Review Buku Humankind A Hopeful History - Rutger Bregman
Instant New York Times Bestseller
Judul : Humankind – A Hopeful History
Penulis : Rutger Bregman
Jenis Buku : History -Psychology
Penerbit : Bloomsbury Publishing
Tahun Terbit : Mei 2020
Jumlah Halaman : 496 halaman
Dimensi Buku : 16.30 x 24.20 x 4.60 cm
Harga : Rp. 392.000*harga sewaktu-waktu dapat berubah
ISBN : 978140889893
Paperback
Edisi Bahasa Inggris
Available at PERIPLUS BANDUNG Bookstore (ig @Periplus_setiabudhi, @Periplus_husein1 , @Periplus_husein2)
Sekelumit Tentang Isi
Sudah menjadi semacam kepercayaan publik bahwa manusia itu pada dasarnya jahat dan atau dipengaruhi kejahatan sehingga tersesat nuraninya, hingga dunia saat ini diliputi yang namanya pesimisme dan banyak pikiran negatif. Apa yang dipercayai publik pun diamini oleh filsuf-filsuf kenamaan dan tokoh-tokoh besar, dari Machiavelli hingga Hobbes, dari Freud hingga Pinker. Akibatnya akar kepercayaan ini begitu kuat tertanam di benar manusia.
Tetapi bagaimana jika itu semua tidak benar adanya? Rutger Bregman memberikan perspektif baru tentang 200.000 tahun terakhir sejarah manusia, yang membuktikan bahwa manusia pada dasarnya berhati baik. Ia membuktikan bahwa naluri yang positif ini memiliki dasar evolusi yang kuat bahkan sejak awal Homo sapiens. Bregman menunjukkan kepada kita bahwa manusia memiiliki kemurahan hati dan cenderung bekerjasama saling membantu bahkan dalam kondisi tersulit itu adalah nyata adanya.
Jelas bahwa pemahaman akan hal ini memiliki implikasi yang sangat besar terhadap bagaimana cara masyarakat berfungsi. Ketika kita memikirkan orang dari sudut terburuk, hal itu memunculkan yang terburuk dalam politik dan ekonomi kita. Tetapi jika kita percaya pada realitas kebaikan dan altruisme umat manusia, itu akan menjadi fondasi untuk mencapai perubahan sejati dalam masyarakat. It is a hope for humankind.
Yuk kita intip daftar isinya:
Prologue
- A New Realism
- The Real Lord of the Flies
PART 1 THE STATE OF NATURE
- The Rise of Homo Puppy
- Colonel Marshall and the Soldiers Who Wouldnt Shoot
- The Curse of Civilisation
- The Mystery of Easter Island
PART 2 AFTER AUSCHWITZ
- In the Basement of Stanford University
- Stanley Milgram and the Shock Machine
- The Death of Catherine Susan Genovese
PART 3 WHY GOOD PEOPLE TURN BAD
- How Empathy Blinds
- How Power Corrupts
- What the Enlighentment Got Wrong
- The Power of Intrinsic Motivation
- Homo ludens
- This Is What Democracy Looks Like
PART 5 THE OTHER CHEEK
- Drinking Tea with Terrorists
- The Best Remedy for Hate, Injustice and Prejudice
- When the Soldiers Came Out of the Trenches
Epilogue
Acknowledgements
Notes
Index
Seputar Fisik Buku dan Disainnya
Kenapa ada ilustrasi gambar payung coba *mikir. Saya juga bingung. Mungkin karena payung perlambang persiapan akan sesuatu kejadian dan harapan akan proteksi. Sedia payung sebelum hujan dan pakailah payung saat hujan :D. Yah kalo teman-teman tau kenapa gambar ilustrasinya payung, nanti bisa kontak saya ya.
Disain sampul buku ini mirip gaya-gaya sapiens-nya Harari ya. Pilihan warnanya juga menonjolkan judul. Nama penulisnya sendiri asing buat saya, meski ternyata Rutger Bregman itu figur yang keren sekali. Sayanya saja yang belum pernah baca bukunya. Dan sama sekali ga nyesel milih buku ini buat bacaan. Buku ini tebal, sempat bikin nyali surut :D. Tapi jangan khawatir, isinya dijamin bakalan bikin kita ingin terus baca sampai akhir.
Yang menarik dan atau disuka dari Buku ini
Sebuah buku yang membuka perspektif saya akan fitrahnya manusia kini hadir di tengah gempuran dan gelombang opini negatif karakter dasar manusia.
"Human beings, we're taught, are by nature selfish and governed by self-interest".
Humankind, sebuah buku sejarah penuh harapan yang dibahas dari sisi ilmiah berpendekatan sosiologi, histori, dan psikologi. Ditulis oleh penulis bernama Rutger Bregman, yang sejujurnya asing buat saya, padahal ia adalah seorang penulis terlaris internasional. Buku ini awalnya ditulis dan diterbitkan dalam bahasa Belanda, dan baru-baru ini diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Bloomsbury Publishing.
Isi buku ini terdiri dari 5 bagian besar, yakni: Prologue, Part 1 The State of Nature, Part 2 After Auschwitz, Part 3 Why Good People Turn Bad, Part 4 A New Realism, dan Part 5 The Other Cheek. Total halaman mencapai 463 halaman.
Yang menarik perhatian saya di awal membaca buku ini adalah nama-nama tokoh yang memberikan pujian di halaman depan bukunya, sebut saja Yuval Noah Harari, Stephen Fry, dan Matt Haig. Secara spesifik Harari menyebutkan, "Humankind challenged me and made me see humanity from a fresh perspective". Sebuah kalimat yang 'intriguing' bagi saya, sehingga memasukkan buku ini dalam list baca saya bulan ini.
Pemaparan buku ini dimulai dengan sejarah Nazi. Di bulan Oktober tahun 1939, Hitler berembuk dengan jendral-jendralnya dalam rencana penyerangan Jerman ke Inggris. Dalam skenario penyerangan ini harusnya warga Inggris akan mengalami kehancuran yang bukan cuma berupa jiwa dan harta, tapi juga demoralisasi masal. Namun yang terjadi di September 1940 di luar prediksi Hitler. Hujan bom memang meluluh lantakkan kota, lebih dari 40 ribu orang di UK kehilangan nyawa. Tapi tidak ada demoralisasi atau mental devastation. Duka yang dalam jelas menyelimuti, tapi tidak ada yang lebih dari itu. "The effect on Hitler was disillusioning." (p. xviii).
On 19 October 1939, Hitler briefed his generals on the German plan of attack. ‘The ruthless employment of the Luftwaffe against the heart of the British will-to-resist,’ he said, ‘can and will follow at the given moment.’
In Britain, everyone felt the clock ticking. A last-ditch plan to dig a network of undergrund shelter in London was considered, but ultimately scrapped over concerns that the populace paralysed by fear, would never re-emerge. At the last moment, a few psychiatric filed hospitals were thrown up out outside the city to tend to the first wave of victims.
And then it began.
...
.... Over the next nine months, more than 80,000 bombs would be dropped on London alone. Entire neighbourhoods were wiped out. A million buildings in the capital were damaged or destroyed, and more than 40,000 people in the UK lost their lives.
So how did the British react? What happened when the country was bombed for months on end? Did people get hysterical? Did they behave like brutes?
...
Evidently, Hitler had forgotten to account... quintessential British character. The stiff upper lip. The wry humour, as expressed by shop owners who posted signs in front of their wrecked premises announcing: MORE OPEN THAN USUAL. Or the pub properietor who in the midst of devastation advertised: OUR WINDOW ARE GONE, BUT OUT SPIRITS ARE EXCELLENT, COME IN AND TRY THEM.
The British endured the German air raids much as they would a delayed train. Irritating, to be sure, but toleratable on the whole....
Page xvii
Sejarah di atas merupakan prolog buku Humankind yang mengawali pemaparan teori Rutger Bregman akan keyakinannya bahwa manusia secara fitrah akan selalu cenderung pada kebaikan dan hal-hal positif. "This book is about a radical idea. That most people, deep down, are pretty decent" (p. 2).
In point of fact, Hannah Arendt was one of those rare philosophers who believe that most people, deep down, are decent.
Page 173
Tentu saja sejarah Hitler di atas bukan satu-satunya yang dijabarkan dalam isi buku, di halaman-halaman berikutnya kita akan menyimak sejarah tragedi Twin Tower (2001), bencana Hurricane Katrina (2005), kasus keracunan Coca Cola di Belgia (1999), riset George Gebrner (1919-2005), serta availibility and negativity bias, yang membuat kita paham mengapa orang lebih mudah menjadi sinis dan negatif ketimbang stay positif all the time.
Take a fake pill thinking it will make you sick, and chances are it will. Warn your patients a drug has a serious side effects, and it probably will. For obvious reasons, the nocebo effect, as it s called, hasn't been widely tested, given the touchy ethics of convincing healthy people they're ill. Nevertheless, all the evidence suggests nocebos can be very powerful.
That's also what Belgian health officials concluded in the summer of 1999. Possibly there really was something wrong with one or two of the Cokes those kids in Bornem drank. Who's to say? Buy beyond that, the scientists were unequivocal: the hundreds of other children across the country had been infected with a “mass psycogenic illness’. In plain English: they imagined it.
..
Maybe you see where I'm going with this: our grim view of humanity is also a nocebo.
Page 9
Lord of Flies yang ditulis William Golding tahun 1951 memberikan peran yang besar tehadap keyakinan masyarakat umumnya bahwa dalam situasi penuh tekanan, sifat manusia akan menunjukkan sisinya yang paling primitif dan berbahaya. Di titik ini saya sangat menikmati argumentasi yang ditampilkan Rutger Bregman dalam banyak bukti sejarah dan riset psikologi yang mementahkan teori fiksi itu. Ada kisah nyata Peter Warner yang membuka mata saya, ada filosofi Thomas Hobbes dan Jacquess Rosseau yang legendaris tapi patut kita kaji ulang, dan ada sebutan Homo Puppy yang menandai sejarah awal mula manusia dulu sekali, seperti yang pernah dijabarkan Yuval Noah Harari dalam bukunya Sapiens, hanya dari kajian yang agak berbeda sudut bahasannya.
But seldom is a story only a story. Stories can also be nocebos. In a recent study, psychologist Bryan Gibson demonstrated that watching Lord of the Flies – type television can make people more aggressive. In children, the correlation between seeing violent images and aggression in adulthood is stronger than the correlation between asbestos and cancer, or between calcium intake and bone mass.
Cynical stories have an even more marked effect on the way we look at the world. In Britain, another study demonstrated ...
Page 37
So what gives? What did Neanderthals, with their brawn, big brains, and ability to survive two whole ice ages, end up getting wiped off the earth? Having managed to stick it out for more than 200,000 years, why was the game over for the Neanderthals soon after Homo sapiens arrived on the scene?
There is one final and much more sinister hypothesis.
If we weren't stronger, or more courageous, or smarter then the Neanderthals, maybe we were just meaner. ‘It may well be,’ speculates Israeli historian Yuval Noah Harari, ‘that when Sapiens encountered Neanderthals, the result was the first and most significant ethnic – cleansing campaign in history’. ..
Page 60
Myths were key to helping the human race and our leaders do something no other species had done before. They enabled us to work together on a massive scale with millions of strangers. Furthermore, this theory goes on to say, it was from these great powers of fabrication that greal civilisations arose. Judaism and Islam, nationalism and capitalism – all are products of our imagination. ‘It all revolved around telling stories,’ Israeli historian Yuval Noah Harari writes in his book Sapiens (2011), ‘and convincing people to believe them.’
This is a captivating theory, but it has one drawback.
Page 234
Too many environmental activists underestimate the resilence of humankind. My fear is that their cynicism can become a self-fulfilling prophecy – a nocebo that paralyses us with despair, while temperatures climb uabated. The climate movement too, could use a new realism.
“There's a failure to recognise that not only problems but also solutions can grow exponentially,’ Professor Boersema told me. ‘There's no guarantee they will. But they can.’
For proof, we need only look to Easter Island. When the last tree was gone, the islanders reinvested farming, with new techniques to boost yields. The realy story of Easter Island is the story of a resourceful and resilient people, of persistence in the face of long odds. It's not a tale of impending doom, but a well spring of hope.
Page 134
Tentu saja Auschwitz menjadi poin penting pembahasan bertopik kemanusiaan karena kita tahu Hitler dan kamp konsentrasinya adalah bukti kekejaman manusia. Di sini Rutger Bregman memberikan argumentasi yang menurut saya masuk akal dan kuat perihal keyakinannya bahwa manusia itu hakikatnya dekat pada kebaikan tapi nyatanya bertolakbelakang dengan sejarah NAZI yang kejam.
Pertanyaan terbesar 'lalu mengapa manusia bisa jadi jahat' dijawab khusus di Part 3 Why Good People Turn Bad. Tiga poin penting di bagian ini adalah; Chapter 10 How Empathy Blinds, Chapter 11 How Power Corrupts, dan Chapter 12 What the Enlightenment Got Wrong.
Seperti penikmat teh yang menyesap bagian termanis di dasar gelas, mari kita masuk ke bagian akhir buku ini, Part 4 A New Realism dan Part 5 The Other Cheek, yang membawa kita pada setinggi-tingginya harapan bahwa umat manusia sebenarnya tidak pernah kehilangan kemanusiaan, kebaikan, dan naluri saling menolong satu sama lain bahkan di saat tersulit sekalipun. Ada satu saran penting yang diungkapkan Rutger Bregman agar umat manusia terhindar dari perpecahan. 'The Power of Contact'' is the key word.
"Contact engenders more trust, more solidarity and more mutual kindness. It helps you see the world through other people's eyes." (p.358).
Saya menyukai gaya pemaparan Bregman yang rapi dan argumentatif. Story tellingnya asyik dan mengalir. Humornya juga cerdas. Contohnya saat ia menggambarkan kegagalan efek serangan Hitler di Inggris, dimana masyarakatnya ternyata dengan cepat bangkit dari kehancuran dan memulai perekonomian dengan memasang spanduk-spanduk di toko-toko mereka dengan kalimat-kalimat yang penuh humor.
Reports by the Sicherheitsdienst, which kept close tabs on the German population, convey a similar picture. After the raids, people helped each other out. They pulled victims from the rubble, they extinguished fires. Members of the Hitler Youth rushed around tending to the homeless and the injured. A grocer jokingly hung up a sign in front of his shop: DISASTER BUTTER SOLD HERE!.
(Okay, the British humour was better).
...
Page xxi
atau ketika Bregman menggambarkan apa jadinya manusia jika tidak punya bagian berwarna pada bola mata. Kebayang dua orang yang saling jatuh cinta memandang satu sama lain tanpa tau arah pandangan si pasangannya. Dimana coba letak keintimannya, jangan-jangan si dia lagi liat yang lain :D
Something similar happens when we look one another in the eye because humans have another weird feature: we have whites in our eyes. This unique trait lets us follow the direction of other people's gazes. Every other primate, more than two hundred species in all, produces melanin that tints their eyes. Like poker players wearing shades, this obscures the direciton of their gaze.
But not humans. We're open books; the object of our attention plain for all to see. Imagine how different human friendships and romance would be if we couldnt look each other in the eye. How would we feel able to trust one another? Brian Hare suspects our unusual eyes are anoter product of human domestication. As we evolved to become more social, we also began revealing more about our inner thoughts and emotions.
Page 69
Selain berbagai fakta ilmiah yang disampaikan, saya juga menyukai perenungan-perenungan yang saya dapatkan dari insight buku. Dari hal yang rada njlimet seperti hasil-hasil riset, sampai hal-hal sederhana seperti cerita tentang kisah seorang kakek yang bercerita pada cucunya tentang serigala yang ada di dalam diri manusia. Ini bukan pertama kalinya saya dengar soal kisah ini, tapi tetap saja saya suka menyimaknya.
An old man says to his grandson: ‘There's a fight going on inside me. It's a terrible fight between two wolves. One is evil – angry, greedy, jealos, arrogant, and cowardly. The other is good – peaceful, loving, modest, generous, honest, and trustworthy. These two wolves are also fighting within you, and inside every other person too.’
After a moment, the boy asks, ‘ Which wolf will win?’
The old man smiles
‘The one you feed.’
Page 10
Tulisannya juga penuh dengan sentuhan personal. Seperti cerita tentang bagaimana ia dan istri pergi mengunjungi salah satu nara sumber bukunya dan ada pengalaman personal yang dibagi di kisah ini.
After my wife took Peter’s picture, he turned to a cabinet and rummaged around for a bit, then drew out a heavy stack of papers that he laid in my hands. His memoirs, he explained, written for his children and grandchildren.
I looked down at the first page. ‘Life has taught me a great deal,’ it began, ‘including the lesson that you should always look for what is good and positive in people.”
Page 38
Setiap Part ada layout dan kutipan. Ini memang format yang sudah umum ya di banyak buku non fiksi. Tapi ga pernah basi. Coba cek kutipannya dan siapa tokohnya.
Picture: layout buku
Di buku ini juga banyak gambar penyerta yang secara visual sangat saya sukai keberadaannya. Jadi lebih tergambarkan si pemarapannya atau ceritanya, dan selingan supaya ga bosan juga. Ada grafik hingga foto dokumentasi yang bisa kita cermati di dalam buku.
Picture: Gambar-gambar penyerta yang ada di dalam buku
Deep thoughts jelas bagian yang pasti ada di buku ini.
Is it any wonder, then, that loneliness can quite literally make us sick? That a lack of human contact is comparable to smoking fifteen cigarettes a day? That having a pet lowers our risk of depression? Human beings crave togetherness and interaction. Our spirits yearn for connection just as our bodies hunger for food. It's that longing, more than anything else, that enabled Homo puppy to shoot for the moon.
When I understood thhis, the notion of evolution didn't feel like such a downer any more. Maybe there's no creator and no cosmic plan. Maybe our existence is just a fluke, after millions of years of blind fumbling. But at least we're not alone. We have each other.
Page 72
Ada Indonesia disebut-sebut ternyata, yakni pulau Nias, di Sumatera Barat. Sebenarnya ga terlalu heran juga sih mengingat negara kita memang salah satu lokasi yang kaya akan situs sejarah dan budaya.
In the end, 493 statues were rolled to another spot. That may sound like a lot, but don't forget that for hundreds of years the Easter Islanders had the place to themselves. At most, they only moved one or two statues a year. Why didn't they stop at a nice round dozen? Boersema suspects there is a simple explanation for this, too, Boredom. ‘Living on an island like that, you basically had a lot of time on your hands,’ he laugh. ‘All that hacking and hauling helped to structure the day.’
I think making the moai should really be seen as a collective work event, much like the construction of the temple complex at Gobekli Tepe more than ten thousan years ago (see Chapter 5). Or more recently on the island of Nias, west of Sumatra, where in the early twentieth century as many as 524 men were observed to drag a large stone statue on a wooden sled.
Page 126
Banyak teori tokoh-tokoh yang disebutkan di buku ini. Salah satunya tentang Adam Smith.
Seventeen years before publishing The Wealth of Nations (destined to become the capitalis bible), Adam Smith wrote a volume titled The Theory of Moral Sentiments. In it, we find passages like this one:
How selfish soever man may be supposed, there are evidently some principles in his nature, which interest him in the fortune of others, and render their happiness necessary to him, though he derives nothing from it except the pleasure of seeing it.
Page 249
atau tentang Malcolm Gladwell, yang teorinya dibantah oleh Bregman. Seorang Malcolm Gladwell yang famous itu dibantah Bregman ... pasti teman-teman sama tertariknya dengan saya kan ya. Kok bisa (?)
Almost forty years have passed since the broken windows article first ran it The Atlantic. During that time, Wilson and Kelling's philosophy has percolated into farthest reaches of the United States and well beyond, from Europe to Australia. In The Tipping Point, Malcolm Gladwell calls the theory a great success, and in my first book I was enthusiastic about it, too.
What I failed to realise was that by then few criminologists believed in it any longer. Actually, alarm bells should have started ringing as soon as I read in The Atlantic that Wilson and Kelling's theory was based on one dubious experiment.
...
Page 337
Teori yang ditawarkan oleh Rutger Bregman sebagai solusi kondisi umat manusia saat ini bisa diterapkan di berbagai bidang kehidupan, misalnya di edukasi, bisnis, dan pemerintahan.
When modern economists assumed that people are innately selfish, they advocated policies that fostered self-serving behaviour. When politicians convinced themselves that politics is a cynical game, that's exactly what it became.
So now we have to ask: could things be different?
Can we use our heads and harness rationally to design new institutions? Institutions that operate on a wholly different view of human nature? What if schools and businesses, cities and nations expect the best of people instead of presuming the worst?
Page 250
This may sound like the recipe for a money-guzzling hippy commune, but in fact productivity at FAVI went up. The company workforce expanded from one hunderd to five hudred and it went to conquer 50 per cent of the market for transmission forks. Everage production times for key parts dropped from eleven days to just one. And while competitors were forced to relocate operations to low-wage countries, the FAVI plant stayed put in Europe.
All the time, Zobrist's philosophy wasa dead simple. If you treat employees as if they are responsible and reliable, they will be. He even wrote a book about it, subtitled: “ L’entreprise qui croit que l’homme est bon. Translation: ‘The company that believes people are good.’
Companies like Buurtzorg and FAVI are proof that everyting changes when you exchange suspicion for a more positive view of human nature.
Skill and competence become the leading values, not revenue or productivity. Just imagine what this would mean in other jobs and professions. CEOs would take the helm out of faith in their companies, academics would burn the midnight oil out of a thirst for knowledge, teachers would teach because they feel responsible for their students, psychlogists would treat only as long as their patients require and bankers would reive satisfaction from the service they render.
....
Because nothing is more powerful than people who do something because they want to do it.
Page 277
Ada istilah-istilah menarik yang menambah wawasan saya, misalnya nocebo, Pygmalion Effect, Golem Effect, dan masih banyak lagi.
I've got more bad news: just as positive expectations have very real effects, nightmares can come true, too. The flip side of the Pygmalion Effect is what s known as the Golem Effect, named after the Jewish legend in which a creature meant to protect the citizens of Prague instead turns into a monster. Like the Pygmalion Effect, the Golem Effect is ubiquitous. When we have negative ecpectations about someone, we dont look at them as often. We distance ourselves from them. We dont smile at them as much. Basically, we do exactly what Rosenthal s studets did when they released the ‘stupid’ rats into the maze.
Research on the Golem Effect is scant, which is not surprising, given the ethical objections to subjecting people to negative expectations. But what we do know is shocking. ...
...
The Golem Effect is a kind of nocebo: a nocebo that causes poor pupils to fall further behind, the homeless to lose hope and isolated teenagers radicalise. It also one of the insidious mechanismns behind racism, because when you're subjected to low expectations, you won't perform at your best, which further diminishes other’s expectations and thus further undermines your performance. ...
Page 258
Dan diakhir kita akan menemukan bab EPILOGUE : TEN RULES TO LIVE BY, yang berisi semacam ringkasan isi buku. Bab ini sangat saya sukai karena membantu saya untuk menyimpulkan ulang isi bukunya.
- When in doubt, assume the best
- Think in win-win scenarios
- Ask more questions
- Temper your empathy, train your compassion
- Try to understand the other, even if you don't get where they're coming from
- Love your own as others love their own
- Avoid the news
- Don't punch Nazis
- Come out of the closet: don't be ashamed to do good
- Be realistic
Buku ini membuka perspektif positif saya tentang masa depan umat manusia karena harapan yang saya miliki kini punya dasar yang lebih kuat, yakni dari studi dan riset yang dilakukan oleh Rutger Brugmen.
Siapa Rutger Bregman
Rutger Bregman adalah seorang sejarawan dan penulis di The Correspondent, ia salah satu pemikir muda paling terkemuka di Eropa. Buku terakhirnya, Utopia for Realists, adalah buku terlaris Sunday Times dan New York Times dan telah diterjemahkan ke dalam tiga puluh dua bahasa. Bregman tinggal di Belanda.
Sumber: Buku Humankind
Sejarawan dan penulis berusia 27 tahun ini telah menerbitkan empat buku tentang sejarah, filsafat, dan ekonomi. History of Progress-nya dianugerahi penghargaan Belgian Liberales untuk buku nonfiksi terbaik tahun 2013. Utopia for Realists edisi Belanda menjadi buku terlaris nasional dan memicu pergerakan pendapatan dasar yang segera menjadi berita utama internasional. Bregman telah dua kali dinominasikan untuk Penghargaan Pers Eropa yang bergengsi untuk pekerjaan jurnalismenya di The Correspondent. Karyanya telah ditampilkan di The Washington Post dan di BBC.
Sumber: Amazon. com
Rutger C. Bregman (lahir 26 April 1988) menerbitkan empat buku tentang sejarah, filsafat, dan ekonomi, termasuk Utopia for Realists: How We Can Build the Ideal World, yang telah diterjemahkan ke dalam tiga puluh dua bahasa. Karyanya telah ditampilkan di The Washington Post, The Guardian dan BBC. Dia telah digambarkan oleh The Guardian sebagai "Dutch wunderkind of new ideas" dan oleh TED Talks sebagai "one of Europe's most prominent young thinkers". TED Talk-nya, "Poverty Isn't a Lack of Character; It's a Lack of Cash", dipilih oleh kurator TED Chris Anderson sebagai salah satu dari sepuluh besar tahun 2017.
Bregman memperoleh gelar Bachelor of Arts dalam sejarah di Universitas Utrecht pada tahun 2009. Ia memperoleh gelar Master of Arts dalam sejarah pada tahun 2012, sebagian di Utrecht dan sebagian lagi di University of California, Los Angeles. Studi pascasarjananya terkonsentrasi di soal kota, negara bagian dan kewarganegaraan.
Bregman berpikir untuk menjadi sejarawan akademis, tetapi dia kemudian mulai bekerja sebagai jurnalis. Dia menulis secara teratur untuk jurnal online De Correspondent, dan dua kali dinominasikan untuk European Press Prize untuk karyanya di sana. Pada tahun 2013 ia menerima penghargaan buku tahunan dari lembaga think tank Liberales untuk buku non-fiksi berbahasa Belanda yang paling luar biasa, The History of Progress. Pada 2015 ia menulis esai untuk Bulan Filsafat bersama Jesse Frederik. Di masa mahasiswanya ia menjadi anggota himpunan mahasiswa Kristen SSR-NU.
Utopia for Realists (Buku)
Bagaimana Kita Dapat Membangun Dunia Ideal mempromosikan kehidupan yang lebih produktif dan adil berdasarkan tiga gagasan inti yang mencakup pendapatan dasar universal dan tanpa syarat yang dibayarkan kepada semua orang, minggu kerja singkat selama lima belas jam, dan perbatasan terbuka di seluruh dunia dengan pertukaran bebas warga negara antara semua negara. Ini pada awalnya ditulis sebagai artikel dalam bahasa Belanda untuk jurnal online De Correspondent.
Dalam wawancara dengan surat kabar Montreal Le Devoir pada September 2017, Bregman mengatakan bahwa "untuk bergerak maju, masyarakat membutuhkan mimpi, bukan mimpi buruk. Namun orang terjebak dalam logika ketakutan. Baik itu Trump, Brexit, atau pemilu terakhir di Jerman, mereka memilih menentang masa depan dan sebaliknya mencari solusi untuk menggantikannya, percaya bahwa masa lalu lebih baik berdasarkan pandangan dunia yang salah sepenuhnya: dunia lebih buruk sebelumnya ... Umat manusia meningkat, kondisi kehidupan, pekerjaan dan kesehatan juga. Dan inilah waktunya untuk membuka jendela pikiran kita untuk melihatnya. "
Buku-buku lain
Sebelum merilis Utopia for Realists, Bregman telah menerbitkan beberapa buku, termasuk History of Progress, di mana ia dianugerahi penghargaan Belgian Liberales untuk buku nonfiksi terbaik tahun 2013.
Pada tahun 2020, Bregman menerbitkan Humankind: A Hopeful History, di mana dia berpendapat bahwa manusia pada dasarnya sebagian besar baik, dan bahwa lebih banyak pengakuan atas pandangan ini kemungkinan akan bermanfaat bagi semua orang, sebagian karena akan mengurangi sinisme yang berlebihan. Misalnya, jika masyarakat kurang bersikukuh pada pandangan bahwa manusia secara alami malas, akan ada sedikit alasan untuk menentang penerapan langkah-langkah penanggulangan kemiskinan secara luas seperti pendapatan dasar. Buku ini mengambil pendekatan multidisiplin, mengambil dari temuan sejarah, ekonomi, psikologi, biologi, antropologi dan arkeologi. Argumen Bregman mencakup pernyataan bahwa dalam debat keadaan alamiah, Rousseau, daripada Hobbes, lebih tepat tentang kebaikan esensial umat manusia.
Artikelnya telah diterbitkan di The Guardian, The Washington Post, BBC, Evonomics, dan di The Conversation.
TED Talks
Dalam presentasi TED Talks, "Poverty Isn't a Lack of Character; It's a Lack of Cash", Bregman berpendapat bahwa pendapatan dasar universal sebagai solusi untuk mengakhiri kemiskinan.
Aktifitas lain
Pada Januari 2019, Bregman mengambil bagian dalam debat panel di Forum Ekonomi Dunia di Davos, di mana ia mengkritik acara tersebut karena fokusnya pada filantropi daripada penghindaran pajak dan perlunya perpajakan yang adil. Intervensinya dilaporkan secara luas dan diikuti di media sosial.
Menurut artikel 20 Februari 2019 di The Guardian, selama wawancara Februari 2019 di Amsterdam dengan pembawa berita dan jurnalis Fox News, Tucker Carlson setelah Davos, Bregman memberi tahu Carlson bahwa Amerika Serikat "dapat dengan mudah menindak tax paradise" jika mereka ingin dan Fox News tidak akan meliput cerita tentang penggelapan pajak oleh orang kaya. Dia mengatakan bahwa Carlson sendiri, telah mengambil "uang kotor" selama bertahun-tahun dari CATO Institute di mana dia menjadi rekan senior dan yang "didanai oleh miliarder Koch" —Charles Koch dan David Koch. Dia mengatakan bahwa Carlson dan pembawa berita Fox News lainnya adalah "jutawan yang dibayar oleh miliarder" —mengacu pada Murdochs dan, dalam kasus Carlson, Koch bersaudara. Bregman mengatakan kepada Carlson bahwa "apa yang Murdoch ingin Anda lakukan [di Fox News] adalah kambing hitam imigran daripada berbicara tentang penghindaran pajak". Carlson marah dengan komentar Bregman. Bregman memposting video wawancara tanpa pasangannya dengan Carlson di NowThis News di YouTube pada 20 Februari 2019. Pada Juli, video tersebut telah ditonton 2.349.846 kali.
Works
- Met de kennis van toe: actuele problemen in het licht van de geschiedenis (With the knowledge of back then : current problems in a historical light). Amsterdam: De Bezige Bij, 2012.
- De geschiedenis van de vooruitgang (The history of progress). Amsterdam, De Bezige Bij, 2013.
- Gratis geld voor iedereen: en nog vijf grote ideeën die de wereld veranderen. Amsterdam: De Correspondent, 2014. English translation: Utopia for realists, and how we can get there. (2014).
- Waarom vuilnismannen meer verdienen dan bankiers (Why dustmen deserve more than bankers), with Jesse Frederik. Rotterdam: Maand van de Filosofie, 2015.
- De meeste mensen deugen, een nieuwe geschiedenis van de mens. Amsterdam: De Correspondent, 2019. English translation: Humankind: a new history of human nature (2020).
- Het water komt: een brief aan alle Nederlanders (The water is coming : a letter to all Netherlanders). Amsterdam: De Correspondent, 2020.
Sumber: wikipedia
Rekomendasi
Buku ini saya rekomendasikan untuk teman-teman yang mencari jawaban akan seperti apakah nasib umat manusia di masa depan, mereka yang mengikuti seri Harari dan Factfullness kemungkinan juga cocok dengan buku ini. Banyak hal-hal menarik yang dibahas di buku Humankind, pemaparannya sistematis dan mudah dipahami meski padat informasi. Ada humor dan sentuhan emosional yang personal, yang terselip di sana-sini hingga tulisan Bregman terasa renyah dan dekat di hati.
-------------------------------------------------------------------------
Dipidiff.com adalah sebuah media edukasi yang menginspirasi melalui beragam topik pengembangan diri, rekomendasi buku-buku, dan gaya hidup yang bervibrasi positif.
Diana Fitri, biasa dipanggil Dipi, adalah seorang ibu yang gemar berkebun, dan rutin berolahraga. Gaya hidup sehat dan bervibrasi positif adalah dua hal yang selalu ia upayakan dalam keseharian. Sambil mengasuh putra satu-satunya, ia juga tetap produktif dan berusaha berkembang secara kognitif, sosial, mental dan spiritual.
Lulusan prodi Pemuliaan Tanaman Universitas Padjadjaran, Dipi lalu melanjutkan studi ke magister konsentrasi Pemasaran, namun pekerjaannya justru banyak berada di bidang edukasi, di antaranya guru di Sekolah Tunas Unggul, sekolah kandidat untuk International Baccalaureate (IB), dan kepala bagian Kemahasiswaan di Universitas Indonesia Membangun. Setelah resign tahun 2016, Dipi membangun personal brand Dipidiff hingga saat ini.
Sebagai Certified BNSP Public Speaker dan Certified BNSP Trainer, serta certified IALC coach, Dipi diundang oleh berbagai komunitas dan Lembaga Pendidikan untuk berbagi topik membaca, menulis, mereviu buku, public speaking, dan pengembangan diri, misalnya di Kementrian Keuangan, Universitas Negeri Semarang, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, BREED, Woman Urban Book Club, Lions Clubs, Bandung Independent School, The Lady Book Club, Buku Berjalan.id, SMAN 24 Bandung, SMAN 22 Bandung, dan lain-lain. Dipi juga pemateri rutin di platform edukasi www.cakap.com . Dipi meng-coaching-mentoring beberapa remaja dan dewasa di Growth Tracker Program, ini adalah program pribadi, yang membantu (terutama) remaja dan dewasa muda untuk menemukan passion dan mengeluarkan potensi mereka.
Berstatus bookblogger, reviu-reviu buku yang ia tulis selalu menempati entry teratas di halaman pertama mesin pencari Google, menyajikan ulasan terbaik untuk ribuan pembaca setia. Saat ini Dipi adalah brand ambassador untuk Periplus Bandung dan berafiliasi dengan Periplus Indonesia di beberapa event literasi. Dipi juga menjadi Official Reviewer untuk Republika Penerbit dan berpartner resmi dengan MCL Publisher. Kolaborasi buku-bukunya, antara lain dengan One Peach Media, Hanum Salsabiela Rais Management, KPG, Penerbit Pop, Penerbit Renebook, dan Penerbit Serambi. Reviu buku Dipi bisa dijumpai di www.dipidiff.com maupun Instagram @dipidiffofficial. Dipi host di program buku di NBS Radio. Dulu sempat menikmati masa dimana menulis drop script acara Indonesia Kemarin di B Radio bersama penyiar kondang Sofia Rubianto (Nata Nadia). Podcast Dipi bisa diakses di Spotify DipidiffTalks.
Let's encourage each other to shape a better future through education and book recommendation.
Contact Dipidiff at DM Instagram @dipidiffofficial
TERBARU - REVIEW BUKU
Review Buku The Quiet Tenant - Clémence …
23-08-2023 Dipidiff
National Best Seller One of The Most Anticipated Novels of 2023 GMA Buzz Pick A LibraryReads #1 Pick One of The Washington Post’s Notable Summer Books 2023One of Vogue’s Best Books of 2023One of Goodreads’s Most Anticipated Books...
Read moreReview Buku The Only One Left - Riley Sa…
23-07-2023 Dipidiff
Editor's Pick Best Mystery, Thriller & Suspense The Instant New York Times Bestseller Named a summer book to watch by The Washington Post, Boston Globe, USA Today, Oprah, Paste, Country Living, Good Housekeeping, and Nerd Daily Judul...
Read moreReview Buku Helium Mengelilingi Kita - Q…
14-06-2023 Dipidiff
Judul : Helium Mengelilingi Kita Penulis : Qomichi Jenis Buku : Sastra Fiksi, Coming of Age Penerbit : MCL Publisher Tahun Terbit : Maret 2023 Jumlah Halaman : 246 halaman Dimensi Buku : 14 x 20,5...
Read moreReview Buku Earthlings - Sayaka Murata
14-02-2023 Dipidiff
A New York Times Book Review Editors' ChoiceNamed a Best Book of the Year by the New York Times, TIME and Literary HubNamed a Most Anticipated Book by the New York Times, TIME, USA Today, Entertainment Weekly, the Guardian, Vulture, Wired, Literary Hub, Bustle, PopSugar, and Refinery29 Judul...
Read more