Review Buku The Midnight Library - Matt Haig
#5 Amazon Charts this week
A New York Times Best Seller
Winner of the Goodreads Choice Award for Fiction
A Good Morning America Book Club Pick!
Judul : The Midnight Library
Penulis : Matt Haig
Jenis Buku : Literary Fiction, Sci Fic
Penerbit : HarperAvenue
Tahun Terbit : September 2020
Jumlah Halaman : 304 halaman
Dimensi Buku : 5.5 x 0.76 x 8.5 inches
Harga : Rp. 140.000*harga sewaktu-waktu dapat berubah
ISBN : 9781786892737
Paperback
Edisi Bahasa Inggris
Available at PERIPLUS BANDUNG Bookstore (ig @Periplus_setiabudhi, @Periplus_husein1 , @Periplus_husein2)
Sekelumit Tentang Isi
Seorang gadis bernama Nora Seed mengalami depresi berat. Nora kehilangan pekerjaan, tidak jadi menikah, hubungan dengan kakak kandungnya berantakan, bahkan kucing peliharaannya mati di pinggir jalan. Begitu terpuruknya kondisi mental Nora, hingga ia memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. Tapi tak dinyana, ia malah terbangun di sebuah perpustakaan, The Midnight Library, yang merupakan semacam fase antara hidup dan mati. Di perpustakaan ini Nora dibimbing Mrs. Elm untuk memasuki dunia paralel lewat buku-buku yang ada di perpustakaan tersebut, dimana ia punya kesempatan kedua untuk mengulang-menjalani hidup yang berujung penyesalan di kehidupan nyatanya. Apakah Nora berhasil menemukan kehidupan yang ideal? Atau ia kemudian berakhir di kematian?
Lebih jauh lagi, dapatkan Nora menemukan makna dan tujuan kehidupan?
Seputar Fisik Buku dan Disainnya
Bingung kah begitu melihat gambar ilustrasi di cover? Itu Schrodinger's Cat paradox kan ya yang juga menjadi ide cerita novel ini, sebuah kehidupan paralel. Untuk sebuah novel fiksi, disain sampulnya cukup datar menurut estetika saya, tapis setelah dipikir-pikir lagi, gaya ini cukup sesuai dengan isi bukunya yang dalam dan serius. Pilihan warna biru gelapnya juga seolah memberikan semacam warning buat para pembaca terkait nuansa kisahnya yang tentang depresi dan bunuh diri itu.
Tokoh dan Karakter
Nora Seed, protagonis yang depresi berat hingga memutuskan bunuh diri dan berusaha mencoba berbagai kemungkinan takdir yang lain
Mrs. Elm, pustakawati jaman Nora sekolah. Di perpustakaan tengah malam, ia menjelma menjadi pustakawati yang menunjukkan Nora ke kehidupan paralel lewat buku-buku yang ada di sana.
Ash, cowok baik hati tetangga Nora yang menemukan kucing Nora mati
Izzy, sahabat Nora yang tinggal di Australia
Neil, pemilik String Theory tempat dimana Nora bekerja
Voltaire, kucing Nora yang mati.
Leo, murid piano yang diajar oleh Nora
Geoff, ayah Nora
Mr. Banerjee, tetangga Nora yang sudah tua
Hugo, seorang slider seperti Nora yang dia temui saat masuk ke kehidupannya di Svalbard
Joanna, manajer band di kehidupan Nora yang lain yang di kehidupan itu Nora sangat sukses sebagai musisi band
The labyrinths, nama band dimana Nora bergabung sebagai vokalis
Dylan, kekasih Nora di salah satu kehidupannya yang tenang
Joe, kakak laki-laki Nora
Ravi, teman Joe dan anggota dari band The Labyrinths
Ryan Bailey, bintang film yang dikencani Nora di kehidupan lain dimana Nora sukses sebagai musisi band
Buat kamu yang membenci tokoh utama berkarakter lemah, mungkin kali ini bisa membuat pengecualian.
Setidaknya itulah yang saya rasakan terhadap Nora Seed yang depresi berat dengan kehidupannya. Alih-alih ga menyukai Nora, saya malah merasa tokoh ini sangat mengundang empati. Si jenius yang support systemnya disfungsi, sayang sekali kecemerlangannya jadi ga bisa perform dengan optimal.
Penasaran dengan tokoh Mrs Elm yang 'menghuni' perpustakaan tengah malam? Coba cek deskripsi tokohnya di bawah ini.
Mrs Elm had short grey hair and a kind and mildly crinkled oval face sitting pale above her turtle-green polo neck. She was quite old. But she was also the person most on Nora's wavelength in the entire school, and even on days when it wasn't raining she would spend her afternoon break in the small library.
Page 1
Alur dan Latar
Cerita Nora awalnya beralur maju, untuk kemudian mulai flashback di episode saat Nora masuk ke dalam buku-buku yang membawanya ke kehidupan masa lalu di dunia paralel. Mungkin untuk sebagian pembaca ini akan membuat sedikit pusing :D, tapi yakinlah pada akhirnya kita akan terbiasa karena menemukan pola yang sama di beberapa chapternya.
Kecepatan alur cenderung sedang-pelan, dan hati-hatilah karena ini jenis buku bacaan yang nuansanya kelam, mengikuti tokohnya yang depresi dalam kehidupan. Baru kemudian di akhir-akhir cerita kita bisa menemukan kehangatan dan penyembuhan. Kisah disampaikan dari sudut pandang orang ketiga.
Konfliknya ada di seputar depresi berbagai problem kehidupan sehingga membuat sangat putus asa dan bunuh diri. Isu yang diangkat memang sensitif. Di buku ini kita akan menemukan insight tentang makna hidup dan jalan melalui kehidupan, survive dari suicide.
Ending buku ini juga happy, tidak seperti All the Bright Places - Jenniver Niven yang ujungnya gamang dan membebani, The Midnight Library berawal kelam tapi diakhiri dengan pencerahan dan konklusi yang mendamaikan. Dua buku ini kita tahu sama mengangkat topik suicide.
Baca juga "Review All the Bright Places - Jennifer Niven"
Kisah Nora mengambil lokasi tempat yang cukup banyak lantaran Nora berada di beberapa kehidupan berbeda di tiap kunjungannya ke masa lalu di kehidupan paralel. Ada dalam satu adegannya Nora bahkan menjadi peneliti yang bertugas di Antartika. Tapi lokasi yang paling bikin saya penasaran tentu saja adalah perpustakaan tengah malamnya sendiri. Saya kutipkan deskripsi fisiknya di bawah ini.
The place was well lit, and the floor was light stone - somewhere between light yellow and camel-brown, like the colour of an old page - but the windows she had seen on the outside weren't there on the inside. In fact, even though she had only taken a few steps forward she could no longer see the walls at all. Instead, there were bookshelves. Aisles and aisles of shelves, reaching up to the ceiling and branching off from the broad open corridor Nora was walking along. She turned down one of the aisles and stopped to gave in bafflement at the seemingly endless amount of books.
The books were everywhere, on shelves so thin they might as well have been invisible. The books were all green. Greens of green, some a bright and light chartreuse, some a bold emerald and others the verdant shade of summer lawns.
And on the subject of summer lawns: despite the fact that the books looked old, the air in the library felt fresh. It has a lush, grassy, outdoors kind of smell, not the dusty scent of old tomes.
The shelves really did seem to go on for ever, straight and long towards a far-off horizon, like lines indicating one-point perspective in a school art project, broken only by the occasional corridor.
Page 25
Yang menarik dan atau disuka dari Buku ini
The winner of Goodreads Choice Award for Best Fiction 2020, The New York Times Bestseller, No. 1 Sunday Times Bestseller. #2 Amazon Charts this week.
Tiga pencapaian diraih Matt Haig atas karyanya The Midnight Library. Tidak terlalu mengherankan tentunya karena Matt Haig sendiri sudah menjadi penulis kondang sejak karya fiksinya The Humans, The Radleys, A Boy Called Christmas, dan memoirnya Reason to Stay Alive mencuri hati banyak pembaca di seluruh dunia.
Di Midnight Library ada pertanyaan yang terlintas kala pertama kali saya membaca novel ini. Apakah Nora berhasil menemukan kehidupan yang ideal? Atau ia kemudian berakhir di kematian?
Ide sebuah perpustakaan yang hadir di masa transisi kematian cukup menarik, dan tentu saja dalam diskusi buku poin ini bisa jadi imajinasi yang asyik buat dibahas bersama, "Kalau kalian kira-kira tempatnya berupa apa untuk dunia transisinya?" Mungkin akan ada yang menjawab perpustakaan seperti Nora, atau sebuah toko buku, atau cafe, hotel, supermarket, dan lain sebagainya.
Dan bayangan bisa punya kesempatan kedua untuk hidup di dunia lain dengan kehidupan yang berbeda-beda *karena kehidupan yang pertama mengecewakan kita, jelas adalah sebuah godaan besar. "Oh andai saja kita bisa menjalani hidup seperti apa yang kita inginkan", begitulah kira-kira rasanya. Tapi sekali lagi benarkah kita akan bahagia di kehidupan tersebut... * auto merenung.
'Between life and death there is a library,' she said. 'And within that library, the shelves go on for ever. Every book provides a chance to try another life you could have lived. To see how things would be if you had made other choices... Would you have done anything different, if you had the chance to undo your regrets?'
Emosi depresi, nuansa kelam, perasaan berat memayungi bagian awal dan tengah novel ini. Barangkali untuk pembaca yang sedang tidak dalam state mental yang stabil, novel ini bisa ditunda baca dulu. Kecuali memang merasa sanggup untuk menanggung beban emosinya. Dan jangan terlalu khawatir juga, karena ending buku ini hangat dan memberikan insight yang positif. So baca dan sabar ya. Di bawah ini saya kutipkan salah satu bagian dalam buku menjelang Nora memutuskan untuk bunuh diri.
Once inside her flat the silence was louder than noise. The smell of cat food. A bowl still out for Voltaire, half eaten.
She got herself some water and swallowed two anti-depressants and stared at the rest of the pills, wondering.
Three hours before she decided to die, her whole being ached with regret, as if the despair in her mind was somehow in her torso and limbs too. As if it had colonized every part of her.
It reminded her that everyone was better off without her. You get near back hole and the gravitational pull drags you into its bleak, dark reality.
The thought was like a ceaseless mind-cramp, something too uncomfortable to bear yet too strong to avoid.
Nora went through her social media. No messages, no comments, no new followers, no friend requests. She was antimatter, with added self-pity.
She went on Instagram and saw everyone had worked out how to live, except her. She posted a rambling update on Facebook, which she didn't even really use any more.
Two hours before she decided to die, she opened a bottle of wine.
...
She sat down at the little electric piano but played nothing. She thought of sitting by Leo's side, teaching him Chopin's Prelude in E Minor. Happy moment can turn into pain, given time.
...
Every more had been a mistake, every decision a disaster, every day a retreat from who she d imagined she'd be.
Swimmer. Musician. Philosopher. Spouse. Traveller. Glaciologist. Happy. Loved.
Nothing.
She couldn't even manage 'cat owner'. Or 'one-hour-a-week piano tutor'. Or 'human capable of conversation.'
The tablets weren't working.
Page 20-21
Awalnya mungkin berat buat teman-teman untuk masuk ke dalam cerita yang kelam ini. Tapi dengan terus membaca, kita akan sampai pada titik dimana kita ikut mendapatkan pencerahan hidup seperti yang Nora alami. Buku ini dalam dan emosional. Detailnya terutama ada pada pikiran dan perasaan tokoh utamanya. Filosofis dan menyentuh hati. Sekilas mengingatkan saya pada gaya narasinya Mitch Albom.
Bagi Matt Haig, novel ini juga punya makna khusus. Jika di buku Reasons to Stay Alive ia berbagi pengalaman hidupnya saat survive menjalani masa depresi hingga ingin bunuh diri, di novel The Midnight Library ia ingin menyampaikan pesan tentang menerima kehidupan yang tidak sempurna dan tentang penyesalan. Awalnya tokoh yang ia ciptakan untuk buku ini bergender laki-laki, tapi makin lama ia merasa dirinya makin masuk ke personaliti tokoh hingga akhirnya mengubahnya menjadi bergender wanita. Menarik ya ☺.
Seandainya saja kehidupan itu bisa punya kesempatan kedua buat menghapus penyesalan, apakah kamu ingin mengubah masa lalu? Big question ya ☺. Kalo saya yang ditanya demikian, jawaban saya adalah tidak. Tapi apakah buku ini juga menyampaikan pesan yang serupa, teman-teman harus baca sendiri ☺.
Banyak sekali hikmah dan kebijaksanaan hidup yang disampaikan di buku fiksi ini, sehingga pantaslah jika The Midnight Library kita sebut sebagai self-help nya fiction. Buat teman-teman yang tidak begitu suka dengan non fiksi self help karena terasa berat atau kaku, bolehlah coba buku yang satu ini. Intisarinya menurut saya kurang lebih sama. Namun bisa jadi buku ini juga akan terasa seperti ceramah, lantaran isinya yang banyak kalimat-kalimat positif, perenungan, dan kebijakan. Kecepatan membaca saya di bagian tengah dan akhir buku pada kenyataannya memang melambat sejenak karena karena kehilangan grip cerita. Tentu saja ini akan berbeda untuk tiap pembaca ya. Tapi ending dan insightnya worth it banget, so give it a try okay :)
Sisi imajinasi tentang perpustakaan adalah salah satu poin yang saya sukai di buku ini. Mendadak pengen jadi member perpusnya :D.
'Between life and death there is a library,' she said. 'And within that library, the shelves go on for ever. Every book provides a chance to try another life you could have lived. To see how things would be different if you had made other choices.. Would you have done anything different, if you had the chance to undo your regrets?'
Page 29
Pesan pesan kebijaksanaan kehidupan yang tadi sudah saya sebutkan banyak terdapat di dalam buku saya kutipkan sedikit bawah ini.
Nora closed the book before she could feel anything bad happen.
'So, you see? Sometimes regrets aren't based on fact at all. Sometimes regrets are just...' She searched for the appropriate term and found it. 'A load of bullshit.'
Page 67
She gave a lot of money to charitable causes - namely to Marie Curie Cancer Care - and she had organized a fundraising charity swimathon around Brighton Pier for the Marine Conservation Society. Since retiring from professional sport, she had swum the Channel twice.
There was a link to a TED talk she had given the value of stamina in sport, and training, and life. It had over a million views. as she began to watch it, Nora felt as though she was watching someone else. This woman was confident, commanded the stage, had great posture, smiled naturally as she spoke, and managed to make the crowd smile and laugh and clap and nod their heads at all the right moments.
...
'People with stamina aren't made any differently to anyone else,' she was saying. 'The only difference is they have a clear goal in mind, and a determination to get there. Stamina is essential to stay focused in a life filled with distraction. It is the ability to stick to a task when your body and mind are at their limit, the ability to keep your head down, swimming in your lane, without looking around, worrying who might overtake you...'
Page 93
The only way to learn is to live.'
Page 112
Maybe that's what all lives were, though. Maybe even the most seemingly perfectly intense or worthwhile lives ultimately felt the same. Acres of disappointment and monotony and hurts and rivalries but with flashes of wonder and beauty. Maybe that was the only ..
Page 137
'I think it is easy to imagine there are easier paths,' she said, realizing something for the first time. 'But maybe there are no easy paths. There are just paths. In one life, I might be married. In another, I might be working in a shop. I might have said yes to this cute guy who asked me out for a coffee. in another I might be researching glacier in the Arctic Circle. In another, I might be an Olympic swimming champion. Who knows? Every second of every day we are entering a new universe. And we spend so much time wishing our lives were different, comparing ourselves to other people and to other versions of ourselves, when really most lives contain degrees of good and degrees of bad.'
...
'There are patters of life... Rhythms. It is so easy, while trapped in just the one life, to imagine that times of sadness or tragedy or failure or fear are a result of that particular existence. That it is a by-product of living a certain way, rather than simply living. I mean, it would have made things a lot easier if we understood there was no way of living that can immunize you against sadness. And that sadness is intrinsically part of the fabric of happiness. You can't have one without the other. Of course, they come in different degrees and quantities. But there is no life where you can be in a state of sheer happiness for ever. And imagining there is just breed more unhappiness in the life you're in.'
Page 179
Maybe there was no perfect life for her, but somewhere, surely, there was a life worth living. And if she was to find a life truly worth living, she realized she would have to cast a wider net.
Page 194
She realized that you could be as honest as possible in life, but people only see the truth if it is close enough to their reality. As Thoreau wrote, 'It's not what you look at that matters, it's what you see.'
Page 242
You could eat in the finest restaurant, you could partake in every sensual pleasure, you could sing on stage in Sao Paulo to twenty thousand people, you could soak up whole thunderstorm of applause, you could travel to the ends of the Earth, you could be followed by millions on the internet, you could win Olympic medals, but this was all meaningless without love.
Page 248
Every life contains many millions of decisions. Some big, some small. But every time one decision is taken over another, the outcomes differ. An irreversible variation occurs, which in turn leads to further variations...
Page 256
Bagian yang paling menarik dari novel ini buat saya adalah unsur ceritanya yang kental dengan filosofi, sebut saja salah satunya adalah Henry David Thoreau, filsuf Amerika tahun 80an, dan ide cerita yang mengaitkan Schrodinger's Cat paradox (eksperimen bidang kuantum fisika) dengan jalan cerita. Bagian ini membuat The Midnight Library berbeda dari novel yang juga mengangkat time travel dan suicide.
'You have as many lives as you have possibilities. There are lives where you make different choices. And those choices lead to different outcomes. If you had done just one thing differently, you would have a different life story. And they all exist in the Midnight Library. They are all as real as this life.'
'Parallel lives?'
'Not always parallel. Some are more... perpendicular. ..
Page 31
Ada puisi juga di novel ini, sebuah puisi yang di dalam buku diceritakan Nora tulis di postingan instagramnya. Ngomong-ngomong soal instagram, berarti latar waktu cerita termasuk jaman sekarang ya.
FIRE
Every part of her
that changed
that got scraped off
because of schoolyard laughter
or the advice of grown-ups
long gone -
and the pain of friends
already dead.
she collected those bits off the floor.
Like wood shavings.
And she made them into fuel.
Into fire.
And burned.
Bright enough to see for ever.
This is absolutely my cup of tea, and I politely encourage you to read it immediately ☺.
Siapa Matt Haig
Matt Haig adalah penulis terlaris nomor satu dari Reasons to Stay Alive, Notes on a Nervous Planet dan enam novel yang sangat terkenal untuk orang dewasa, termasuk How to Stop Time, The Humans dan The Radleys. Novel terbarunya The Midnight Library dan edisi buku audio dibacakan oleh Carey Mulligan. Haig juga menulis buku pemenang penghargaan untuk anak-anak, A Boy Called Christmas, yang sedang dibuat menjadi film fitur dengan pemeran all-star. Dia telah menjual lebih dari satu juta buku di Inggris dan karyanya telah diterjemahkan ke dalam lebih dari empat puluh bahasa.
Sumber: Amazon
Matt Haig adalah seorang novelis dan jurnalis Inggris. Dia telah menulis baik fiksi maupun non-fiksi untuk anak-anak dan orang dewasa, seringkali dalam genre fiksi spekulatif.
Haig lahir pada tanggal 3 Juli 1975 di Sheffield. Ia belajar bahasa Inggris dan Sejarah di University of Hull. Karya nonfiksinya, Reasons to Stay Alive, adalah buku terlaris Sunday Times nomor satu dan berada di 10 teratas Inggris selama 46 minggu. Novel anak-anak terlarisnya, Father Christmas and Me, saat ini sedang diadaptasi untuk film, diproduksi oleh Studio Canal dan Blueprint Pictures.
Novelnya seringkali gelap dan unik mengambil sisi kehidupan keluarga. The Last Family in England menceritakan kembali Shakespeare's Henry IV, Part 1 dengan anjing sebagai protagonis. Novel keduanya Dead Fathers Club didasarkan pada Hamlet, menceritakan kisah seorang anak berusia 11 tahun yang mawas diri yang berurusan dengan kematian ayahnya baru-baru ini dan kemunculan hantu ayahnya selanjutnya. Novel dewasa ketiganya, The Possession of Mr Cave, berkisah tentang seorang ayah obsesif yang mati-matian berusaha menjaga keamanan putri remajanya. Novel anak-anaknya, Shadow Forest, adalah sebuah fantasi yang dimulai dengan kematian orang tua protagonis yang mengerikan. Ia memenangkan Hadiah Buku Anak-anak Nestlé pada tahun 2007. Buku sekuelnya, Runaway Troll, kemudian terbit pada tahun 2008.
Novel vampir Haig The Radleys, diterbitkan pada tahun 2011. Pada 2013, dia menerbitkan The Humans. Ini adalah kisah tentang alien yang mengambil identitas seorang dosen universitas yang karyanya di bidang matematika mengancam stabilitas planet yang juga harus menghadapi kehidupan rumah tangga yang menyertai tugasnya.
Pada tahun 2017, Haig menerbitkan How to Stop Time, sebuah novel tentang seorang pria yang tampaknya berusia 40 tahun tetapi sebenarnya telah hidup selama lebih dari 400 tahun dan telah bertemu dengan Shakespeare, Kapten Cook, dan F. Scott Fitzgerald. Reasons to Stay Alive memenangkan Books Are My Bag Readers 'Awards pada tahun 2016 dan How to Stop Time dinominasikan pada tahun 2017. Pada Agustus 2018, ia menulis lirik untuk album musik penyanyi dan penulis lagu Inggris Andy Burrows, yang judulnya diambil dari buku Haig Reasons to Stay Alive.
Pada tahun 2020 Matt Haig merilis novelnya The Midnight Library, yaitu tentang seorang gadis bernama Nora. Pada malam dia ingin bunuh diri, dia berakhir di "The Midnight Library": perpustakaan antara hidup dan mati dengan jutaan buku yang berisi kisah hidupnya jika dia membuat keputusan yang berbeda. Di perpustakaan ini, dia kemudian mencoba menemukan kehidupan yang paling dia sukai.
The Comfort Book akan dirilis pada 1 Juli 2021.
The Midnight Library diadaptasi untuk radio dan disiarkan dalam sepuluh episode di BBC Radio 4 pada Desember 2020
Haig menikah dengan Andrea Semple; mereka memiliki dua anak dan satu anjing. Dia tinggal di Brighton, Sussex. Dia mendidik anak-anaknya di rumah. Beberapa karyanya - terutama bagian dari buku non-fiksi - terinspirasi oleh gangguan mental yang dideritanya saat berusia 24 tahun. Dia masih menderita kecemasan dari waktu ke waktu dan dia adalah seorang ateis.
Novels
- The Last Family in England (Jonathan Cape, 2004); US title, The Labrador Pact
- The Dead Fathers Club (Cape, 2006)
- The Possession of Mr Cave (The Bodley Head, 2008)
- The Radleys (Canongate Books, 2010)
- The Humans (Canongate Books, 2013)
- How to Stop Times (Canongate Books, 2017)
- The Midnight Library (Canongate Books, 2020)
Children's Books
- Shadow Forest (2007); US title, Samuel Blink and the Forbidden Forestry
- Runaway Troll (Cape, 2008); US title, Samuel Blink and the Runaway Troll
- To Be A Cat (Atheneum, 2013)
- Echo Boy (Bodley, 2014)
- A Boy Called Christmas (Canongate Books, 2015)
- The Girl Who Saved Christmas (Canongate Books, 2016)
- Father Christmas and Me (Canongate Books, 2017)
- The Truth Pixie (Canongate Books, 2018)
- Evie and the Animals (Canongate Books, 2019)
- The Truth Pixie Goes to School (Canongate Books, 2019)
- Evie in the Jungle (Canongate Books, 2020)
Non-Fictions
- How Come You Don't Have An E-Strategy (Kogan Page, 2002)
- Brand Failures (Kogan Page, 2003)
- Brand Royalty (Kogan Page, 2004)
- Brand Success (Kogan Page, 2011)
- Reasons to Stay Alive (Canongate Books, 2015)
- Notes on a Nervous Planet (Canongate Books, 2018)
- The Comfort Book (Canongate Books, 2021)
Sumber: Wikipedia
Also by Matt Haig
The Last Family in England
The Dead Fathers Club
The Possession of Mr Cave
The Radleys
The Humans
Humans: An A-Z
Reasons to Stay Alive
How to Stop Time
Notes on a Nervous Planet
For CHildren
The Runaway Troll
Shadow Forest
To Be A Cat
Echo Boy
A Boy Called Christmas
The Girl Who Saved Christmas
Father Christmas and Me
The Truth Pixie
Evie and the Animals
The Truth Pixie Goes to School
Sumber: buku The Midnight Library
Rekomendasi
Novel ini saya rekomendasikan kepada pembaca yang mencari fiksi bertopikkan kembali ke masa lalu untuk menjalani hidup yang berbeda, sebuah kesempatan kedua, memperbaiki hidup awal yang kacau dan mengecewakan. Lebih jauh lagi ini adalah novel dengan pesan kehidupan yang sangat banyak, tentang mencari makna dan tujuan hidup. Isi ceritanya sangat sarat kontemplasi dan kalimat-kalimat bijak, mungkin akan terasa seperti ceramah bagi pembaca yang tidak begitu suka dengan konten serupa ini, tapi buku ini bisa dijadikan alternatif bacaan self improvement bagi mereka yang tidak begitu suka versi non fiksi. Bagian awal dan tengah cerita nuansanya cukup kelam, berat, dan full depresi, terutama di bagian detik-detik Nora memutuskan untuk bunuh diri. Endingnya happy dan menghangatkan hati, karena tokoh utama akan menemukan apa yang ia cari, sebuah jawaban dan keputusan tentang kehidupan.
Jika ingin mendengarkan podcastnya, silahkan tekan ikon di bawah ini
Jika tertarik untuk membeli bukunya, silahkan juga tekan ikon di bawah ini
-------------------------------------------------------------------------
Dipidiff.com adalah sebuah media edukasi yang menginspirasi melalui beragam topik pengembangan diri, rekomendasi buku-buku, dan gaya hidup yang bervibrasi positif.
Dipi adalah seorang pembaca buku sejak usia 5 tahun. Ia membaca buku-buku fiksi maupun non fiksi. Dipi host di dua program di nbsradio.id (radio di Bandung yang beraliansi resmi dengan VOA). Podcast Dipi bisa diakses di Spotify DipidiffTalks. Dipi menulis di blognya dipidiff.com , dan tulisan-tulisan review bukunya menjadi entry di halaman pertama mesin pencari Google. Saat ini dipi adalah ambassador untuk Periplus Bandung dan berafiliasi dengan Periplus Indonesia di beberapa event literasi. Dipi bisa dijumpai juga di instagram @dipidiffofficial. Dipi diundang oleh berbagai komunitas dan lembaga pendidikan untuk berbagi topik membaca, menulis, mereview buku, public speaking, dan pengembangan diri, misalnya di Universitas Negeri Semarang, LP3i, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, English Star Bandung, The Lady Book Club, Buku Berjalan.id, SMAN 24 Bandung, SMAN 22 Bandung, dan lain-lain. Passionnya yang lain terkait dengan bidang pendidikan dan memanggang kue-kue. Dia mengembangkan bisnis kecilnya, bernama Dipidiff Official Store, sambil tetap sibuk menjadi ibu satu anak dan meng-coaching-mentoring beberapa remaja dan dewasa muda di Growth Tracker Program, ini adalah program pribadi, yang membantu (terutama) remaja dan dewasa muda untuk menemukan passion dan mengeluarkan potensi mereka. Dipidiff adalah Personal Brand-nya.
Let's encourage each other to shape a better future through education and book recommendation
Contact Dipidiff at This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it..
TERBARU - Review Buku
Review Buku Shoe Dog - Phil Knight
01-08-2022 Dipidiff

#1 NEW YORK TIMES BESTSELLER.A Memoir by the Creator of Nike. Judul : Shoe Dog Penulis : Phil Knight Jenis Buku : Autobiography Penerbit : Simon and Schuster Ltd Tahun Terbit : 2018 Jumlah Halaman : ...
Read moreReview Buku The Psychology of Stupidity …
01-08-2022 Dipidiff

The Number One International Bestseller Judul :The Psychology of Stupidity Explained by Some of the World's Smartest People Penulis : Jean-François Marmion Jenis Buku : Medical Social Psychology & Interaction, Popular Social Psychology & Interactions...
Read moreReview Buku Januari & Kesunyian Lain…
01-08-2022 Dipidiff

Judul : Januari & Kesunyian Lain Dalam Tubuhku Penulis : Diondexon Jenis Buku : Puisi, senandika Penata Letak: Dionisius Dexon Penyunting: Tim One Peach Media Pendesain Sampul: Dionisius Dexon Penerbit : One Peach Media Tahun Terbit : Februari...
Read moreReview Buku Anne of Green Gables (Wordsw…
19-07-2022 Dipidiff

Read the timeless classic about the beloved Anne Shirley, a red-haired orphan with a fiery spirit. Now on Netflix Judul : Anne of Green Gables Penulis : Lucy Maud Montgomery Jenis Buku : Children’s...
Read more