0

Review Buku Crying in H Mart - Michelle Zauner

Published: Monday, 22 August 2022 Written by Dipidiff

 

A Book of The Year in The Financial Times, Sunday Times, Stylist, New York Times, Washington Post, Time, and The Times of India, and on Pitchfork.com and Vulture.com

One of Barack Obama’s Favorite Books of 2021. The New York Times bestseller from the Grammy-nominated indie rockstar Japanese Breakfast.

 

Judul : Crying in H Mart

Penulis : Michelle Zauner

Jenis Buku : Biography

Penerbit : Pan Macmillan

Tahun Terbit : 2022

Jumlah Halaman :  256 halaman

Dimensi Buku : 19,70 x 12,90 x 1,90 cm

Harga : Rp. 220.000 *harga sewaktu-waktu dapat berubah

ISBN : 9781529033793

Paperback

Edisi Bahasa Inggris

Available at PERIPLUS BANDUNG Bookstore (ig @Periplusbandung, @Periplus_husein1 , @Periplus_husein2)

 

 

 

Sekelumit Tentang Isi

From the indie rockstar of Japanese Breakfast fame, one of TIME's Most Influential People of 2022, and author of the viral 2018 New Yorker essay that shares the title of this book, an unflinching, powerful memoir about growing up Korean American, losing her mother, and forging her own identity.

Michelle Zauner dikenal sebagai penyanyi dan gitaris yang menciptakan pop indie yang terinspirasi dari shoegaze dengan nama Japanese Breakfast. Dia telah memenangkan pujian dari outlet musik besar di seluruh dunia untuk rilis seperti Psychopomp dan Soft Sounds from Another Planet. Album ketiganya, Jubilee, dirilis pada tahun 2021 dan telah dinominasikan untuk dua Grammy. Crying in H Mart adalah buku pertamanya.

Dalam kisah indah tentang keluarga, makanan, kesedihan, dan ketahanan ini, Michelle Zauner membuktikan dirinya lebih dari sekadar penyanyi, penulis lagu, dan gitaris yang mempesona. Dengan humor dan hati, dia bercerita tentang tumbuh menjadi satu-satunya anak Asia-Amerika di sekolahnya di Eugene, Oregon; tentang perjuangannya mewujudkan harapan ibunya yang tinggi dan khusus padanya; tentang masa remaja yang menyakitkan; dan masa-masa berharga yang ia habiskan di apartemen kecil neneknya di Seoul, di mana dia dan ibunya menghabiskan waktu bersama, larut malam, di atas tumpukan piring makanan.

Ibunya kemudian didiagnosis kanker pankreas terminal, ketika Michelle berusia dua puluh lima. Michelle merenungkan ulang identitasnya dan memutuskan untuk kembali pada karunia rasa, bahasa, dan sejarah yang diberikan ibunya.

*amazon

 

 

Seputar Fisik Buku dan Disainnya

Yang saya tahu, buku ini diterbitkan dengan edisi sampul yang tidak hanya satu warna. Ada yang oranye dan ada pula yang kuning. Mungkin pula ada versi lainnya. Waktu pertama kali buku ini datang ke toko, edisi yang tersedia yang sampulnya warna oranye. Tapi saya baru tertarik membaca buku ini setelah melihat sampul yang kuning :D. Di luar urusan desain sampul, sebenarnya waktu itu saya sudah mengincar bukunya karena tergoda setelah tahu buku ini masuk jajaran bestsellernya New York Times begitu lamanya. Kan jadi penasaran...

 

Yang menarik dan atau disuka dari Buku ini


Pertama kali tau buku ini waktu dengerin sharing pengalaman baca buku mba Riska di Online Meet Up Cozy Corner Book Club. Yang saya ingat ini buku memoar, dan isinya banyak tentang makanan. *urusan makanan herannya langsung nempel di memori saya 😌. Sejak saat itu saya beberapa kali liat buku ini mondar-mandir di timeline, lalu bertengger di jajaran buku terlaris New York Times. Crying in H Mart jatuh juga ke pelukan (tbr) saya pada akhirnya.

H Mart adalah jaringan supermarket yang mengkhususkan diri dalam makanan Asia. H singkatan dari han ah reum, frasa Korea yang secara kasar diterjemahkan menjadi satu tangan penuh belanjaan. Sekarang saya jadi paham makna gambar di sampul buku ini.

H Mart is a supermarket chain that specializes in Asian food. The H stands for han ah reum, a Korean phrase that roughly translates to "one arm full of groceries." H Mart is where parachute kids flock to find the brand of instant noodles that reminds them of home. It's where Korean families buy rice cakes to make tteokguk, the beef and rice cake soup that brings in the New Year. It's the only place where you can find a giant vat of peeled garlic, because it's the only place that truly understands how much garlic you'll need for the kind of food your people eat. H Mart is freedom from the single-aisle "ethnic" section in regular grocery stores. They don't prop Goya beans next to bottles of sriracha here. Instead, you'll likely find me crying by the banchan refrigerators, remembering the taste of my mom's soy-sauce eggs and cold radish soup.
 


Membaca memoar ini memang bikin lapar (kongguksu, yaksik, jatjuk, pine porridge, dan masih banyak lagi) tapi lebih dari itu saya suka bagaimana Michelle bisa mendeskripsikan perasaan yang muncul berkaitan dengan makanan, bahwa makanan bukan cuma sekadar sesuatu yang dimasukkan ke mulut lalu dicerna, tapi makanan juga membangkitkan memori, memberikan kebahagiaan, memperkuat hubungan, dan bagian dari budaya. Masakan adalah bahasa cinta jelas terlihat dari interaksi Michelle dan ibunya. Di saat ibu marah besar sekalipun, selalu ada bekal atau makanan yang dimasakkan ibunya buat Michelle.

Food was how my mother expressed her love. No matter how critical or cruel she could seem - constantly pushing me to meet her intractable expectations - I could always feel her affection radiating from the lunches she packed and the meals she prepared for me just the way I liked them. 

Makanan juga mengingatkan pada rumah. Makanan bahkan bagian dari rumah, dan orang-orang banyak mencari "rumah" lewat makanan yang disiapkan dan dinikmati, lewat rasa masakannya, dan juga lewat bahan-bahannya.

We sit here in silence, eating our lunch. But I know we are all here for the same reason. We're all searching for a piece of home, or a piece of ourselves. We look for a taste of it in the food we order and the ingredients we buy. Then we separate. We bring the haul back to our dorm rooms or our suburban kitchens, and we re-create the dish that couldn't be made without our journey. 
Page 10



Saya menangkap rasa sedih dan duka yang dirasakan Michelle sejak ibunya sakit (kanker kolon) hingga setelah meninggal dunia. Ceritanya detail mulai dari kondisi ibunya hari ke hari, pengobatan yang dijalani, dan masa-masa krisis yang dihadapi. Ga heran kalo banyak pembaca jadi menitikkan air mata, dan no wonder judul bukunya sepilu itu "Crying in H Mart". Saat ibunya sakit, Michelle sampai mengukur asupan kalori gizi ibunya dengan teliti, dan dia juga kehilangan selera makan. Di masa ini ada konflik-konflik juga yang muncul. Cerita tentang ibunya yang sakit mengambil porsi yang banyak juga dalam memoar ini, salah satunya saat ibu Michelle ada di Korea.
 Kondisi ibu Michelle terus memburuk. Selain harus bedrest di tempat tidur lebih dari seminggu, ibunya juga demam tinggi, terengah-engah kesakitan. Perutnya kembung dan edema menjangkiti kakinya. Herpes memenuhi bibir dan pipi bagian dalam, lidahnya melepuh putih.

 

Salah satu momen sedih dalam cerita Michelle yang paling saya ingat adalah ketika ibunya melewati kemoterapi kedua yang gagal. Saat itu Michelle menangis, tapi tidak seperti biasanya ibunya tidak memarahinya. Justru ibunya mengucapkan "Gwaenchanh-a, gwaenchanh-a," yang artinya "Tidak apa-apa". Kata-kata Korea yang begitu akrab, yang meyakinkan bahwa rasa sakit apa pun yang ada akan berlalu. Bahkan saat sekarat, ibunya menawarkan Michelle pelipur lara. Bagi Michelle, ibunya adalah satu-satunya orang di dunia yang bisa meyakinkannya bahwa segala sesuatunya akan baik-baik saja. Badai akan berlalu pada akhirnya.

 


Di dalam buku juga diceritakan inspirasi musik Michelle yang pertama kali yang ternyata bermula dari DVD Yeah Yeahs live di Fillmore. Karen O adalah ikon pertama dari dunia musik yang diidolakannya. Karen O keturunan setengah Korea dan setengah kulit putih, sama seperti Michelle, dan ini
 membuatnya percaya bahwa mungkin saja seseorang sepertinya suatu hari nanti dapat membuat sesuatu yang berarti bagi orang lain. Lalu ada cerita lainnya juga, misalnya momen dimana dia bermain kacau saat jaming pertama dengan Nick Hawley.
 
Nevertheles, Karen O made music feel more accessible, made me believe it was possible that someone  like me could one day make something that meant something to other people. Fueled  by this newfound optimism, I began to badger my mother incessantly for a guitar. Having already sunk a hefty sum on a long list of extracurriculars I'd summarily abandoned, she was reluctant to oblige, but by Christmas she finally broke down, and at last I received a hundred-dollar Yamaha acoustic in a box from Costco.
Page 55

 

 
 
Duka yang dialami Michelle sepeninggal ibunya tercerminkan dalam tulisannya, misalnya saat dia bercerita ada rasa marah yang dia rasakan ketika pada suatu hari dia melihat ada seorang wanita tua Korea bersama anaknya yang sedang makan bersama. Mengapa si wanita ini bisa menyeruput mie jjamppong pedas dan ibunya tidak. Michele merasa didup ini tidak adil, dan menyalahkan orang lain secara tidak rasional. Kesedihan bagianya seperti sebuah ruangan tanpa pintu. Setiap kali dia teringat ibunya yang sudah meninggal, dia merasa seperti menabrak dinding berulang kali, mengingatkannya berulang kali pada kenyataan bahwa ibunya tidak akan pernah kembali.
 
If I'm being honest, there's a lot of anger. I'm angry at this old Korean woman I don't know, that she gets to live and my mother does not, like somehow my mother's age could still have a mother. Why is she here slurping up spicy jjamppong noodles and my mom isn't? Other people must feel this way. Life is unfair, and sometimes it helps to irrationally blame someone for it.
Sometimes my grief feels as though I've been left alone in a room with no doors. Every time I remember that my mother is dead, it feels like I m colliding with a wall that wont give. There's no escape, just a hard surface that I keep ramming into over and over, a reminder of the immutable reality that I will never see her again.




Dari sekian banyak makanan yang disebutkan di dalam buku, Jatjuk, Kongguksu dan Yaksik adalah menu yang paling menarik perhatian saya, lantaran makanan ini khusus disajikan buat orang yang sedang sakit karena sarat gizi dan mudah dicerna. Ibunya Michelle mengonsumsi ketiga menu ini untuk diet selama menjalani kemo. *langsung otw googling pas baca bagian ini 😊.

Kongguksu dibuat dari kedelai yang direndam semalaman (seharian) lalu dicampur dengan biji wijen dan air untuk membuat kedelai dingin dengan kaldu. Mie somen kemudian direbus, lalu dibilas di air dingin, dan disajikan dalam mangkuk degan irisan mentimun, dan guyuran kuah putih susu di atasnya. Rasanya simple dan pedas, mienya kenyal, kuahnya ringan dengan sedikit campuran kacang kedelai yang kasar. Sebuah hidangan yang pas untuk musim panas dan untuk yang sedang sakit dan mudah merasa mual. Yaksik dibuat dari nasi yang dicampur dengan madu lokal, kecap, dan minyak wijen, lalu ditambahkan pula kacang pinus, jujube, kismis, dan chestnut. Jatjuk adalah bubur kacang pinus yang biasa disajikan untuk untuk orang sakit karena mudah dicerna dan penuh nutrisi, dan Jatjuk adalah makanan yang langka karena kacang pinus sangat mahal harganya. Tekstur Jatjuk kental dan lembut dengan rasa kacang yang pas.

Kye had cooked the soybeans she'd soaked the night before and blended them with sesame seeds and water to make a cold soy with broth. She'd boiled somen noodles, rinsed them under the cold tap, and served them in a bowl with julienned cucumber, the milky white broth poured over top.
"What is it?" I asked
"This one is called kongguksu," Kye said.
...
I heard never heard kongguksu. My mother had never made it and I'd never seen it at a restaurant. Kye returned with a bowl for me and sat back down next to my mother. I took a bite. It was simple and clean with a nutty aftertaste. The noodles were chewy and the broth was light with small, coarse bits of blended soybean. the perfect dish for summer, and the perfect fish for my mother, who was easily nauseated by the scents and tastes she'd relished before her treatment.
 
...
 
In the evening, Kye used our rice cooker to make homemade yaksik. She mixed rice with local honey, soy sauce, and sesame oil, adding pine nuts, pitted jujubes, raisins, and chestnuts. She rolled the mixture out on a cutting board and divided the flattened cake into smaller squares. Fresh out of the rice cooker it was steaming and gooey. The colors were golden and autumnal, the jujubes a rich, dark red, the light-beige chestnuts framed by the bronze, caramelized rice. She brought it to my mother in bed with a mug of barley tea.
Page 96-97
 
 
 



Oh iya, di buku ini juga diceritakan awal mula Michelle bertemu Peter, suaminya. Rupanya yang naksir duluan itu Michelle ya, dan Peter ini cowok populer yang banyak disukai wanita karena tampan dan rendah hati *langsung cepet-cepet otw lagi googling fotonya Peter 😌. Michelle bertemu Peter saat berusia 30 tahun saat salah satu teman mereka mengadakan perayaan kelulusan sekolah. Malam itu ada acara karaoke dan Peter menyanyikan lagu Billy Joel "Scenes from a Italian Restaurant". Michelle yang belum pernah mendengar lagu itu jadi terkesan karena pilihan lagu Peter yang tidak biasa.



Buku ini adalah sebuah bacaan yang menurut saya cukup banyak bobot Koreanya. Dari buku ini saya mengenal beragam masakan (saking banyaknya sampe terasa seolah-olah adegannya makan lagi dan makan terus, auto bikin lapar). Salah satu menu yang saya ingat karena keunikannya adalah sannakji, menu dari gurita berlengan panjang yang dicocol ke gochujang dan cuka, lalu dikunyah hidup-hidup.
 
Upstair, our table filled immediately withbanchan dotting around the butane burner for our stew. The first dish to arrive was sannakji - live long-armed octopus. A plate full of gray-and-white tentacles wriggled before me, freshly severed from their head, every suction cup still pulsing. My mom took hold of one, dredged it through some gochujang and vinegar, placed it between her lips, and chewed. She looked at me and smiled, seeing my mouth agape
Page 22
 
 
 
Ternyata lewat mencoba beragam makanan, Michelle menemukan keberanian. Ini dia pahami ketika dia mencoba makan sannakji. Diceritakan oleh Michelle, bahwa ibunya ibunya sangat longgar dalam aturan tentang makanan. Michelle tidak pernah dipaksa untuk menghabiskan makanan, karena makanan harus dinikmati. Satu-satunya aturan adalah Michelle harus mencoba makan semua masakan paling tidak satu kali. Michelle awalnya melakukan itu untuk menyenangkan ibunya dan membuat bibinya terkesan. Sannakji ternyata rasanya asin, asam, manis, dan sangat kenyal. Melihat Michelle mencoba makan sannakji, bibi dan ibunya memuji keberaniannya. Ada rasa bangga yang Michelle rasakan saat itu, dan dari pengalaman itu ia menyadari bahwa menjadi anak yang baik mungkin butuh waktu diakui, tapi paling tidak dia bisa unggul dalam urusan keberanian. Sejak saat ini Michelle mencoba makan banyak masakan, misalnya steak tartare, sarden, siput yang dipanggang dengan mentega, teripang mentah, abalon, tiram yang disajikan di setengah cangkangnya, dan lain-lain. Momen makan bersama menjadi kenangan yang tak terlupakan bersama ibu dan ayahnya.
 
 
My family lauded my bravery, I radiated with pride, and something about that moment set me on a path. I came to realize that while I struggled to be good, I could excel at being courageous. I began to delight in surprising adults with my refined palate and disgusting my inexperienced peers with what I would discover to be some of nature's greatest gifts. By the age of ten I had learned to break down a full lobster with my bare hands and a nutcracker. I devoured steak tartare, pates, sardines, snails baked in butter and smothered with roasted garlic. I tried raw sea cucumber, abalone, and oysters on the half shell. At night my mother would roast dried cuttlefish on a camp stove in the garage and serve it with a bowl of peanuts and a sauce of red pepper paste mixed with Japanese mayonnaise. My father would tear it into strips and we'd eat it watching television together until our jaws were sore, and I'd wash it all down with small sips from one of my mother's Coronas.
 
 
Cerita ini buat saya semacam sebuah parenting unik keluarga Michelle. Orangtua Michelle tidak ada yang lulus kuliah, dan dia tidak dibesarkan dengan buku-buku, seni lukis, atau jalan-jalan ke museum dan pameran. Tidak ada piringan hitam atau sastra saat tumbuh dewasa. Atau sesi khusus pengenalan budaya Korea. Tapi sebagai gantinya orangtua Michelle menghadirkan beragam menu untuk dicoba dan dinikmati. Mereka membelanjakan uang untuk makanan lezat yang terbaik. Masa kecil Michelle kaya dengan rasa masakan, mulai dari sosis darah, usus ikan, hingga kaviar. Keluarganya suka dengan makanan enak, suka membuatnya, suka mencarinya, dan suka berbagi makanan juga. 
Neither one of my parents graduated from college. I was not raised in a household with many books or records. I was not exposed to fine art at a young age or taken to any museums or plays at established cultural institutions. My parents wouldn't have known the names of authors I should read or foreign directors I should watch. I was not given an old edition of Catcher in the Rye as a preteen, copies of Rolling Stones records of vinyl, or any kind of instructional material from the past that might help give me a leg up to cultural maturity. But my parents were worldly in their own ways. They had seen much of the world and had tasted what it had to offer. What they lacked in high culture, they made up for by spending their hard-earned money on the finest of delicacies. My childhood was rich with flavor - blood sausage, fish intestines, caviar. They loved good food, to make it, to seek it, to share it, and I was an honorary guest at their table.
Page 23
 

Ibunya Michelle memang 'unik' karena bereaksi berbeda ketika Michelle mengalami sesuatu yang buruk. Alih-alih menghibur dan menguatkan, ibunya cenderung menyalahkan Michelle dan tidak fokus pada solusi. Ini juga sebab mengapa hubungan mereka sempat memburuk ketika Michelle kecil dan remaja. Saat dewasa Michelle melihat ini sebagai kesempatan untuk introspeksi, tapi itu terasa beban dan menyakiti ketika usianya masih muda.

 

Di buku ini ada tentang nasihat "Save ten percent" dari ibunya Michelle yang menarik buat saya. Tidak peduli seberapa besar kita mencintai seseorang, atau dia mencintai kita, kita harus menyimpan sebagian diri kita sendiri untuk dijadikan sandaran.

 
No one in this world would ever love me as much as my mother, and she would never let me forget it.
"Stop crying! Save your tears for when your mother dies."
This was a common proverb in my household. In place of the English idioms my mother never learned, she coined a few of her own. "Mommy is the only one who will tell you the truth, because Mommy is the only one who ever truly love you." Some of the earliest memories I can recall are of my mother instructing me to always "save ten percent of yourself." What she meant was that, no matter how much you thought you loved someone, or thought they loved you, you never have all of yourself. Save 10 percent, always, so there was something to fall back on. "Even from Daddy, I save," she would add.
Page 18

 

Ada tentang permainan Korea bernama Godori yang diceritakan Michelle juga di buku ini. Godori tidak seperti permainan kartu lainnya yang para pemainnya bermain dalam suasana tentang, berpikir analisis, membaca strategi lawan, melakukan tipuan, dan menutup kemenangan dengan kepala dingin dan elegan. Di keluarga Michelle, Godori dimainkan dengan 'heboh' dan ramai. Permainannya keras dan cepat, kartu dilempar dengan kekuatan penuh seperti pukulan, ada teriakan dan seruan, epik.
Most evening, Halmoni would spread out her green felt blanket, grab her wallet, an ashtray, and a few bottles of soju and beer, and the women would play. Godori is not like other card games with their quiet moments of lead-up, analysis, sly reads, and cool headed reveals. At least in my family, the games were loud and fast, my godmother, Jaemi, extending her arm a full three feet in the air before slapping her card down full force like a Pog slammer, the red plastic back whipping onto the face of its companion with an epic SMACK. The women would shout "PPEOK!" and "JOH TAH!" after every move, clanking together small silver towers of Korean won that grew and shrank over time.
Page 29
 
 
Sudah lama juga saya menyimak soal isu kecantikan di Korea, hanya saya belum pernah membaca tepatnya seperti apa yang sebenarnya dipikirkan oleh orang-orang Korea. Ternyata di buku ini ada dibahas. Michelle bercerita tentang ibunya yang sangat memperhatikan kecantikan, bahkan sejak kecil ibunya selalu berusaha membentuk saya menjadi versi dirinya yang paling sempurna. Waktu Michelle kecil, ibunya mencubit hidungnya karena khawatir hidungnya terlalu datar. Pernah juga waktu Michelle di sekolah dasar, setiap pagi ibunya menginstruksikannya untuk memegang jeruji kepala tempat tidur dan menarik kaki Michelle dalam upaya untuk meregangkannya, karena ibunya khawatir Michelle terlalu pendek. Kalau Michelle berjalan membungkung, ibunya akan mendorong telapak tangan di antara tulang belikat Michelle dan memerintahkannya untuk meluruskan bahunya. Ibunya terobsesi dengan penampilan dan menghabiskan berjam-jam menonton QCV. Ibunya juga menelepon untuk memesan kondisioner pembersih, pasta gigi khusus, dan stoples lulur minyak kaviar, serum, pelembab, toner, dan krim anti-penuaan.
Ibunya juga bercerita ke Michelle bahwa orang Korea menyukai kelopak mata ganda, sebuah garis antara mata dan alis. Menurut ibunya Michelle, banyak wanita Korea menjalani operasi kecantikan.
 
Ada bagian-bagian dari kisah hidup Michelle yang saya yakin akan relate dengan banyak pembaca, diantaranya tentang hubungan yang tidak harmonis remaja peremuan dengan ibunya, yang dialami oleh Michelle.
Michelle juga pernah merasa aneh melihat ibunya tidak punya karir, tidak menekuni hobi, dan itu sempat membuatnya melihat ibunya sebagai sosok wanita yang tidak berdaya. Tapi ketika sudah mulai kuliah, Michelle baru menyadari arti rumah dan perjuangan ibunya membangun rumah untuknya dengan makanan yang selalu tersedia, dan dengan kehadiran ibunya yang dekat dengan kesehariannya.
 
 
 
... after I left for college, that I began to understand what it meant to make a home and just how much, I had taken mine for granted.
But as a teenager newly obsessed with my own search for a calling, I found it impossible to imagine a meaningful life without a career or at least a supplemental passion, a hobby. Why did her interest and ambitions never seem to bubble up to the surface? Could she truly be content as only a homemaker? I began to interrogate and analyze her skill set. I suggested possible outlets - courses at the university in interior design or fashion, maybe she could start a restaurant.
"Too much work! you know Gary's mom start her Thai restaurant - now she always running around! Never have time for anything.
"When I'm at school, what do you do all day?"
"I do a lot, okay! You just don't understand because you spoiled. When you move out of house you see everything Mommy do for you."

Lalu ketika ibunya sudah meninggal, Michelle baru tahu kalau ibunya memiliki karya seni, dan melihat karya seni itu membuat Michelle merasa mengenal sisi lain dari ibunya, teringat momen disaat ibunya bilang hal yang sama. Ia dan ibunya hidup begitu lama, melalui masa remaja tapi mengenal dan memahami satu sama lain tetap saja butuh proses dan waktu.
 
 

Seperti makanan, kecantikan adalah bagian integral dari budaya. Saat ini, Korea Selatan memiliki tingkat operasi kosmetik tertinggi di dunia, dengan perkiraan satu dari tiga wanita berusia dua puluhan telah menjalani beberapa jenis prosedur, dan benih dari keadaan itu tertanam dalam bahasa dan adat istiadat negara. Setiap kali seseorang berbuat baik atau membungkuk dengan benar kepada orang tua, kerabat akan mengatakan, "Aigo yeppeu," "Yeppeu," atau cantik sering digunakan sebagai sinonim untuk baik atau berperilaku baik dan perpaduan persetujuan moral dan estetika ini merupakan pengenalan awal nilai keindahan.
 
Dari sisi bahasa Korea, di buku ini ada satu hal menarik yang dibagikan Michelle berkaitan dengan pengucapan bahasa, yakni huruf Z pada Konglish. Konglish adalah perpaduan bahasa Korea dan Inggris yang mengikuti aturan pengucapan Korea. Karena tidak ada z dalam alfabet Hangul, kata bahasa Inggris yang mengandung huruf z diganti dengan suara j, jadi pizza menjadi peejah, 'amazing menjadi ama-jing, dan kata seperti keju, di mana s meniru suara z, menjadi chee-jeu. dalam hal ini, r diganti dengan l suara. "Keu-reem seu-peu," Sup krim.
"KEU-REEM SEU-PEU," I said quietly, sounding out the Konglish. For someone like me who was just barely literate, Konglish was a blessed free pass to a large bank of vocabulary. It's a fusion of Korean and English that obeys Korean rules of pronunciation. Since there is no z in the Hangul alphabet, English words that contain the letter z get replaced with a j sound, so pizza becomes peejah, 'amazing becomes ama-jing, and a word like cheese, in which the s emulates a z sound, become chee-jeu. in this case, r's were replaced with l sounds. "Keu-reem seu-peu," I whispered. Cream soup. The packet was bright orange and yellow and had a logo of a winking cartoon man licking his lips. 
Page 81

 

Ada kisah tentang 5 hewan yang ada di buku ini yang menarik buat saya juga. Dalam suatu perjalanan atau pelayaran ada 5 hewan yang menyertai, yakni singa, domba, monyet, sapi, dan kuda. Satu-persatu hewan-hewan ini harus disingkirkan, dan pilihan urutan menyingkirkan hewan ini mencerminkan prioritas dan kepribadian orang yang bersangkutan.
 
"Interesting," she said. "So, each of the animals symbolizes your priorities in life. What you get rid of first is what you think is least important; what you keep for the last is your highest priority. The lion represents pride, which you got rid of first."
"That makes sense," I said. "I was worried it'd eat the other animals, just like pride eats away at your other priorities. Like, you can't really love someone if you have too much pride, or work your way up to a good job if you feel everything is beneath you."
"The cow represents wealth, because you can milk it. The horse represents your career, because you can ride it through. The lamb is love, and the monkey is your baby."
Page 110

 

 

Saya jadi tau juga berbagai tempat di sana misalnya Samwon Garden, Gwangjang Market, Jeju Island dan lain-lain. Ada pula disebutkan tentang Korean bathup, serta beberapa kosakata Korea yang punya makna khusus. *otw googling lagi liat pulau Jeju yang famous sering muncul di film-film drakor populer.

 

Samwon Garden ternyata adalah tempat barbekyu mewah di Apgujeong, kalau di buku disebutkan seperti Beverly Heels of Seoul. Ada taman yang indah, dua air terjun buatan mengalir di bawah jembatan batu pedesaan dan ada kolam koi. Di dalam ruang makan ada meja-meja berat dari batu, masing-masing dilengkapi dengan panggangan arang kayu keras. Makanan disajikan dengan indah di atas meja, ada banchan, salad labu manis, jeli kacang hijau agar-agar dengan taburan biji wijen dan daun bawang, puding telur kukus, semangkuk nabak kimchi yang lembut, kubis layu dan lobak dalam air asin berwarna mawar. Menu penutupnya mie dingin naengmyeon, bisa pesan juga bibim, dicampur dengan gochujang, atau mul, disajikan dalam kaldu daging sapi dingin.  Pasar Gwangjang adalah salah satu lingkungan tertua di Seoul, lorong-lorong tertutup, labirin alam. Bibi penjual memakai celemek dan sarung tangan karet, melemparkan mie dan memotongnya, panci yang menggelegak untuk kalguksu, mangkuk untuk bibimbap, serta panekuk kedelai yang digiling dengan batu. Pasar Ikan Jagalchi, ramai dengan tenda-tenda yang ada baskom plastik merah dan saringan pirus cerah yang diisi tumpukan kerang. Ikan digantung di atas palet kayu yang diletakkan di trotoar basah. Air Terjun Cheonjiyeon di Pulau Jeju berarir jernih, mengalir ke kolam berbatudi bawahnya. Jalanan terjal di sepanjang dinding basal hitam, lalu pantai. Di sini bisa makan banyak makanan laut segar; nakji bokkeum, gurita tumis; maeuntang, sup ikan pedas; dan makanan khas Jeju, barbeque babi hitam yang dibungkus daun wijen. Tempat-tempat itu adalah tempat-tempat yang ingin ibunya kunjungi bersama Michelle sebelum dia meninggal, tempat-tempat yang ingin dia bawa kepada Michelle dalam umpayanya mengenalkan Michelle pada akar budaya yang ada di dalam keturunan mereka.
 
Di Korean bathup ada lemari kecil untuk meletakkan sepatu. Sepatu di lepas sebelum melangkah ke ruang ganti wanita. Pakaian diletakkan di loker dan diganti dengan jubah. Fasilitas yang didapatkan adalah scrub seluruh tubuh, lalu berendam selama setengah jam, disusul pijat dan gosokan dengan sabun sampai tubuh benar-benar bersih. Prosesnya memakan waktu kurang dari satu jam.

 

Diceritakan juga perbedaan konser di Amerika dengan Taipei, Taiwan, Beijing, dan Korea dilihat dari makanan yang dimakan 😁.  Di Amerika ada cemilan-cemilan khas yang dijual di pom bensin dan makanan-makanan cepat saji. Di Taipei, ada hidangan omelet tiram dan tahu bau di Pasar Malam Shilin. Di Taiwan ada mie daging sapi, mie tepung kenyal yang disajikan dengan potongan daging sapi rebus yang besar dan kaldu daging yang begitu kaya sehingga rasanya seperti saus. Di Beijingada hot pot pedas, irisan tipis daging domba, akar teratai yang renyah, dan batang selada air dalam kaldu yang mendidih dan berisi cabai dan merica Sichuan. Di Shanghai ada bambu yang penuh dengan pangsit sup, kaldu gurih dari kulitnya yang lembut. Di Jepang, ada ramen tonkutsu, takoyaki kukus yang diberi topping serpihan bonito dan wiski.

It was a stark contrast to what we usually ate on tour in North America, the long drives fueled by gas station snacks and fastfood chains. In Taipei we had oyster omelets and stinky tofu at Shilin Night Market and discovered what is arguably the world's greatest noodle soup, Taiwanese beef noodle, chewy flour noodles served with hefty chunks of stewed shank and a meaty broth so rich it's practically a gravy. In Beijing we trekked a mile in six inches of snow to eat spicy hot pot, dipping thin slivers of lamb, porous wheels of crunchy lotus root, and earthy stems of watercress into bubbling, nuclear broth packed with chiles and Sichuan peppercorns. In Shanghai we devoured towers of bamboo steamers full of soup dumplings, addicted to the taste of the savory broth gushing forth from soft, gelatinous skins. In Japan we slurped decades tonkutsu ramen, bit cautiously into steaming takoyaki topped with dancing bonito flakes, and get hammered on whisky highballs.


Ibu Michelle tidak mendukung karir musik yang Michelle jalani. Hubungan Michelle tidak harmonis dengan sang ayah. Paling tidak ada dua kali mental breakdown yang dialami Michelle selama hidupnya. Yang pertama dipicu gaya hidup tidak sehat dan karirnya yang mandeg, dan yang kedua karena duka trauma kehilangan ibunya.

Lalu bagaimana Michelle bangkit dari mental breakdown tersebut dan berhasil sukses dalam karirnya? Jawabannya adalah dengan menghabiskan hari-harinya dengan bekerja sampai luluh lantak, tapi kemudian dia juga konsul ke terapis dan minum obat. Dukungan ibunya juga membantunya untuk bangkit, dan ketika ibunya sudah tiada, Michelle mencoba memasak satu resep tiap hari sepulang kerja dengan melihat youtube Maangchi untuk healing. Dia juga membuat kimchi sebulan sekali sebagai terapi. Menarik ya 😊.

Michelle memasak awalnya karena harus mengurus rumah tangga. Dia lalu melihat youtube Maangchi untuk tutorial. Lalu kegiatan memasak ia mulai lagi ketika dia memberesi barang-barang ibunya dan merasa sedih lalu timbul keinginan untuk makan pine nut porridge yang mengingatkannya pada ibunya. Lagi-lagi dia melihat tutorial Maangchi di youtube. Di buku diceritakan proses memasaknya dengan rinci dan tergambarkan dengan jelas pula rasa senang saat masakan jadi dan perasaan sukses karena berhasil membuat masakan. Michelle mulai sering bermimpi tentang ibunya, dan dia mencoba masak untuk healing. Sepulang kerja dia mencoba 1 resep setiap harinya dan mulai membuat kimchi sebulan sekali sebagai terapi, dan membagi-bagikan makanan ke teman-teman. Dapurnya mulai penuh dengan stoples, masing-masing diisi dengan berbagai jenis kimchi dalam berbagai tahap fermentasi.

I started making kimchi once a month, my new therapy. I reserved an older batch for cooking stews, pancakes, and fried rice, and never batches for side dishes. When I had made more than enough to eat, I started pawning it off on friends. My kitchen began to fill up withmason jars - each stuffed full of different types of kimchi in various stages of fermentation.

 

Buat yang penasaran awal mula nama Japanese Breakfast seperti saya, di buku ini ada ceritanya. Nama ini rupanya didapatkan dari foto nampan kayu. Pada suatu malam Michelle melihat-lihat foto ini yang nampak rapi dengan fillet salmon panggang, miso, dan nasi putih. Ada foto ibu Michelle saat berusia dua puluhan di Seol yang menghiasi sampul.
Michelle ditawari pembukaan tur lima minggu di seluruh Amerika Serikat. Pada saat yang sama, sebuah esai yang telah ia tulis selama beberapa minggu di malam hari setelah bekerja, berjudul "Love, Loss, and Kimchi," terpilih sebagai esai majalah Galmour tahun ini. Hadiahnya termasuk publikasi di majalah, pertemuan dengan agen sastra, dan lima ribu dolar.
Michelle meninggalkan pekerjaannya di perusahaan periklanan, dan Psychopomp terus berkembang, memungkinkannya untuk mengejar musik penuh waktu untuk pertama kalinya.
About a year after Peter and I moved to Brooklyn, the little record I had written in the cottage at the bottom of my parents' property started to receive a surprising amount of attention. Funny enough, I released the album under the moniker Japanese Breakfast, a name I'd come up with years ago, up late one night browsing photographs of neat wooden trays set with perfectly grilled salmon fillets, miso, and white rice. A small label based in Frostburh, "Maryland, offered to put it out on vinyl. My mother's image graced the cover, and old photograph of her in her twenties in Seoul, wearing a white blazer and a ruffled shirt, posing with an old friend. I had two of her watercolors printed on the paper centers of the vinyl disc, the songs I'd written in her memory revolving about their poles.
 

 

Kesuksesan yang diraih Michelle selalu mengingatkannya pada ibunya yang selalu menuntut hal-hal baik datang kepadanya dan bahwa ibunya pasti merasa lega karena tahu Michelle sudah menemukan tempat di mana ia seharusnya berada.
If there was a god, it seemed my mother must have had her foot on his neck, demanding good things come my way. That if we had to be ripped apart right at our turning point, just when things were really starting to get good, the least god could do was make a  few of her daughter s pipe dreams come true.
She would have been so tickled to have seen the past few years, me dressed up and shot for a fashion magazine, watching the first South Korean director win an Academy Award, You Tube channels with millions of views dedicated to fifteen-step skin-care regimens. And though it felt contrary to my beliefs, I had to believe that she could. and that she was glad I finally found a place where I belonged.
Page 233
 
Btw, tidak seperti memoar pada umumnya, buku ini tidak ada halaman-halaman dokumentasi selain yang saya cantumkan di bawah ini. Sayang sekali ya, karena saya pribadi ingin melihat foto-foto Michelle Zauner dalam berbagai kesempatan.

 

Dokumentasi

 


Crying in H Mart bukan memoar yang rinci menceritakan perjalanan musik Michelle Zauner dengan Japanese Breakfastnya. Jauh bandingannya dengan buku memoar Mariah Carey yang fokus ke topik tersebut. Tapi dari menyimak buku sampai selesai kita jadi paham bagaimana ibunya Michelle memberikan pengaruh yang besar dalam karir Michelle saat ini. Unsur budaya Korea yang kental dengan profil Michelle yang blasteran Amerika menjadikan buku ini punya pembeda dan menarik untuk dibaca. Memoar ini kaya secara emosional, about food and memory, tentang kebingungan yang datang karena identitas biracial, perjalanannya menuju dewasa dan memahami diri dan banyak hal tentang kehidupan, hubungan Zauner dengan ibu Korea-nya yang sangat menuntut dan dukanya karena kehilangan sang ibu.

 

 

Siapa Michelle Zauner

Michelle Chongmi Zauner (lahir 29 Maret 1989) adalah penyanyi, musisi, sutradara, dan penulis Korea-Amerika. Dia paling dikenal sebagai vokalis dan penulis lagu dari band pop alternatif Japanese Breakfast. Memoarnya tahun 2021, Crying in H Mart, menghabiskan lebih dari 50 minggu dalam daftar buku terlaris New York Times. Pada tahun 2022, Time menobatkannya sebagai salah satu dari 100 orang paling berpengaruh di dunia, di bawah kategori Inovator.

Zauner lahir di Seoul, Korea Selatan, dan dibesarkan di Eugene, Oregon. Dia mulai bermain gitar pada usia 16 tahun pada tahun 2005 dan mulai tampil di malam mic terbuka di sekitar Eugene. Dia kuliah di Bryn Mawr College di Pennsylvania, di mana dia mengambil jurusan penulisan kreatif.

Pada tahun 2011, Zauner dan tiga musisi lainnya membentuk Little Big League, sebuah band emo berbasis di Philadelphia yang merilis dua album, These Are Good People (2013) dan Tropical Jinx (2014). Zauner, yang pada tahun 2013 mulai merilis musik dengan nama Japanese Breakfast, meninggalkan Little Big League pada tahun 2014 ketika dia kembali ke Eugene untuk merawat ibunya yang sakit. Pada tahun 2016, ia merilis album debut Japanese Breakfast, Psychopomp, yang berpusat pada kesedihan dan kematian ibunya. Album berikutnya, Soft Sounds from Another Planet, dirilis pada 2017. Album ketiga, Jubilee, ditunda setahun karena pandemi COVID-19, tetapi dirilis pada 2021 dan menjadi album pertama band yang masuk chart di Billboard 200, memuncaki di #56; dinominasikan untuk Grammy Award untuk Album Musik Alternatif Terbaik. Di bawah Japanese Breakfast, Zauner juga menulis soundtrack untuk video game 2021 Sable.

 

Rekomendasi

Buku ini saya rekomendasikan kepada pecinta memoar yang mencari kisah hidup musisi, penulis, atau tokoh keturunan dua ras, khususnya Korea dan Amerika. Kisah hidupnya ditulis dengan baik, emosional, khas, dan personal. Momen jatuh bangunnya tergambarkan dalam cerita dan sebagai pembaca kita bisa mengambil insight bagaimana cara bangkit dari keterpurukan dan berhasil meraih kesuksesan. Memoar ini tidak hanya menceritakan hal-hal yang positif, tapi juga yang negatif selayaknya kehidupan yang sesungguhnya. Relate dan manusiawi. Personally, karena saya tertarik dengan budaya dan masakan-masakan, kisah hidup Michelle Zauner semakin menarik untuk disimak. Secara proporsi, kronologis karir musik tidak begitu banyak dibandingkan cerita tentang hubungan ibu Michelle dan Michelle.

 

----------------------------

 

 

-------------------------------------------------------------------------


 

Dipidiff.com adalah sebuah media edukasi yang menginspirasi melalui beragam topik pengembangan diri, rekomendasi buku-buku, dan gaya hidup yang bervibrasi positif.

Diana Fitri, biasa dipanggil Dipi, adalah seorang ibu yang gemar berkebun, dan rutin berolahraga. Gaya hidup sehat dan bervibrasi positif adalah dua hal yang selalu ia upayakan dalam keseharian. Sambil mengasuh putra satu-satunya, ia juga tetap produktif dan berusaha berkembang secara kognitif, sosial, mental dan spiritual.

Lulusan prodi Pemuliaan Tanaman Universitas Padjadjaran, Dipi lalu melanjutkan studi ke magister konsentrasi Pemasaran, namun pekerjaannya justru banyak berada di bidang edukasi, di antaranya guru di Sekolah Tunas Unggul, sekolah kandidat untuk International Baccalaureate (IB), dan kepala bagian Kemahasiswaan di Universitas Indonesia Membangun. Setelah resign tahun 2016, Dipi membangun personal brand Dipidiff hingga saat ini.

Sebagai Certified BNSP Public Speaker dan Certified BNSP Trainerserta certified IALC coach, Dipi diundang oleh berbagai komunitas dan Lembaga Pendidikan untuk berbagi topik membaca, menulis, mereviu buku, public speaking, dan pengembangan diri, misalnya di Kementrian Keuangan, Universitas Negeri Semarang, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, BREED, Woman Urban Book Club, Lions Clubs, Bandung Independent School, The Lady Book Club, Buku Berjalan.id, SMAN 24 Bandung, SMAN 22 Bandung, dan lain-lain. Dipi juga pemateri rutin di platform edukasi www.cakap.com . Dipi meng-coaching-mentoring beberapa remaja dan dewasa di Growth Tracker Program, ini adalah program pribadi, yang membantu (terutama) remaja dan dewasa muda untuk menemukan passion dan mengeluarkan potensi mereka. 

Berstatus bookblogger, reviu-reviu buku yang ia tulis selalu menempati entry teratas di halaman pertama mesin pencari Google, menyajikan ulasan terbaik untuk ribuan pembaca setia. Saat ini Dipi adalah brand ambassador untuk Periplus Bandung dan berafiliasi dengan Periplus Indonesia di beberapa event literasi. Dipi juga menjadi Official Reviewer untuk Republika Penerbit dan berpartner resmi dengan MCL Publisher. Kolaborasi buku-bukunya, antara lain dengan One Peach Media, Hanum Salsabiela Rais Management, KPG, Penerbit Pop, Penerbit Renebook, dan Penerbit Serambi. Reviu buku Dipi bisa dijumpai di www.dipidiff.com maupun Instagram @dipidiffofficial. Dipi host di program buku di NBS Radio. Dulu sempat menikmati masa dimana menulis drop script acara Indonesia Kemarin di B Radio bersama penyiar kondang Sofia Rubianto (Nata Nadia). Podcast Dipi bisa diakses di Spotify DipidiffTalks.

Let's encourage each other to shape a better future through education and book recommendation.

Contact Dipidiff at DM Instagram @dipidiffofficial

 

 

 

TERBARU - REVIEW BUKU

Review Buku The Quiet Tenant - Clémence …

23-08-2023 Dipidiff - avatar Dipidiff

  National Best Seller One of The Most Anticipated Novels of 2023 GMA Buzz Pick A LibraryReads #1 Pick One of The Washington Post’s Notable Summer Books 2023One of Vogue’s Best Books of 2023One of Goodreads’s Most Anticipated Books...

Read more

Review Buku The Only One Left - Riley Sa…

23-07-2023 Dipidiff - avatar Dipidiff

    Editor's Pick Best Mystery, Thriller & Suspense The Instant New York Times Bestseller Named a summer book to watch by The Washington Post, Boston Globe, USA Today, Oprah, Paste, Country Living, Good Housekeeping, and Nerd Daily Judul...

Read more

Review Buku Helium Mengelilingi Kita - Q…

14-06-2023 Dipidiff - avatar Dipidiff

  Judul : Helium Mengelilingi Kita Penulis : Qomichi Jenis Buku : Sastra Fiksi, Coming of Age Penerbit : MCL Publisher Tahun Terbit : Maret 2023 Jumlah Halaman :  246 halaman Dimensi Buku : 14 x 20,5...

Read more

Review Buku Earthlings - Sayaka Murata

14-02-2023 Dipidiff - avatar Dipidiff

A New York Times Book Review Editors' ChoiceNamed a Best Book of the Year by the New York Times, TIME and Literary HubNamed a Most Anticipated Book by the New York Times, TIME, USA Today, Entertainment Weekly, the Guardian, Vulture, Wired, Literary Hub, Bustle, PopSugar, and Refinery29   Judul...

Read more

TERBARU - STORIES OF PLACES

Tomoro Coffee (a Story)

11-09-2024 Dipidiff - avatar Dipidiff

  Bandung sudah mulai masuk musim penghujan, setidaknya begitulah kelihatannya, karena dua hari ini hujan turun menjelang sore atau malam hari. Cuaca juga cenderung mendung dan syahdu. Cocok untuk ngopi di...

Read more

Woodyland Eatery Bandung (a Story)

23-07-2024 Dipidiff - avatar Dipidiff

    Tak terasa Juli 2024 tiba. Saya masih ingat begitu susahnya mengatur jadwal untuk sekadar ngopi di cafe atau resto bersama teman. Agenda yang satu ini memang salah satu yang paling...

Read more

Kalpa Tree di Ciumbuleuit Bandung (a Sto…

11-08-2022 Dipidiff - avatar Dipidiff

Airy, stylish international restaurant with glass walls, plants & wine, plus a pool & garden.   Baru kemarin, Rabu tanggal 10 Agustus 2022 saya ke Kalpa Tree dalam rangka meeting. Sebenarnya ini...

Read more

Marka Cafe + Kitchen (a Review)

16-10-2019 Dipidiff - avatar Dipidiff

  Untuk mereka yang biasa ngafe atau duduk-duduk nongkrong sambil menikmati kopi pasti sudah kenal kafe yang satu ini. Saya juga tahu Marka cafe karena diajak partner saya ngobrol-ngobrol tukar pikiran...

Read more

Cafe Nanny's Pavillon (a Review)

27-07-2019 Dipidiff - avatar Dipidiff

  "Do what you love, love what you do". Saya masih ingat sekali menggunakan kutipan itu untuk caption instagram saya waktu posting foto Nanny's Pavillon. Tapi benar ya, rasanya hari itu...

Read more

The Warung Kopi by Morning Glory (a Stor…

28-03-2019 Dipidiff - avatar Dipidiff

  Setengah ga nyangka dan setengah takjub juga begitu nemu kafe asyik kayak begini di wilayah Bandung Timur. Maklum sudah keburu kerekam di memori otak kalau kafe-kafe cozy adanya cuma di...

Read more

TERBARU - SELF EDUCATION

10 Tips Mengatasi Kesepian

05-12-2021 Dipidiff - avatar Dipidiff

  Apakah kamu akhir-akhir ini merasa kesepian? Rasa sepi ini ga cuma hadir saat sendiri, tapi juga di tengah keramaian, atau bahkan saat bersama orang-orang terdekat. Ada sebuah rasa hampa yang...

Read more

Tentang Caranya Mengelola Waktu

11-08-2021 Jeffrey Pratama - avatar Jeffrey Pratama

  “Seandainya masih ada waktu...” Berani taruhan, diantara kita, pasti pernah berkomentar seperti di atas, atau yang mirip-mirip, minimal sekali seumur hidup. Waktu merupakan satu-satunya sumber daya yang tidak dapat diproduksi ulang. Apa...

Read more

Cara Membuat Perpustakaan Pribadi di Rum…

25-09-2020 Dipidiff - avatar Dipidiff

  Perpustakaan sendiri punya kenangan yang mendalam di benak saya. Saya yakin teman-teman juga punya memori tersendiri ya tentang library. Baca juga "Arti Perpustakaan Bagi Para Pecinta Buku" Baca juga "Perpustakaan Luar...

Read more

The Five Things Your Website Should Incl…

17-08-2019 Dipidiff - avatar Dipidiff

  Website dan blog adalah portal wajib perusahaan masa kini. Penyebabnya tentu saja adalah kemajuan teknologi seperti internet dan gadget. Jaman sekarang memiliki bisnis tak harus memiliki bangunan fisik, cukup dengan...

Read more