currently closed. It then takes a sharp right, disappearing around a corner. on the right is another hallway, offering a straight shot to a sun-drenched room.
My attention, though, is mostly focused on what s in front of me. A red-carpeted staircase directly across from the front door that rises a dozen steps before splitting in two like a pair of wings. each symmetrical half then curves upward to the second floor. A stained-glass window looms over the center landing, through which slant streaks of sunlight in rainbowe hues that color the carpet.
"The Grand Stairs," Mrs. Baker says. "Built with the house in 1913. Very little about the place has changed since then. Mr. Hope made sure to choose a design that was timeless."
She keeps moving, her heels clicking like a metronome on the marble tile. I trail after her, tripped up slightly by the floor. It's uneven in spots, swelling and ebbing like the ocean outside.
..
So far, nothing about Hope's End suggests cheerfulness, even the few pretty bits. Gloom and doom seem to have taken up residence in the corners, gathered there like cobwebs. There's also a chill to the air - a salt-tinged, intangible something that makes me shiver.
Page 27-28
Menyelusuri lorong terdapat pintu ganda tertutup rapat lurus ke depan. Pintu di kanan mengarah ke ruang makan formal, gelap tetapi dicerahkan oleh dua set pintu Prancis yang mengarah ke teras. Di antara dua pintu itu ada perapian berornamen yang sangat besar seukuran mobil. Sepasang lampu gantung menggantung di setiap ujung meja cukup panjang untuk menampung dua lusin orang. Kamar di Hope's End ada tiga puluh enam.
Dapurnya cukup besar untuk sebuah restoran. Ada beberapa oven dan pembakar dan perapian berlapis batu bata, di dalamnya ada kobaran api kecil. Rak-rak penuh wadah porselen berjejer di dinding, dan lusinan pot tembaga digantung dari langit-langit di rak besi tempa. Sebuah meja kayu besar terletak di tengah ruangan, membentang dari hampir satu dinding ke dinding lainnya.
Continuing down the hallway, I survey my surroundings. Double doors closed tight straight ahead, open doorway to my right. I peek through it to see a formal dining room, unlit but brightened by two sets of French doors that lead to the terrace. Between them is an ornate fireplace so big I could park my car inside it. A pair of chandeliers hang over each end of a table long enough to seat two dozen people.
"Hope's End has thirty-six rooms," Mrs. baker says as we reach the closed double doors at the end of the corridor. "You only concern yourself with three. Mrs. Hope s quarters, your own quarters, and here."
I follow Mrs. Baker as she cuts right, around the corner and into a kitchen large enough for a restaurant. There are multiple ovens and burners and a brick-lined fireplace, inside of which a small blaze crackles. Shelves full of porcelain containers line the walls, and dozens of copper pots hang from the ceiling on wrought iron racks. A massive wooden counter sits in the center of the room, running from almost one wall to another.
Page 38
Koridor panjang seperti lorong-lorong di lantai bawah, membentang dari satu sisi mansion ke sisi lainnya, dengan bagian atas Grand Stairs berada di tengah. Tidak seperti koridor yang lebih luas dan lebih terang, koridor ini sempit seperti terowongan dan sama redupnya. Karpetnya berwarna merah. Wallpapernya damask biru merak. Selusin pintu berbaris di setiap sisi, semuanya tertutup. Ada sensasi aneh dan membuat pusing saat melewati bagian ini karena lantainya yang miring ke arah tebing akibat tebing terkikis oleh air laut.
Warna wallpapernya terlalu gelap dan cetakannya terlalu kemerah-merahan untuk ruang yang terbatas. Semua kelopak hiasan itu terbuka dan terjalin memberi kesan sebuah taman yang tumbuh liar dan sekarang mengambil alih rumah.
Kamar Kit dideskripsikan sebagai sebuah kamar kecil tapi rapi. Dinding kuning mentega, meja rias, kursi baca, rak buku besar yang penuh dengan buku. Ada pemandangan laut yang indah. Seragam perawat putih terlipat rapi seperti serbet di restoran mewah di atas ranjang.
We start off down a long corridor. Like the downstairs hallways, it runs from one side of the mansion to the other, with the top of the Grand Stairs positioned in the middle. Unlike those wider, better-lit corridors, this one is as narrow as a tunnel and just as dim. The carpet is red. The wallpaper is peacock blue damask. A dozen doors line each side, all of them shut.
Moving through the corridor, I feel a strange sensation. Not dizziness. Nothing as strong as that.
Instability.
That's what I feel.
Like I've just had a few very strong drinks.
I touch the wall for support, my palm skimming across the blue wallpaper. It's overwhelming. The color is too dark and the print too florid for such a confined space. All those ornate petals bursting open and intertwining give the impression of a garden that s grown wild and visious and is now overtaking the house. My hand recoils from the wall at the thought, which sends me listing ever so slightly in the other direction.
"What you're feeling is the house," Mrs Baker says without looking back. " It tilts slightly toward the ocean. It's not very noticeable on the first floor. You can only feel it on the upper levels."
"Why is it tilted?"
"The cliff, dear. The ground here at the top has shifted over time as the cliff has eroded."
Page 41
Mrs. Baker steps away from the door, allowing me to peek inside. The room is small but tidy. Butter yellow walls, a dresser, a reading chair, a large bookshelf blessedly filled with books. There s even a view of the ocean, which under different circumstances would make my heart sing. But I'm too focused on the bed and the white nurse s uniform sitting on top of it, folded as neatly as a napkin in a fancy restaurant.
Page 41
Kamar Lenora berhiaskan wallpaper garis-garis merah muda. Dipan putih juga ada di sana, kainnya menjadi gelap oleh waktu. Di dinding di belakangnya ada cermin. Jendela tinggi yang menghadap ke Atlantik. Pemandangan di luarnya bahkan lebih menakjubkan daripada yang ada di ruang berjemur. Lautan terlihat dari sini - kanvas luas air yang bergolak yang terlihat seperti rumah yang menyenangkan. Sudut pandang lantai dua yang lebih tinggi memberikan gambaran yang lebih baik tentang seberapa dekat rumah itu dengan tepi tebing. Karena kemiringan rumah ke arah tebing, pemandangan tampak lebih memusingkan seakan-akan akan terjungkal.
Kursi roda di sudut ruangan, menghadap ke jendela. modelnya kuno, terbuat dari anyaman dan kayu, dengan dua roda besar di depan dan satu roda kecil di belakang, seperti sepeda roda tiga. Jenis kursi roda yang sudah puluhan tahun tidak digunakan.
The first thing I notice about the room is the wallpaper. Pink stripes. Exactly like in the portrait downstairs. The white divan is there as well, its fabric darkened by time but clearly the same one Lenora posed on. On the wall behind it is the gilt-edged mirror glimpsed in the portrait. Staring at the entire mirror - and my uniformed reflection in it - makes me feel a bit like Alice going through the looking glass. Instead of Wonderland, though, I've ended up inside the portrait of Lenora Hope and now stare at myself from outside the frame.
The next thing to catch my eye are the tall windows that face the Atlantic. The view beyond them is even more stunning than the one in the sunroom. The ocean is visible from here - a vast canvas of churning water that looks like a fun house -mirror version of the sky. Two blues, one scudded with clouds, the other whitecaps. the second floor s higher vantage point gives me a better idea of how close the house is to the cliff's edge. Right against it, in fact. There's no land beyond the terrace railing. Just's a straight drop directly into the sea.
Because of the slight tilt of the house, the view seems extra vertiginous. Even thought I'm in the middle of the room, I feel like I have my forehead pressed against one of the windows, looking down. Another twinge of instability hits me, and I spend a fraught moment worrying i m about to tip right over.
But then I finally notice the wheelchair parked in a corner of the room, facing the windows. It's old-fashioned, constructed of wicker and wood, with two large wheels in front and a small one in the back, like a tricycle. The kind of wheelchair that hasn't been used in decades.
Page 43
Ruang berjemur setidaknya lebih terang dari bagian rumah lainnya, jika tidak bisa dibilang ceria. Perabotannya sama dengan barang antik pengap yang terlihat di tempat lain di sekitar Hope's End. Begitu banyak beludru, sulaman, dan jumbai-jumbai. Sebuah grand piano di ujung ruangan, ditutup rapat.
Pengap ruangan diragi oleh deretan jendela dari lantai ke langit-langit di sepanjang dua dinding. Satu baris jendela menghadap ke halaman. Set jendela lainnya menghadap ke teras kosong. Pagar marmer pendek, bahkan tidak setinggi pinggang, membentang di sepanjang teras yang memperlihatkan hanya hamparan langit biru langit tak berujung yang membuatnya tampak seperti rumah besar yang benar-benar mengambang di udara. Ada kursi tua love seat di ruangan ini.
The sunroom is at least brighter than the rest of the house, if not exactly cheerful. The furniture is the same kind of musty antiqes spotted elsewhere around Hope s End. So much velvet and embroidery and tassels. A grand piano anchors the far end of the room, its lid lowered and shut tighter than a casket.
The room's stuffiness is leavened by the rows of floor-to-ceiling windows along two walls. one row of windows faces the lawn, through which I can see Carter in the distance, back to raking leaves. The other set of windows looks out onto an empty terrace. A short marble railing, not even waist high, runs the length of the terrace. I can't see anything past the railing because there's literally nothing else to see. Just an endless expanse of cerulean sky that makes it seem like the mansion is literally floating in midair.
Mrs. Baker grants me a few more second of gawking before gesturing to a red velvet love seat. "Please, sit."
I lower myself onto the edge of the love seat, as if I'm afraid of breaking it. Which I am. everything at Hope's End seems so old and so expensive that I assume nothing here can be replaced.
Page 29
Kamar Lenora lebih besar dari kamar Kit tetapi juga pengap, baik aliran udara maupun perabotan. Jendelanya tertutup rapat, tapi baunya juga tidak seperti kamar sakit.
Furniturnya bufet dan dipan pudar, ada lemari di dinding seberang, meja di sudut, kursi berlengan yang serasi dengan dipan, dan beberapa meja samping dengan lampu Tiffany. Berenda dan sedikit kekanak-kanakan bergaya lampau.
Ada barang modern lift Hoyer di samping tempat tidur, yang memungkinkan transfer lebih mudah ke dan dari kursi roda. Alasnya yang berbentuk U, tiang penyangga miring, dan pompa hidrolik tidak semulus versi lainnya. Di bagian atas, menjuntai selempang nilon.
Tempat tidurnya penuh dengan bantal, yang memiliki lekukan berbentuk manusia. Tidak ada TV di dalam ruangan, tapi ada mesin tik tua di atas meja, berwarna hijau mint, peninggalan tahun enam puluhan tapi masih dapat berfungsi baik.
I scan the room, which is larger than mine but also stuffy, in both air flow and furnishings. The windows are firmly shut, making me question when they were last opened. A crisp ocean breeze would do wonders. but it doesn't smell like a sickroom, either. A relief. I've spent far too much time moving around sticky rooms that smell of sweat, body odor, and decay.
As for the furniture, well, not much can be done about that. in addition to the sideboard and faded divan, there's an armoire against the opposite wall, a desk in the corner, an armchair that matches the divan, and several side tables with Tiffany lamps. It's frilly and slightly girlish and makes me conclude that this was Lenora's childhood bedroom and has remained unchanged for decades. The idea of a woman sleeping in the same room she had as a child would be weird if not for the fact that I have just been doing the same thing.
The only nod to modernity is a Hoyer lift next to the bed, which allows for easier transfer to and from a wheelchair. I've used them plenty of times, although this looks to be an early modern. Its U-shaped base, angled support pole, and hydraulic pump aren't as sleek as other versions. At the top, dangling from what looks like an oversize coat hanger, is a nylon sling.
The bed itself is crowded with pillows, which bear a human-shaped indentation. I shudder at the thought of being forced to lie there all day with nothing to do.
"Surely there s somehting she likes to do," I say, searching for a television somewhere in the room. Most of my other patients loved having the TV on, even if they didn't really watch. just the sound of it kept them company.
Instead of a television. I spot a typwriter atop the desk. It's old - mint green, off-white key, clearly a relic of the sixties - but in working condition, as evidenced by a sheet of paper slid into the carriage.
Page 54
Perpustakaan di mansion dipenuhi rak yang menjulang dari lantai ke langit-langit, sofa kulit, dan dua kursi berlengan yang serasi di samping perapian marmer. Di atas perapian ada tiga vas cloisonne dengan pola bunga gading yang serasi dan tanaman merambat biru yang melilit. Di belakang alat tenun ada wallpaper persegi panjang besar yang lebih gelap dari area sekitarnya.
I take in the floor-to-ceiling shelves, a leather sofa, and two matching armchairs scooted next to a marble fireplace. On the mantel are three cloisonne vases in a matching pattern of ivory flowers and twisting blue vines. Behind the looms a large rectangle of wallpaper darker than the surrounding area.
Page 81
Selain rumah besar Hope's End ada juga beberapa lokasi lain yang dideskripsikan tapi selintas saja, misalnya kantor Gurlain Home Health Aider dan ruang interogasi.
Gurlain Home Health Aider digambarkan sebagai kantor yang berada di Main Street, terselip di antara salon kecantikan dan etalase, ruangannya lega tanpa rak, mesin kasir, dan pajangan produk, sehingga tampak terlalu luas dan kosong untuk diisi oleh Mr Gurlain saja. Pintunya berbunyi saat keras saat ditutup.
Riley Sager menyatakan dalam salah satu wawancara bahwa ia sengaja mengambil latar waktu jaman dulu untuk dapat memberi waktu kasus Lenora terasa seperti legenda lokal tapi cukup tidak terlalu lama sehingga para tokohnya masih hidup. Judul asli naskah buku ini awalnya juga bukan The Only One Left.
Konflik
Konflik cerita terpusat pada misteri pembunuhan. Sedangkan problem internal tokoh Kit ada pada usianya yang sudah dewasa dan butuh kerja sedang ia tidak punya banyak pilihan dalam menghasilkan uang sehingga memilih bertahan bekerja merawat Lenora walau ada bahaya mengintai keselamatannya. Kit terpaksa mengambil cuti tanpa bayaran selama enam bulan setelah klien sebelumnya overdosis fentanil dari botol yang ditinggalkannya dalam jangkauan. Meskipun kasus ini berakhir tanpa tuntutan, Kit masih dicurigai oleh banyak orang — termasuk polisi — dengan dugaan sengaja membunuh wanita itu. Kit merasa putus asa dan keuangannya juga sangat minim.
Ada kesan bahwa atasannya, Mr. Gurlain, memilih Kit untuk tugas tersebut karena Lenora Hope adalah satu-satunya pasien yang tidak seorang pun, bahkan polisi, akan keberatan jika ia meninggal atau terbunuh.
Untuk tinggal bersama ayahnya Kit merasa tidak sanggup, karena hubungan di antara mereka juga mendingin sejak kasus meninggalnya pasien yang ditangani Kit terjadi. Ayah Kit jarang bicara dan mendiamkannya. Kit juga merasa kesepian dengan ayahnya yang tidak peduli dan ibunya yang meninggal dunia. Samar-samar ada disfungsi keluarga di sini meski itu bukan isunya.
Katanya penokohan wanita muda dengan yang mengalami kejadian traumatis dan hancur lalu berjuang untuk melanjutkan hidup adalah tipe tokoh yang digunakan Riley Sager di semua bukunya sehingga menimbulkan kejenuhan pembaca. Dalam hal ini saya jadi penasaran untuk membaca buku-buku Sager lainnya dan mendapatkan opini terkait itu. Bagaimana menurut teman-teman?
Opini - Yang menarik dan atau disuka dari Buku ini
Terbit bulan Juli 2023, novel The Only One Left ternyata masuk kategori ghotic thriller. Pecinta Gothic paham betul bahwa kisah misteri dan intrik seputar supranatural umumnya ada pada buku bergenre ini. Kisahnya sendiri spesifik berkarakteristik hal-hal berbau kematian, kegilaan, tragedi cinta, dan berlatar rumah atau kastil berhantu.
Dari salah satu artikel wawancara di shereads.com, saya mendapatkan informasi bahwa kisah di buku ini terinspirasi kasus Lizzie Andrew Borden, seorang wanita Amerika yang diadili dan dibebaskan atas pembunuhan ayah dan ibu tirinya pada tanggal 4 Agustus 1892 di Fall River, Massachusetts. Tidak ada orang lain yang didakwa atas pembunuhan tersebut, dan meskipun diasingkan oleh penduduk lain, Borden menghabiskan sisa hidupnya di Fall River. Dia meninggal karena pneumonia pada usia 66, hanya beberapa hari sebelum kematian kakak perempuannya, Emma (*sumber wikipedia). Riley merenungkan kasus ini dan timbul pertanyaan bagaimana jika Lizzie Borden di usia tuanya membutuhkan perawat, dan dari poin itulah cerita fiksi ini kemudian berkembang. Dari saat pertama kali ia menyerahkan draft pertamanya ke editor hingga buku ini terbit dibutuhkan waktu 10 bulan untuk mematangkan semua bahan (*sumber writerdigest.com).
Dalam wawancara Riley Sager menyebutkan kasus Menendez bersaudara yang dihukum karena menembak mati orang tua mereka adalah kasus yang paling berkesan untuknya dan orang-orang di generasinya. Menghidupkan motif kasus pembunuhan penuh tanda tanya ini ke dalam cerita menurutnya tidak mudah. Tapi pertanyaan-pertanyaan yang membangkitkan rasa penasaran seperti inilah yang ingin Riley Sager hadirkan dalam cerita Lenora ini. Buat saya pribadi, pada kenyataannya memang poin-poin inilah yang mengikat cerita sehingga menarik untuk disimak sampai habis selain nasib akhir para tokoh cerita dan penjelasan kronologis malam berdarah.
Kasus pembantaian keluarga Hope terjadi di rumah besar Hope's End di pantai Maine tahun 1929. Lenora Hope (17 tahun) dituduh sebagai pembunuh namun karena tidak ada bukti yang kuat, kasus itupun ditutup begitu saja. Tahun 1983 teka-teki malam berdarah itu pelan-pelan terkuak saat Kit McDeere bekerja sebagai perawat Lenora (71 tahun) menggantikan Mary, perawat sebelumnya, yang menghilang dan kemudian ditemukan mati.
Hal pertama yang saya sukai dari novel ini adalah latar rumah besar Hope's End yang detail dengan nuansa kegelapan dan kutukan, terasa seram, penuh bayang-bayang kelam. Ceritanya sendiri membuat saya bertanya-tanya sejauh mana urusan supranatural punya peran di luar kegilaan tokoh-tokoh manusianya. Adegan tour tkp yang dilakukan tokoh Jessica juga lumayan mendatangkan rasa ngeri dan tercekam serta dugaan-dugaan kehadiran makhluk halus di rumah bekas pembunuhan tersebut.
Meski tokoh utama wanita di sini cukup membuat saya gemas karena melakukan beberapa kelemahan (tipe tokoh manusiawi), secara psikologis tindakan-tindakannya dapat diterima logika. Obsesi Kit untuk mengungkap kebenaran dan memecahkan misteri di balik kematian keluarga Lenora kadang rasanya kurang berdasar, meski di sini dapat dipahami dorongan membela kebenaran dan mengungkap kematian Mary yang satu profesi dengannya menunjukkan karakter Kit yang mulia dan itu membuatnya menjadi tokoh yang disukai.
The Only One Left ditulis dengan ahli, berplot maju mundur, dengan format narasi, dialog, dan surat berganti-ganti. Pov 1 dengan dua narator, Kit dan Lenora.
Surat yang dimaksud di sini kadang tidak terasa seperti surat juga karena sebagian besar merupakan proses komunikasi Lenora yang menggunakan mesin tik. Bagian ini menyelipi chapter-chapter yang ada di dalam buku. Ide format yang menarik menurut saya.
Hal lain yang saya cermati di novel ini adalah serba-serbi dunia 'care giver' atau petugas yang merawat orang sakit. Beberapa narasi menjelaskan poin ini sehingga terasa agak nyata sebagai latar profil tokoh Kit, misalnya pengasuh-perawat itu punya tiga macam barang wajib untuk dikemas, yakni tas medis, koper, dan kotak. tas medis berisi termometer, manset tekanan darah, dan stetoskop. Koper diisi dengan perlengkapan harian seperti alat mandi dan pakaian. Kotak berisi barang-barang pelengkap, yang di cerita ini diisi oleh Kit dengan buku-buku paperback milik ibunya yang seorang pembaca buku, tapi dalam adegan-adegannya sendiri saya berharap bagian-bagian ini bisa lebih dieksplor sehingga lebih hidup lagi. Namun mungkin juga hal ini dilewatkan karena tidak dianggap esensial.
Tidak banyak kalimat yang umumnya bisa dijadikan kutipan bijak di novel ini. Tapi ada satu paragraf yang menarik perhatian saya di halaman 12 tentang buku adalah teman dan selama ada buku seseorang tidak akan merasa kesepian. Di paragraf tersebut tokoh Kit merasa kalimat itu adalah sebuah kebohongan karena pada kenyataannya ia selalu dikelilingi oleh buku tapi dia justru merasa sangat sepi dan sendiri. Saya pribadi benar menganggap buku adalah teman baik yang menjauhkan dari rasa sepi, tapi di sini saya sepakat untuk situasi tertentu, kehadiran buku tidak dapat menghilangkan rasa sepi yang punya akar kondisi dan problem yang berbeda. Kehadiran manusia dan terkoneksi dengannya punya kualitas yang berbeda tentunya.
"You're never alone when there s a book nearby," she used to say. "Never ever."
While I appreciate the sentiment, I also know it 's a lie. for six months, I've been surrounded by books, and I've never felt more alone.
Page 12
Bagian yang paling saya suka dari buku ini, selain latar gothic-nya, adalah plot twist-nya yang berlapis, full of twists and turns that make me second-guessing everything until the very last page. Para pecinta plot twist berlapis kemungkinan akan suka dengan buku ini dan tidak mengganggapnya berlebihan atau melelahkan. Btw, akhir takdir rumah besar Hope's End mengingatkan saya pada rumah Madeline dan Roderick Usher dalam buku What Moves The Dead karya T. Kingfisher.
"Review Buku What Moves The Dead - T. Kingfisher"
Ending-nya tertutup tanpa menyisakan tanda tanya terkait konflik utama. Tipe ending yang memberikan gambaran seperti apa kehidupan para tokoh cerita cukup jauh ke depan setelah kebenaran kasus terungkap. Beberapa hal yang 'menggantung' buat saya hanya ujung cerita tokoh Kenny, detective Vick, dan Barniece Mayhew, yang untungnya bukan mayor karakter di buku ini.
Kabarnya Riley Sager saat ini sedang menggarap sebuah cerita dengan kasus hilangnya seorang anak laki-laki tiga puluh tahun yang lalu. Buku ini bakal terbit tahun depan. Mari kita tunggu bersama buku Riley Sager berikutnya.
Insight
Insight yang saya dapat dari buku ini ada beberapa, misalnya sedikit tentang dunia caregiver, tentang keputusan-keputusan hidup yang dibuat oleh para tokoh cerita (tidak bisa diceritakan di sini karena bakal spoiler), dan betapa dekatnya kita dengan seseorang bisa jadi kita sebenarnya tidak mengenal seperti apa dirinya. Selain itu tentu saja tentang kebenaran yang pada akhirnya akan terungkap dan kejahatan akan menerima balasannya.
Tokoh disabilitas di sini (Lenora) juga diperlakukan baik di luar drama thriller-nya. Ada orang-orang yang setia dan tulus, yang mengingatkan juga tentang menghormati dan memperlakukan dengan baik sesama manusia.
Siapa Riley Sager
Riley Sager adalah penulis novel terlaris New York Times, yang terakhir adalah Survive the Night dan The House Across the Lake. Novel pertamanya, Gadis Terakhir, memenangkan ITW Thriller Award untuk Novel Hardcover Terbaik. Berasal dari Pennsylvania, dia sekarang tinggal di Princeton, New Jersey.
Sumber: Amazon
-------------------------------------------------------------------------
Dipidiff.com adalah sebuah media edukasi yang menginspirasi melalui beragam topik pengembangan diri, rekomendasi buku-buku, dan gaya hidup yang bervibrasi positif.
Diana Fitri, biasa dipanggil Dipi, adalah seorang ibu yang gemar berkebun, dan rutin berolahraga. Gaya hidup sehat dan bervibrasi positif adalah dua hal yang selalu ia upayakan dalam keseharian. Sambil mengasuh putra satu-satunya, ia juga tetap produktif dan berusaha berkembang secara kognitif, sosial, mental dan spiritual.
Lulusan prodi Pemuliaan Tanaman Universitas Padjadjaran, Dipi lalu melanjutkan studi ke magister konsentrasi Pemasaran, namun pekerjaannya justru banyak berada di bidang edukasi, di antaranya guru di Sekolah Tunas Unggul, sekolah kandidat untuk International Baccalaureate (IB), dan kepala bagian Kemahasiswaan di Universitas Indonesia Membangun. Setelah resign tahun 2016, Dipi membangun personal brand Dipidiff hingga saat ini.
Sebagai Certified BNSP Public Speaker dan Certified BNSP Trainer, serta certified IALC coach, Dipi diundang oleh berbagai komunitas dan Lembaga Pendidikan untuk berbagi topik membaca, menulis, mereviu buku, public speaking, dan pengembangan diri, misalnya di Kementrian Keuangan, Universitas Negeri Semarang, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, BREED, Woman Urban Book Club, Lions Clubs, Bandung Independent School, The Lady Book Club, Buku Berjalan.id, SMAN 24 Bandung, SMAN 22 Bandung, dan lain-lain. Dipi juga pemateri rutin di platform edukasi www.cakap.com . Dipi meng-coaching-mentoring beberapa remaja dan dewasa di Growth Tracker Program, ini adalah program pribadi, yang membantu (terutama) remaja dan dewasa muda untuk menemukan passion dan mengeluarkan potensi mereka.
Berstatus bookblogger, reviu-reviu buku yang ia tulis selalu menempati entry teratas di halaman pertama mesin pencari Google, menyajikan ulasan terbaik untuk ribuan pembaca setia. Saat ini Dipi adalah brand ambassador untuk Periplus Bandung dan berafiliasi dengan Periplus Indonesia di beberapa event literasi. Dipi juga menjadi Official Reviewer untuk Republika Penerbit dan berpartner resmi dengan MCL Publisher. Kolaborasi buku-bukunya, antara lain dengan One Peach Media, Hanum Salsabiela Rais Management, KPG, Penerbit Pop, Penerbit Renebook, dan Penerbit Serambi. Reviu buku Dipi bisa dijumpai di www.dipidiff.com maupun Instagram @dipidiffofficial. Dipi host di program buku di NBS Radio. Dulu sempat menikmati masa dimana menulis drop script acara Indonesia Kemarin di B Radio bersama penyiar kondang Sofia Rubianto (Nata Nadia). Podcast Dipi bisa diakses di Spotify DipidiffTalks.
Let's encourage each other to shape a better future through education and book recommendation.
Contact Dipidiff at DM Instagram @dipidiffofficial
TERBARU - REVIEW BUKU
Review Buku The Quiet Tenant - Clémence …
23-08-2023 Dipidiff
National Best Seller One of The Most Anticipated Novels of 2023 GMA Buzz Pick A LibraryReads #1 Pick One of The Washington Post’s Notable Summer Books 2023One of Vogue’s Best Books of 2023One of Goodreads’s Most Anticipated Books...
Read moreReview Buku The Only One Left - Riley Sa…
23-07-2023 Dipidiff
Editor's Pick Best Mystery, Thriller & Suspense The Instant New York Times Bestseller Named a summer book to watch by The Washington Post, Boston Globe, USA Today, Oprah, Paste, Country Living, Good Housekeeping, and Nerd Daily Judul...
Read moreReview Buku Helium Mengelilingi Kita - Q…
14-06-2023 Dipidiff
Judul : Helium Mengelilingi Kita Penulis : Qomichi Jenis Buku : Sastra Fiksi, Coming of Age Penerbit : MCL Publisher Tahun Terbit : Maret 2023 Jumlah Halaman : 246 halaman Dimensi Buku : 14 x 20,5...
Read moreReview Buku Earthlings - Sayaka Murata
14-02-2023 Dipidiff
A New York Times Book Review Editors' ChoiceNamed a Best Book of the Year by the New York Times, TIME and Literary HubNamed a Most Anticipated Book by the New York Times, TIME, USA Today, Entertainment Weekly, the Guardian, Vulture, Wired, Literary Hub, Bustle, PopSugar, and Refinery29 Judul...
Read more