Review Buku The Maidens - Alex Michaelides
The Instant New York Times Bestseller
Editors' pick - Best Mystery, Thriller & Suspense on Amazon. com
From the #1 New York Times bestselling author of The Silent Patient
Judul : The Maidens
Penulis : Alex Michaelides
Jenis Buku : Psychological Suspense
Penerbit : Celadon Books
Tahun Terbit : 2021
Jumlah Halaman : 352 halaman
Dimensi Buku : 15,6 x 23,40 x 2,90 cm
Harga : Rp. 275.000*harga sewaktu-waktu dapat berubah
ISBN : 9781250792969
Paperback
Edisi Bahasa Inggris
Available at PERIPLUS BANDUNG Bookstore (ig @Periplus_setiabudhi, @Periplus_husein1 , @Periplus_husein2)
Sekelumit Tentang Isi
Buku ini bercerita tentang Mariana Andros yang ditinggal meninggal suami tercintanya, dan dalam keadaan berduka itu dia menerima kabar dari keponakannya, Zoe, yang down karena sahabatnya dibunuh. Mariana segera ke lokasi kejadian, Cambridge University, untuk kemudian menemukan Zoe menyimpan rahasia dan ketakutan terhadap profesor tampan bernama Edward Fosca. Kepopuleran Fosca sangat hebat hingga ia punya grup fanatik terdiri dari para mahasiswi cantik, pintar, dan berpengaruh, yang menyebut kelompoknya dengan nama The Maidens. Mariana yakin Fosca pembunuhnya dan memutuskan untuk menyelidiki. Ketika tubuh lain ditemukan, obsesi Mariana untuk membuktikan kesalahan Fosca berputar di luar kendali, mengancam untuk menghancurkan kredibilitasnya serta hubungan terdekatnya. Tapi Mariana bertekad untuk menghentikan pembunuh ini, meski harus mengorbankan segalanya—termasuk nyawanya sendiri. Upayanya memecahkan kasus berujung rumit, mengungkap rahasia tak terduga, melibatkan pria tampan lainnya (yang juga mencurigakan), dan membahayakan keselamatan jiwanya. Benarkah Edward Fosca pembunuh para mahasiswi tersebut? Jika ya, mengapa profesor menargetkan salah satu mahasiswanya? Dan mengapa dia terus kembali ke ritus Persephone, sang gadis, dan perjalanannya ke dunia bawah?
Jadi tergoda menjawab pertanyaannya, tapi jangan ya. Lebih baik kita obrolin unsur-unsur ceritanya saja.
Seputar Fisik Buku dan Disainnya
Gold sudah dari dulu jadi warna favorit saya, bahkan branding saya juga menggunakan warna ini, so ini rada bias ya kalo mengopinikan apakah saya suka disain covernya ^^, sebab yes jawabannya suka. Saya juga suka kombinasi warnanya yang hitam gold dengan ilustrasi gambar yang dalam kacamata awam saya berkesan ke-yunani-yunanian, sesuai dengan salah satu poin yang diangkat di dalam cerita. Saya menebak itu gambar ilustrasi dari the Goddess Persephone yang nanti ada kaitannya dengan kisah di buku ini.
Sejauh ini keliatannya buku The Maidens ga ada edisi cover yang beda untuk versi cetak internasional dalam bahasa Inggris.
Tokoh dan Karakter
Mariana Andros, berduka atas kematian suaminya dalam kecelakaan.
Henry Booth, salah satu pasien terapis kelompok yang ditangani Mariana yang terobsesi padanya.
Zoe, keponakan Mariana, ditinggal meninggal kedua orangtuanya dari kecil.
Sebastian, suami Mariana.
Clarissa, dosen senior yang menjadi sahabat Mariana Andros.
Fred, pria muda yang bertemu dengan Mariana di kereta, jatuh cinta pada Mariana, dan yakin pada kemampuannya melihat kilasan-kilasan masa depan.
Elsie, tukang bersih-bersih asrama mahasiswa, khususnya kamar Tara, sahabat Zoe yang dibunuh.
Julian, psikiater, teman Mariana yg menyelidiki kasus pembunuhan di Cambridge University, ketertarikannya pada Mariana mencurigakan.
Ruth, psikiater mentor Mariana.
Tokoh kita di buku ini memang bukan detektif, bahkan seumur hidupnya belum pernah bersinggungan dengan yang namanya kasus pembunuhan. Mariana seorang terapis grup. Alex menciptakannya sebagai karakter yang rapuh tapi berani, emosional tapi logis, cerdas tapi juga bodoh, yang pasti dia cantik karena mayoritas tokoh-tokoh pria dalam cerita menunjukkan ketertarikan padanya. Sebagai tokoh cerita, Mariana berdimensi dan manusiawi. Btw, yes ada unsur romance di sini, porsinya di bawah 50% saja.
Di dalam cerita Alex tentunya menyeting beberapa tokoh praduga pembunuh. Ada Edward Fosca, dosen tampan populer tapi mencurigakan. Dia cerdas dan menawan, tapi kemampuannya mengendalikan para mahasiswi yang tergabung dalam kelompok The Maidens terus terang rada menyeramkan. Auranya dari awal semacam predator seksual. Lalu ada Henry, pasien yang tergabung dalam grup terapis Mariana. Tingkah lakunya yang di luar kendali, menguntit, dan 'melambai-lambaikan' senjata, terus terang jauh dari seksi. Ada juga Fred, pria yang dikenal Mariana dalam perjalanannya menuju Cambridge, lebih muda usianya, anak teknik, percaya pada intuisi dan ramalan masa depan sebagai bagian dari indera keenamnya, perasaannya yang tertolak membuat perangainya menjadi aneh. Selain tiga ini, ada dua pria lagi yang mencurigakan, plus Zoe, keponakan Mariana, dan Clarissa, dosen senior yang juga mentor Mariana semasa masih belajar di Cambridge.
Deskripsi fisik tokoh cukup detail yang dilengkapi pula dengan sedikit latar belakang kehidupan tokoh (tapi tidak semuanya), misalnya Henry Booth yang tidak hanya disebutkan fisiknya seperti apa tapi juga ada penjelasan tentang kondisi mental Henry yang labil, apa yang terjadi padanya di masa kecil sehingga dia mengalami trauma mental, dan beberapa poin situasi yang dialami Henry di masa lalu sebelum menjadi pasien Mariana.
Henry Booth was only thirty-five years old, but he looked older. His reddish hair was speckled with gray, and his face was covered with creases, like the crumpled shirt he wore. He also wore a perpetual frown, and gave the impression of being permanently tense, like a coiled spring. He reminded Mariana of a boxer or a fighter, preparing to give - or receive - the next blow.
...
As a child, Henry had suffered horrific physical and sexual abuse at the hands of his father before he was taken into care and shunted around a series of foster homes. and yet, despite all this trauma, Henry was a remarkably intelligent person - and it had seemed, for a while, as id his intelligent might be enough to save him: at eighteen he got a place at university, to study physics. But he only lasted a few weeks before his past caught up with him; he had a massive breakdown - and never fully recovered. There followed a sad history of self-harm, drug addiction, and recurring breakdowns landing him in and out of hospital - until his psychiatrist referred him to Mariana.
Page 13
Untuk tokoh utama, Mariana, di sini saya tidak menemukan deskripsi fisik yang rinci tentang cantiknya tokoh ini. Tapi dari dialog dan narasi lainnya justru bisa disimpulkan kalo Mariana pasti sangat cantik karena mostly tokoh pria di buku ini tertarik padanya. Sebagai gantinya, Alex lebih menonjolkan narasi-narasi yang menjelaskan karakter Mariana, suasana hati, dan isi pikirannya.
As a child at school, struggling to fit in, she had wandered the corridors during the break times, lonely and restless as a ghost - gravitating toward the library, where she felt comfortable, finding refuge. And now as a student at St. Christopher s College, the same pattern repeated itself; Mariana spent most of her time in the library, making only a few friends with other similarly shy, bookish students. She received no interest from any of the boys in her year, and no one asked her out.
Perhaps she wasn't attractive enough?
Page 30
Alur dan Latar
Alurnya maju, dengan flashback ingatan Mariana sesekali di masa lalu. Pov ketiga dengan pusat cerita berada di Mariana, dan pov yang saya tidak bisa sebutkan siapa pemiliknya karena berupa diary, dan membuka identitasnya berarti spoiler ☺.
Konflik di dalam cerita punya sisi lain tapi sangat erat kaitannya dengan kasus pembunuhannya. Ini tentang trauma Marina yang dipicu oleh pengasuhan masa kanak-kanaknya, kerentanannya dan insecurity issues, juga kemampuan untuk bangkit dari keterpurukan.
Cerita lalu berakhir dengan ending tertutup untuk misterinya, dan terbuka pada proses perenungan setelah beres baca. Konklusi akhir memang seolah diserahkan kepada kita.
Latar suasana dan fisik lokasi di sini menurut saya terbangun dengan baik. Saya bisa mengimajinasikan seperti apa kampus Cambridge dengan pohon-pohon dan sungainya. Ini sebenarnya ga mengherankan saya karena Alex Michaelides memang alumni Cambridge, jadi dia bisa menceritakan lokasi tersebut dengan baik. Hal ini ditunjang juga dengan kunjungan-kunjungannya ke kampus selama penulisan buku ini, sebuah aksi untuk menciptakan latar yang kuat bagi bukunya. Ide setting cerita di Cambridge ternyata terinspirasi dari buku-buku misteri favorit Alex, salah satunya Agatha Christie yang banyak menggunakan latar lokasi terisolasi, dan Cambridge dalam bayangan Alex juga seperti itu.
Satu lokasi lagi yang saya ingat adalah Primrose Hill, rumah Mariana semasa suaminya masih hidup, karena deskripsi rumah ini dijelaskan panjang lebar di awal-awal cerita, dan imajinasi yang tercipta dalam benak saya memberikan gambaran betapa indahnya rumah ini.
They were very fond of that house. It was at the foot of Primrose Hill in Northwest London, and painted the same bright yellow as the primroses that grew on the hill in the summer. Honeysuckle climbed up one of the outside walls, covering it with white, sweet smelling flowers, and in the summer months their scent crept into the house through the open windows, climbing up the stairs and lingering in the passages and rooms, filling them with sweetness.
It was unseasonably warm that Monday evening. Even though it was early October, the Indian summer prevailed, like an obstinate party guest, refusing to heed the hints from the dying leaves on the trees that it might be time to go. The late-afternoon sun flooded into the front room, drenching it with a golden light, tinged with red. before the session, Mariana drew the blinds, but left the sash windows open a few inches to let in some air.
Yang menarik dan atau disuka dari Buku ini
Barangkali di antara yang mengunjungi laman ulasan saya ini ada yang juga sudah baca The Maidens, saya ingin tanya, sukakah kamu pada buku kedua Alex Michaelides ini? Atau malah kecewa?
Selepas sukses dengan novel debutannya, The Silent Patient, yang tak disangka-sangka itu, Alex Michaelides berupaya keluar dari tekanan kesuksesan novel pertama. Sudah umum buku kedua setelah debut yang sukses besar, sangat ditunggu para pembaca sekaligus dibanding-bandingkan dengan seksama. Itu lumrah adanya.
Novel The Maidens kemudian ternyata segera mendapat predikat the Instant New York Times Bestseller terlepas dari komentar ini itu dari para pengulas, yang mana membuktikan novel ini setidaknya berada di posisi yang bagus menimbang statusnya yang buku kedua itu. Wow sungguh bikin penasaran ☺.
Menarik juga menyimak wawancara Alex di media, bahwa dia tidak menyangka buku-bukunya mendapatkan tanggapan yang luar biasa, karena yang ada dalam pikirannya justru sangat sederhana, sesederhana menulis buku buat menyenangkan dirinya sendiri (yang ternyata kemudian menyenangkan juga bagi pembaca internasional). Di dalam pikirannya, Alex Michaelides selalu melihat dirinya sebagai screen writer bukan book writer, tapi kesuksesan dua bukunya mungkin mengubah segalanya :).
Buatmu yang mencari buku misteri pembunuhan yang dipecahkan oleh amatir, ini buku yang wajib dicoba baca ^^
Karakter pecinta buku selalu menarik perhatian saya, karena relate dengan saya yang juga booklover, dan ternyata Mariana adalah seorang avid reader juga. Dia membaca dari kecil, jatuh cinta pada buku, dan apa yang dirasakan Mariana terhadap buku-buku "as a companion" itu sudah umum dirasakan oleh kita yang suka baca buku.
She fondly imagined her mother s arrival in Athens - armed with trunks and suitcases full of books instead of clothes. and in her absence, the lonely girl would turn to her mother s books for solace and companionship. During the long summer afternoons, Mariana grew to love the feel of a book in her hands, the smell of paper, the sensation of turning a page. She would sit on the rusty swing in the shade, bite into a crisp green apple, or an overripe peach, and lose herself in a story.
Through these stories, Mariana fell in love with a vision of England and Englishness - an England that had quite possibly never existed beyond the pages of these books: an England of warm summer rain, and wet greenery, and apple blossom; winding rivers and willow trees, and country pubs with roaring fires. The England of the Famous Five, and Peter Pan and Wendy; King Arthur and Camelot; Wuthering Heights and Jane Austen, Shakespeare -- and Tennyson.
Page 30
Di dalam The Maidens ada juga percakapan-percakapan tokoh serta adegan yang berhubungan dengan buku-buku, bahkan puisi. In Memoriam A. H.H. yang ditulis oleh Alfred Lord Tennyson memang sebuah puisi yang ada di dunia nyata kita.
The old woman heaved herself to her feet, and went to the bookcase. She ran her finger along the spines until she located a book. she pulled it off the shelf, and pressed it into Mariana's hands.
"Here. I found this such a source of solace after Timmy died."
It was a slim black leather-bound volume. IN MEMORIAM A.H.H. by Alfred Tennyson was embossed on the cover in faded gold lettering.
Clarissa gave Mariana a firm look. "Read it."
Page 81
Untuk sebuah novel bergenre psychological thriller, para tokoh yang ada di dalam cerita sesuai ekspektasi genrenya, begitupun narasinya yang memang banyak mengolah pikiran dan perasaan si tokoh.
Ada satu hal yang disampaikan di buku ini tentang trauma masa kanak-kanak yang berujung kekacauan di masa dewasa jika tidak mendapatkan 'obat'nya, dan sebenarnya mudah sekali untuk menyembuhkan trauma itu serta mencegah si individu untuk kemudian bertranformasi menjadi versi dewasa yang berpenyakit mental, yakni dengan kebaikan orang-orang yang ada di sekitarnya. Berhubung baru beberapa waktu lalu saya membaca buku What Happened to You? yang ditulis oleh Dr. Perry dan Oprah Winfrey, apa yang disebutkan barusan sangat berkesesuaian dengan apa yang dituliskan di buku non fiksi yang membahas topik trauma kanak-kanak tersebut.
...meaning that in order to experience empathy for another human being, we must first be shown empathy - by our parents or caregivers. The man who killed Tara was once a little boy - a boy who was shown no empathy, no kindness. He had suffered - and suffered horribly.
Yet many children grow up in terribly abusive environments - and they dont end up as murderers. Why? Well, as Mariana's old supervisor used to say: "It doesn't take much to save a childhood." A little kindness, some understanding or validation: someone to recognize and acknowledge a child s reality - and save his sanity.
Page 99
Ada satu adegan yang menarik perhatian saya, yakni ketika Mariana mengasosiasikan sebuah suasana tertentu dengan situasi mental yang tertentu pula. Ini terjadi ketika Mariana menemui dosen seniornya, Clarissa, yang punya kebiasaan merokok. Alih-alih merasa terganggu, justru suasana dan aroma yang tercium saat itu selalu mengingatkannya pada perasaan yang menenangkan. Saya kira ini memang terjadi dalam kehidupan nyata kita ya. Wangi pizza bisa mengingatkan kita pada momen kumpul bersama teman kuliah misalnya, yang akan membawa rasa hangat juga di dalam hati. Atau wangi pengharum ruangan tertentu yang membuat kita terkenang pada masa kecil semasa orangtua masih ada.
But Mariana didn't mind; in fact, sitting here now, she realized how much she'd missed this smell. On the rare occasions she encountered a pipe being smoked in the outside world, she would immediately feel reassured, associating the smelly, dark, billowing smoke with wisdom and learning - and kindness.
Page 79
Sebelum saya lupa, di buku ini juga ada diary. Jadi ingat diary Anson Bishop di buku seri pembunuhan 4 monyet yang bikin geleng-geleng kepala ya. Di buku ini diarinya menceritakan masa kecil yang traumatis, kekerasan fisik, kebencian, dan tentu saja deduksi kita mengarah pada cikal bakal kegilaan si pelaku kejahatan. Penasaran? Yuk dibaca saja sendiri bukunya :).
Baca juga "Review Buku The Fourth Monkey - J. D. Barker"
Deskripsi korban di sini memang lumayan mengerikan, tapi karena hanya disebutkan selintas, jadi efeknya memang tidak begitu besar.
It was the horrible thing Mariana had ever seen. She felt afraid to look at it. It didn't seem real.
The body of a young woman, or the remains of one, was stretched out in the grass. The torso was slashes beyond recognition - all that was left was a mixture of blood and guts, mud an earth. The head was untouched, and the eyes were open, seeing and unseeing - in this gaze, a path led to oblivion.
Page 169
Pernah menemukan buku yang ga berseri tapi punya kaitan cerita?
Di luar dugaan saya, The Maidens rupanya punya hal menarik ini. Di bagian pertengahan-akhir cerita, akan disebut-sebut fasilitas The Grove yang menjadi setting buku pertama Alex Michaelides, The Silent Patient. Bahkan bukan hanya tempat itu yang disebutkan, ada tokoh penting dalam buku pertama juga yang masuk ke dalam The Maidens. Penasaran siapa tokohnya? Silakan dibaca sendiri☺. Kalo diingat-ingat kembali, tragedi Yunani memang jadi semacam tema di kedua buku Alex Michaelides ya.
Gara-gara hal tersebut saya jadi mencoba mencari tau apakah memang ada rencana dari Alex untuk menulis buku-buku berbenang merah seperti itu. Tapi sayangnya info ini ga saya temukan sampe sekarang. So, yang tinggal jadinya rasa penasaran kayak apa buku ketiga Alex nanti.
By the way, kita akan menemukan insight tentang grup terapis di dalam cerita yang dibawa oleh tokoh Mariana. Ternyata ga heran kenapa poin itu bisa begitu rinci dan meyakinkan karena ternyata Alex Michaelides memang pernah belajar di bidang tersebut. Coba cek beberapa kalimat yang saya kutipkan di bawah ini.
It wasn't just that he was significantly more unwell that the other members; seriously ill patients could be held and healed very effectively by groups - but they could also disrupt them to the point of disintegration. As soon as any group established itself, it always arouses envy and attack - and not just from forces on the outside, those excluded from the group, but also from dark and dangerous forces within the group itself. And ever since he'd joined them a few month ago, Henry had been a constant source of conflict.
...
And when group therapy was working well, a kind of miracle would occur within this circle - the birth of a separate entity: a group spirit, a group mind; a "big mind", it was often called, more than the sum of its parts; more intelligent than the therapist or the individual members. it was wise, healing, and powerfully containing. Mariana had seen its power firsthand many times. In her front room, over the years, many ghosts had been conjured up in this circle, and laid to rest.
Page 14
Plot twist yang ada di The Maidens berhasil di saya. Rasanya terkejut, tercengang, dan ada rasa 'iiuuhhh' juga pas membaca bagian itu. Meski secara kontur, alur menurut saya agak tajam menurun alias tiba-tiba selesai dengan konflik ketegangan puncak yang bikin ingin berkomentar "segini aja?".
Buku ini asyik, apalagi buat kita yang suka psychological thriller, bumbu romance dan unsur mitologi Greek memberikan warna pada cerita, juga ada materi tentang grup terapisnya yang membedakan novel ini dengan yang lainnya. Btw, unsur mitologi Greek di sini jadi tema cerita juga, ada petunjuk-petunjuk yang ditulis dalam bahasa latin berkaitan dengan si mitologi tersebut. Coba cek gambar di bawah ini ya.
Untuk pesan cerita, The Maidens kelihatannya berfokus pada tokoh Mariana sebagai lesson from book-nya. Bahwa apapun yang terjadi hidup itu terus berjalan. Tidak ada yang bisa kita lakukan pada masa lalu. Move on. Fokus dan pikirkan masa depan. Bukan sesuatu yang mudah memang, seperti 'behind the veil', karena pada situasi mental tertentu, membayangkan masa depan itu seperti mencoba melihat sesuatu di balik tirai. Tapi apapun itu kita harus terus berusaha, menjaga harapan, dan tentu saja memulai langkah untuk bangkit kembali.
"It's important to keep looking ahead. You mustn't forever look back, over your shoulder. Think about the future."
Mariana shook her head. "To be honest, I can't really see a future... I can't see much. It's all..." She searched for the words. The she remembered: "Behind a veil. Where's that from? 'Behind the veil, behind the veil ---'"
Page 81
Siapa Alex Michaelides
Alex Michaelides (lahir 1977) adalah penulis dan penulis skenario Inggris-Siprus terlaris. Novel debutnya, thriller psikologis The Silent Patient, adalah buku terlaris New York Times dan Sunday Times, dengan lebih dari satu juta eksemplar terjual.
Michaelides lahir di Siprus dari ayah Yunani dan ibu Inggris. Ia belajar sastra Inggris di Trinity College, Cambridge University.
Dia belajar psikoterapi selama tiga tahun, dan bekerja selama dua tahun di unit aman untuk dewasa muda.
Novel debut Michaelides, The Silent Patient, adalah buku terlaris versi Hardcover Fiction #1 New York Times pada minggu pertama dan merupakan debut hardback terlaris di AS untuk tahun 2019. The Silent Patient adalah top 10 buku terlaris Sunday Times selama tujuh minggu. Di Amazon.com, buku ini menempati urutan ke-2 yang paling banyak terjual untuk tahun 2019 dalam daftar Buku fiksi yang Paling Banyak Terjual dan disebut sebagai film thriller nomor satu tahun 2019. The Silent Patient juga memenangkan Goodreads Choice Award untuk Best Mystery & Thriller of 2019, terpilih sebagai Richard & Judy Book Club pick dan sebagai Book of the Month di The Times. The Silent Patient terpilih untuk Barry untuk debut terbaik dan Barnes and Noble's Book of the Year. Perusahaan produksi Brad Pitt, Plan B, sedang mengembangkan The Silent Patient sebagai sebuah film.
Novel kedua Michaelides, The Maidens, diterbitkan pada 10 Juni 2021 oleh Orion Publishing (Inggris) dan pada 15 Juni 2021 oleh Celadon Books (AS). Ini adalah cerita detektif psikologis tentang serangkaian pembunuhan di sebuah perguruan tinggi Cambridge. Novel ini memulai debutnya di nomor dua dalam daftar buku terlaris fiksi The New York Times untuk minggu yang berakhir 19 Juni 2021.
Michaelides juga menulis film The Devil You Know, yang dibintangi oleh Lena Olin, Rosamund Pike, dan Jennifer Lawrence, dan ikut menulis The Con Is On, yang dibintangi oleh Uma Thurman, Tim Roth, Parker Posey, dan Sofia Vergara.
Bibliography
- The Silent Patient (2019)
- The Maidens (2021)
Sumber: wikipedia
Rekomendasi
Novel psychological thriller ini saya rekomendasikan buat pembaca dewasa yang mencari tipe misteri pembunuhan yang diselesaikan oleh amatir (orang biasa). Alurnya maju dengan flashback sedikit di sana sini. Tokoh-tokohnya hidup begitupun latarnya yang mayoritas mengambil lokasi di Cambridge University. Cerita mengambil tema tragedi yunani yang juga menjadi tema dalam buku Alex Michaelides sebelumnya, The Silent Patient. Kedua buku ini akan memiliki kaitan karena memasukkan beberapa tokoh yang sama, meski secara kasus kedua buku ini keliatannya tidak berhubungan sama sekali. Kesan psikologi tokoh sangat kental, diperdalam oleh materi terapis kelompok yang dibawakan oleh tokoh utama. Kita akan berjumpa dengan antagonis yang sakit jiwanya, dan endingnya berplot-twist bagus, memberikan efek kejutan buat pembaca. Bukan hanya misteri pembunuhannya yang asyik disimak, tapi sisi perenungannya juga baik untuk dilakukan, tentang bangkit dari keterpurukan, melupakan masa lalu, dan fokus ke masa depan.
Sensitive Issues: murder, blood, sexual scenes, mental illness/disorder, trauma, etc. Baca buku ini sesuai usia.
-------------------------------------------------------------------------
Dipidiff.com adalah sebuah media edukasi yang menginspirasi melalui beragam topik pengembangan diri, rekomendasi buku-buku, dan gaya hidup yang bervibrasi positif.
Dipi adalah seorang pembaca buku sejak usia 5 tahun. Ia membaca buku-buku fiksi maupun non fiksi. Dipi host di dua program di nbsradio.id (radio di Bandung yang beraliansi resmi dengan VOA). Podcast Dipi bisa diakses di Spotify DipidiffTalks. Dipi menulis di blognya dipidiff.com , dan tulisan-tulisan review bukunya menjadi entry di halaman pertama mesin pencari Google. Saat ini dipi adalah ambassador untuk Periplus Bandung dan berafiliasi dengan Periplus Indonesia di beberapa event literasi. Dipi bisa dijumpai juga di instagram @dipidiffofficial. Dipi diundang oleh berbagai komunitas dan lembaga pendidikan untuk berbagi topik membaca, menulis, mereview buku, public speaking, dan pengembangan diri, misalnya di Universitas Negeri Semarang, LP3i, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, English Star Bandung, The Lady Book Club, Buku Berjalan.id, SMAN 24 Bandung, SMAN 22 Bandung, dan masih banyak lagi. Passionnya yang lain terkait dengan pendidikan dan kue-kue. Dia mengembangkan bisnis kecilnya, bernama Dipidiff Snack Book - Dipidiff Official Store, sambil tetap sibuk menjadi ibu satu anak dan meng-coaching-mentoring beberapa remaja dan dewasa muda di Growth Tracker Program, ini adalah program pribadi, yang membantu (terutama) remaja dan dewasa muda untuk menemukan passion dan mengeluarkan potensi mereka. Dipi pensiun dari bekerja di universitas dan menikmati waktunya di lembaga pelatihan. Dipidiff adalah Personal Brand-nya.
Let's encourage each other to shape a better future through education and book recommendation
Contact Dipidiff at This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it..
TERBARU - Review Buku
Review Buku Shoe Dog - Phil Knight
01-08-2022 Dipidiff

#1 NEW YORK TIMES BESTSELLER.A Memoir by the Creator of Nike. Judul : Shoe Dog Penulis : Phil Knight Jenis Buku : Autobiography Penerbit : Simon and Schuster Ltd Tahun Terbit : 2018 Jumlah Halaman : ...
Read moreReview Buku The Psychology of Stupidity …
01-08-2022 Dipidiff

The Number One International Bestseller Judul :The Psychology of Stupidity Explained by Some of the World's Smartest People Penulis : Jean-François Marmion Jenis Buku : Medical Social Psychology & Interaction, Popular Social Psychology & Interactions...
Read moreReview Buku Januari & Kesunyian Lain…
01-08-2022 Dipidiff

Judul : Januari & Kesunyian Lain Dalam Tubuhku Penulis : Diondexon Jenis Buku : Puisi, senandika Penata Letak: Dionisius Dexon Penyunting: Tim One Peach Media Pendesain Sampul: Dionisius Dexon Penerbit : One Peach Media Tahun Terbit : Februari...
Read moreReview Buku Anne of Green Gables (Wordsw…
19-07-2022 Dipidiff

Read the timeless classic about the beloved Anne Shirley, a red-haired orphan with a fiery spirit. Now on Netflix Judul : Anne of Green Gables Penulis : Lucy Maud Montgomery Jenis Buku : Children’s...
Read more