0

Review Buku Hayya - Helvy Tiana Rosa & Benny Arnas

Published: Monday, 19 December 2022 Written by Dipidiff

 

Judul : Hayya

Penulis : Helvy Tiana Rosa & Benny Arnas

Jenis Buku : Fiksi Religi

Penerbit : Republike Penerbit

Tahun Terbit : Juni 2022

Jumlah Halaman :  294 halaman

Dimensi Buku : 14 x 3 x 21 cm

Harga : Rp. 90.000*harga sewaktu-waktu dapat berubah

ISBN : 978-623-279-142-8

Softcover

Bahasa Indonesia

Tersedia di Bukurepublika.id

 

 

Sekelumit Tentang Isi

Rahmat seperti menemukan kembali sosok adik yang telah lama meninggal pada diri Hayya, anak Palestina yang ia temui di Aqsa saat ia menjadi relawan di negara yang dijajah Zionis itu. Namun kini waktunya telah habis, sesayang apa pun dia pada gadis kecil itu, ia kini harus meninggalkannya. SIapa sangka takdir punya rencana sendiri untuk keduanya? Buku ini akan membuat kita mempertanyakan hukum, nurani, dan rasa kemanusiaan yang kita punya, dan untuk terus menyebut Palestina dalam doa.

Sumber: Buku Hayya

 

Rekomendasi

Novel ini saya rekomendasikan kepada para pecinta genre fiksi religi yang mengangkat isu kemanuasiaan, adopsi anak dari wilayah konflik, dan anak-anak korban kekejaman perang. Hayya adalah bacaan ringan, kemungkinan besar bukan buat pembaca yang mengharapkan kedalaman konflik dan isu yang digarisbawahi di dalam cerita. Sebuah bacaan yang menghibur, memberikan wawasan, dan menyadarkan kita kembali pada nasib saudara-saudara seiman kita di Palestina. Ada humor di sana-sini, dan terasa moviable karena novel ini memang diadaptasi seperlunya dari skenario film.

 

 

 

This Book Review Might Have Spoiler!

 

Tokoh dan Karakter

- Adin Abdul Hakim, 29 thn lajang
- Rahmat Assyraf Pranaja, 31 thn
- Afifah
- Hayya Qasim binti Atta Hisyam.
- Pak Wildan
- Pak Haidar
- Kiai Zainal
- Ria Yunita
- Pak Somat 
- Bi Nurul
- Yasna
- Abrar
 
Dua tokoh utama di novel ini adalah Rahmat dan Adin dengan situasi yang melibatkan tokoh Hayya sebagai konflik utamanya. 
 
Rahmat, seorang jurnalis yang baru saja 'hijrah' tengah berada di Palestina. Selama di sana Rahmat dekat dengan seorang gadis kecil bernama Hayya yang dia sayangi seperti adik sendiri. Karakter Rahmat memang penyayang dan "tidak tegaan". Tapi apa daya, situasi membuatnya harus meninggalkan Hayya di sana. Di satu sisi tokoh Rahmat sangat mungkin dinilai sebagai seseorang yang ceroboh, kurang bijak, dan nekad. Tapi di sisi lain Rahmat juga bisa dipuji karena mengutamakan sisi kemanusiaan. Adin, sesama jurnalis yang juga sahabat baik Rahmat justru lebih logis cara berpikirnya, tapi dia terbentur pada kesetiaan persahabatan.
 
Rahmat punya konflik internal yakni trauma masa lalu saat adiknya yang dicintainya meninggal karena kecelakaan. Orangtua Rahmat sampai mengirimnya ke pesantren dengan harapan Rahmat bisa mengatasi rasa dukanya di sana dengan mendekatkan diri kepada agama. Itulah sebabnya Rahmat sangat sulit untuk berpikir logis ketika rasa sayang seperti adik sendiri ia rasakan ke diri Hayya. Selain itu, meski Rahmat tahu hukum internasional sangat berat berkaitan dengan anak dari negara berkonflik, tapi dia merasa bahwa semua manusia punya hak untuk hidup, untuk mencari tempat dan sumber kebahagiaan yang lebih baik.
 
Gue ceritain bagaimana kecelakaan yang membuat lu dikirim ke pesantren saat lu baru beranjak remaja. Gue juga cerita, bagaimana sayangnya lu pada adik perempuan bungsu lu yang tewas dalam kecelakaan itu. Gue juga cerita tentang kedekatan lu --"
"Kedekatan gue dengan Yasna juga?"
Adin menggeleng pelan, "Kedekatan lu dengan Aisyah, anak panti yang diasuh Yasna."
Rahmat diam. Menunduk
Halaman 29
 
"Balikin nih anak ke negaranya, Mat."
Rahmat menggeleng. "Tidak semudah itu, Ferguso!"
"Eh tapi dia bukan WNI!"
"Tapi dia manusia!" Rahmat berteriak.
Adin terdiam.
"Semua manusia punya hak untuk hidup. Untuk mencari tempat dan sumber kegembiraan yang lebih baik."
"Lu nggak mikir bagaimana lelahnya Pak Wildan saat ini? Lelah psikologis karena Mesir dan Jordania tampaknya akan mem-black list Hubbu dari daftar organisasi kemanusiaan yang diperkenankan membaut kamp bantuan di Palestina. Lelah biologis karena bolak-balik cari nih anak. Nanti kalau merembet juga ke Aman Palestin gimana?
Halaman 127
 
 
Kalau kita berada di posisi Rahmat, seperti apa keputusan kita ya? Dilematis tentunya.
 
Di buku ini Hayya digambarkan sebagai gadis kecil berambut sebahu agak pirang dengan mata cokelat yang celik. Latar belakang kisah hidup Hayya sangat sedikit dielaborasi dan hanya disebutkan kalau ia diungsikan dari Gaza ke Tepi Barat sejak usia 5 tahun, yakni setelah ditinggal meninggal oleh kakak sulungnya yang tertembak peluru nyasar waktu dia berusia 3 tahun. Hayya mengalami trauma sehingga murung, tidak bicara, hingga Rahmat datang ke kamp.
 
 
Katanya, ada salah seorang anak perempuan yang sejak bayi udah tinggal dengan kakak sulungnya. Anak 5 tahun itu sejak diungsikan dari Gaza ke Tepi Barat, selalu murung. Afifah bahkan mengira dia sudah lupa caranya tersenyum.
..
Hayya cerita ke Afifah kalau setiap kali melihat dan bermain dengan lu, dia merasa bersama kakak sulungnya yang syahid akibat peluru nyasar. Hayya menyaksikan langsung kakaknya terjatuh dan meregang nyawa di pangkuannya. Petang itu almarhum sedang mengajaknya berjalan-jalan. Lokasinay di pasa Jabalia, sekitar 2 tahun lalu. Menjelang 2 tahun, otak kita sudah bisa merekam kejadian apa pun. Usia Hayya tiga tahunan waktu itu."
..
Dan kata Afifah, dalam kehidupan Hayya yang gersang selama ini, lu seperti musim semi yang menumbuhkan daun dan memekarkan bunga-bunga di jiwanya.
Halaman 32

 

Khusus penokohan saya suka mengamati bagaimana gaya bicara beberapa tokoh ternyata berbeda antara satu dengan yang lainnya sehingga terasa personalitinya, misalnya tokoh Ria yang berlogat Malaysia, Adin dan Rahmat yang 'lo gue', dan Kiai Zainal yang berlogat Betawi.

 

Alur dan Latar

Pov 3, prolog di masa kini yang kemudian mundur ke masa lalu dan maju sedang-cepat hingga tiba ke masa kini. Latar di Ciamis, kamp logistik Bersbeya, Masjidil Aqsa, Ramallah, kantor berita Republik, rumah di Jakarta, panti asuhan Budi Mulia, Asher Vinner Street, Ramallah, hornet penginapan, Derech HaoFel Street, dll. 
 
Salah satu lokasi yang saya ingat adalah Derech HaOfel Street yang di dalam buku digambarkan sebagai jalan yang padat dengan rumah-rumah menyerrupai kubus-kubus beton tanpa cat yang disusun berundak. Lingkungan monokrom, dengan rumput-rumput yang hanya tumbuh sedikit saja di sela rumah dan bangunan. Area ini remang-remang, toko-toko yang ada tutup begitu malam menjelang.
 
Sekeluar lingkungan Aqsa, Rahmat dan Adin memutuskan menyusuri Derech HaOfel Street, jalan sekunder yang memanjang dari simpang Ma'a lot Ir David Street hingga akhirnya bertemu Derekh Yerikho Road yang lebih lebar. "Tar kita kena jam malam, Bro," ujar Adin khawatir.
Rahmat bergeming.
Rumah-rumah di kanan jalan, yang mengarah ke City of David, menyerupai kubus-kubus beton tanpa cat yang disusun berundak. Rerumputan yang tumbuh di sela rumah dan bangunan, seperti ingin menyesuaikan lingkungan yang monokrom, meranggas cokelat berselimut debu. Dengan penerangan ala kadar dari beberapa tiang listrik yang berdiri dalam jarak yang jauh dari tertata, permukiman -- yang membuat Derech HaShiloah Street di timur tak tertangkap pandang -- itu memancarkan kesan sepia yang pekat. Beberapa toko yang menjual minuman dan makanan masih menerima pembeli walaupun pemiliknya sudah memadamkan sebagian lampu di dalam dan berdiri di dekat pintu sebagai kode kalau toko akan segera ditutup. Begitu para pembeli terakhir menyelesaikan transaksi, semua lampu dipadamkan dan pintu ditutup. Karena malam yang dingin, sebagian pembeli dan satu-dua warga yang berada di jalan melilitkan syal di leher dan kupluk atau kain bahan wol yang melilit kepala, persis dengan apa yang Adin dan Rahmat kenakan malam itu.
Toko-toko yang ada memang kebanyakan menjual makanan dan minuman. Gandum dan roti mendominasi. Air mineral dibanderol cukup mahal. Karena Palestina sendiri belum memiliki mata uang resmi, dinar Jordania, pound Mesir, dan shekel Israel-lah yang beredar dan berlaku di tengah-tengah masyarakat.
Tiga puluh meter di depan, di bawah lampu jalan yang paling terang, beberapa pemuda dengan taksiran usia 20 tahunan berkumpul, duduk di atas kursi dari bahan kombinasi besi dan plastik, melingkari meja petak yang ukurannya tidak proporsional, terlalu kecil untuk delapan kursi yang ada. 
Halaman 38
 
 

Yang menarik dan atau disuka dari Buku ini


Buat saya isu yang diangkat novel ini sangat menarik, tentang anak-anak korban perang (khususnya korban kekejaman Israel) dan hukum adopsi anak wilayah konflik. Tapi novel ini sendiri tidak seserius itu tone-nya. Justru style-nya dramatisasi film, cocok untuk pembaca yang suka film drama religi dengan unsur komedi, dan mungkin akan kurang tepat untuk yang berharap menemukan bacaan yang lebih berat, serius, emosional, dan mendalam. Buat saya pribadi, hal ini sama sekali tidak mengherankan atau mengejutkan karena dari awal sudah membaca sebuah kalimat, "Diadaptasi dengan pengembangan seperlunya dari skenario film Hayya yang ditulis Jastis Arimba dan Ali Eunoia," yang membuat ekspektasi saya langsung mengarah ke tipe-tipe cerita yang 'movieable'

Meski humor cukup kental di sepanjang cerita, tapi saya bisa menarik beberapa poin bagus yang memicu kontemplasi. Misalnya, adegan dimana Rahmat dan Adin yang sangat geram dengan ketidakadilan yang terjadi di Palestina saat mereka awal-awal tiba di sana, dimana Israel menguasai perekonomian dan Palestine dipaksa hidup di bawah standard. Rahmat dan Adin terus-terusan menggerutu dan mengutuk Israel, tapi di satu titik mereka paham bahwa terus-terusan geram juga tidak membawa hasil apapun, dan akan jauh lebih baik menggunakan waktu dan energi untuk fokus pada apa yang bisa dilakukan, untuk memperbaiki keadaan. Good point, thought provoking.
 
Seperti kata Pak Wildan di hari pertama, mereka juga memanfaatkan waktu yang ada untuk menapaktilasi daerah Tepi Barat. Adin dan Rahmat juga baru ngeh kalau Tepi Barat adalah wilayah Palestina yang sangat subur. Di sini, citra barat Asia yang tandus dan gersang tak lagi menempel. Sembilan puluh persen pertanian Palestina tumbuh dan berkembang di sini. Sekitar delapan persen di Jalur Gaza. Sisanya yang tak sampai dua persen menyebar di beberapa wilayah yang masih dikuasai Palestina. Perkebunan tin, anggur, dan gandum yang dimiliki dan dikelola penduduk Palestina menghampar hijau di sini. Ketika Pak Wildan membawa mereka ke Hebron Road dan berkenalan dengan Abdul Qadir, seorang remaja 18 tahun yang menjual hasil pertanian bapaknya, ceritanya membuat mereka pilu sekaligus geram.
Di Ramallah, keluarga Qadir hanya mendapat pasokan listrik 4 jam per hari. Praktis, mereka hanya mengandalkan kesuburan tanah Tepi Barat yang letaknya berdampingan dengan Laut Mati dan bagian barat Sungai Jordan. Mereka tak bisa memanfaatkan mesin atau peralatan untuk mengolah hasil panen agar memiliki nilai ekonomi lebih, sebab semuanya membutuhkan listrik. Jadi, selain dijual di pasar, sebagian akan dibeli Israel untuk dioleh dan dijual dengan harga jauh lebih tinggi. Yaaa, bangsa Palestina yang ingin makan roti selai nenas tentu akan membeli produk yang sudah bermerk Israel meskipun mereka tahu persis, kalau selai itu bahan bakunya berasal dari kebun sendiri!
"Bagaimana?" Pak Irwan yang sedang mengecek relawan menoleh ke arah kedua pemuda itu usai Pak Wildan memberikan penjelasan. "Sebelas-dua belas dengan Indonesia, ya?" Kali ini laki-laki yang selalu bercelak itu nyengir, memandang mereka dengan air muka siap tertawa.
Kegeraman bertambah ketika napak tilas itu mempertemukan mereka dengan perumahan dan gedung mewah di Yerusalem Timur. "Itu milik Yahudi?" tanya Rahmat geram. Adin merasakan gelegak kemarahan yang sama di kepalanya.
"Komunitas internasional menganggap pemukiman Israel di Tepi Barat, termasuk Yerusalem Timur, ilegal. Hukum internasional pun menganggapnya begitu," beber Pak Wildan.
"Trus?" serobot Adin cepat.
"Ya Israel masa-bodoh. Mereka membantahnya. EGP, kalau bahasa anak gaulnya!"
Maka, saban kembali ke hornet, Adin dan Rahmat selalu membawa kegeraman dan menumpahkannya di percakapan menjelang tidur.
"Menurut lu, relawan yang lain bagaimana ya perasaannya dengan apa yang mereka lihat langsung di Tepi Brat?" tanya Rahmat di hari ke-17 sebelum kemudian melempar tubuhnya di kasur.
"Iyaaa mungkin awal-awalnya sama kayak kita, Mat. Tapi... karena sudah sering bolak-balik ke sini, mereka jadi lebih paham. Lebih kalem."
"Jadi, makin sering ke sini, maksud lu mereka ga peka lagi?" Suara Rahmat meninggi. "Lu --"
"Santai, Bro!" Adin yang baru saja menyelonjorkan kaki di kasur pun refleks bangun, duduk menghadap Rahmat. "Maksud gue, rutinitas mengembang tugas kemanusiaan membuat mereka akhirnya paham, kalau mengutuk dan kesal berkepanjangan gak ada gunanya. Mereka fokus pada apa yang mereka bisa lakukan untuk kemanusiaan, untuk Palestina!"
Halaman  22-24
 
Atau tentang siasat pemuda Palestina yang berusaha mengelabui Israel dengan 'pura-pura' larut dalam hobi musik dan seni lainnya, karena mereka tahu Israel memasang mata dan telinga di mana-mana. Majelis-majelis perjuangan diadakan diam-diam dan diselenggarakan di waktu dan tempat yang tidak teredus Israel. 
 
"Orang-orang Palestina sadar benar kalau Israel memasang mata dan telinga di mana-mana. Entah siapa yang memulai, tapi kata Pak Wildan, semuanya diawali semacam seruan dan pemberitahuan berantai gitu, bahwa percakapan di ruang publik seminim mungkin menyentuh topik perjuangan kemerdekaan Palestina. Selain tindakan itu sama dengan bunuh diri dalam situasi yan tidak menguntungkan begini, pembicaraan terkait perang memang lebih efektif dilakukan di majelis rahasia. Masak nyusun strategi di depan musuh! Begitu analoginya. Anyway, tentang kegemaran dan hobi para pemuda Palestina yang baru saja kita dengar tadi, itu bukan hoax!"
"Nah, apa lagi ini?"
"Ya, sebagaimana anak-muda umumnya, Bro. Mereka juga suka musik dan olahraga, tapi... apa itu akan membuat luntur militansinya untuk memperjuangkan tanah air, tentu saja gue berani ajwab: tidak! Perkembangan zaman perlu mereka ikuti untuk membuat musuh percaya kalau mereka (terutama penduduk Palestina yang berkecukupan dan tidak mengungsi) tidak terlalu memikirkan perang dan saudara-saudara mereka yang hidup di bawah tenda. Mereka memiliki majelis-majelis rahasia yang diselenggarakan di waktu dan tempat yang tidak terendus Israel. Permukiman yang padat dan banyaknya bangunan yang roboh, dalam beberapa urusan, menjadi berkah bagi pejuang. Pergerakan mereka jadi tersamarkan atau tidak tampak mencolok dan menarik perhatian."
Adin mengangguk-angguk yakin. "Fahim?"
"Na'am," jawab Adin cepat. "Gue mengerti sekarang betapa rumitnya situasi kayak gini. Kita di Indonesia itu udah kayak di sorga ya, Mat. Semua serba-safe dan buat kita leluasa ngelakuin apa aja. Meskipun itu malah lebih banyak buat kita salah langkah, plus masih juga kagak bersyukur!"
Halaman 46
 
Buku ini membuat saya penasaran denga beberapa hal seperti gulistan yang disebutkan sebagai taman bunga dalam Kitab Syeikh Musliuddin Sa'di Shirazi. Dari riset sederhana di google ternyata Gulistan adalah salah satu buku yang ditulis oleh Syeikh Musliuddin, Gulistan artinya taman bunga mawar, buku ini berisi prosa dan puisi yang indah. Saya sendiri belum membaca bukunya hingga saat ini. 
 
Di mata Rahmat, dataran berbatu dan bangunan-bangunan roboh di Ramallah menjelma gulistan, taman bunga dalam kitab adikarya Syeikh Musliuddin Sa'di Shirazi yang telah dikhatamkannya berkali-kali.
Halaman 34
 
 
Ada pula Sahlab, minuman khas Palestina yang saya baru tahu setelah membaca novel Hayya. Disebutkan bahwa Sahlab itu bertekstur mirip krim dengan taburan kacang dan bubuk kayu manis. Sekilas imajinasi saya malah melenceng ke es krim yang manis dengan krim sebagai topping. Penampakan hasil browsing di internetnya ternyata sangat menggiurkan :D, tapi entahlah dengan rasanya di lidah saya yang nusantara ini.
 
Sahlab -- minuman khas setempat yang bertekstur mirip krim dengan taburan kacang dan bubuk kayu manis -- tampak berebut ruang. Minuman khas Palestina itu disajikan seorang pemuda yang baru keluar dari rumah yang berhadapan dengan tempat mereka berkumpul itu. Pemuda berambut ikal itu kemudian bergabung dan tampaknya mendominasi percakapan.
Kalau tidak di restoran-restoran di Libanon, Tepi Barat, atau Jordania, penduduk lokal membuat dan menyuguhkan sahlab hanya di hari dan momen tertentu.
Halaman 38
 
 
 
 
Salah satu adegan humor yang paling saya ingat adalah saat Rahmat dan Adin mencari pengasuh. Adegan seleksinya sangat terasa seperti adegan film. Klise dan tipikalis, sehingga berpotensi 'receh' meski saya yakin versi visual filmnya kemungkinan besar mengundang tawa. Para kandidat pengasuh ini unik-unik baik dari penampilan, gaya bicara, maupun tingkah lakunya. Ada yang seperti Mamah Dedeh, ada pula yang keartis-artisan seperti Syahrini.
 
Sepeninggal Rahmat keluar, ruang tengah kediaman rekannya itu disulap Adin menjadi studio pemotretan profesional. Semua jendela dan ventilasi ditutup dengan gorden hitam, dua buah lampu dengan tiang setinggi 1,2 meter mengarah ke kain abu-abu dengan motif polkadot. Sebuah kursi diletakkan di sana, tepat menghadap dua kursi yang Adin siapkan buat ia dan Rahmat duduk, menyeleksi para pelamar.
Halaman 155
 
Tak lama menunggu seorang perempuan dalam balutan gaun merah menyala membuka pintu. Lehernya dikalungi syal bulu berwarna senada yang menjulur hingga pinggang. Ia memasang pose setelah menutup pintu, seakan memberikan kesempatan pada Rahmat dan Adin memerhatikan outfit-nya lebih dahulu. Seperti terhipnotis, Adin dan Rahmat memandangi perempuan itu dari atas hingga bawah dan... mereka mendapati sepasang sepatu boots berhak dengan aksen bulu-bulu angsa dan kristal swaroski yang menyilaukan mata.
..
Ruang tamu dan tengah yang sedari tadi hening, kini diisi bunyi tik-tok-tik-tok. Tampaknya perempuan yang memanggil dirinya Inces itu sengaja menambah tekanan beban pada tumit sehingga bunyi hak sepatunya terdengar semakin keras ketika ia berjalan -- tentu saja tujuannya agar menajdi pusat perhatian.
Kini, Inces sudah duduk di kursinya.
"Begini, nama saya Rini. Tapi biasa dipanggil Inces Rini. Kenapa bisa begitu? Yaa kalian tahulah ya. Kan bisa dilihat dari penampilan yang cetar membahana badai ini." Inces sengaja membuat suaranya serak-serak basah sedemikian rupa, sehingga mengingatkan siapa pun dengan gaya bicara Syahrini, aktris Indonesia yang sensasional. "Oh ya, Inces dari Tasyik. Ya, dari Tasyik. Tasyik yang asyik dan syantik. Seperti itu."
Halaman 157
 
Kali ini giliran seorang perempuan bertubuh tambun. Sambil berjalan menuju kursi yang telah disiapkan, ia mengucapkan salam dengan setengah berteriak. 
Perempuan paruh baya bergamis dan berjilbab lebar itu langsung duduk di kursinya tepat ketika Adin dan Rahmat baru saja menajwab salam dengan lirih. Lampu sorot menyala ke arahnya.
Rahmat menyikut Adih yang juga tak menyangka akan kedatangan seorang penceramah.
Halaman 157
 
 
 
Novel ini memang ringan, mungkin itu sebabnya beberapa titik cerita tidak dielaborasi dengan rinci, misalnya bagaimana cara tokoh bisa bertahan 2 bulan di kapal, mengapa Rahmat meminta Adin membelikan cincin lamaran dan bukannya membeli sendiri, bagaimana proses pencarian seleksi pengasuh sebelum wawancara dilakukan, mengapa Bi Nurul mengatakan kalau ia sayang sekali dengan Hayya padahal baru saja ketemu saat itu (rasanya agak ganjil), dan saya merasa ada satu adegan di dalam buku yang kemungkinan salah ketik nama tokoh sehingga membingungkan konteks adegannya (Pak Erik di halaman 77).
 
Tapi di luar itu semua saya sangat tertarik dengan isu adopsi anak dari wilayak konflik yang diangkat di buku Hayya. Di buku ini disebutkan bahwa mengadopsi Hayya yang tidak punya dokumen internasional, sangat bisa berbuntut penjara buat Rahmat dan Adin. Menyembunyikan Hayya pun dianggap kasus kriminal. Rupanya, anak yang berasal dari wilayah konflik memang dilarang diadopsi. Benarkah demikian? Sepertinya saya akan mengontak teman saya yang profesional hukum untuk diskusi tipis-tipis topik ini.
 
 
"Tiap WNA yang akan berada di negara lain, tentu ada prosedurnya, Mat."
"Rahmat paham, Bah, tapi --"
"Tapi apa, Kang?" Abrar cepat memotong.
"Tapi keadaannya saat ini sungguh tak memungkinkan. Hayya tak memiliki dokumen apa pun."
"Justru karena Hayya tak memiliki dokumen apa punlah, akan membuat hukum dan aturan -- baik di Indonesia, maupun di negara asalnya -- dapat menyeret kita, khususnya Akang, ke dalam penjara." Abrar menyumbangkan pendapatnya. "Lagipula, anak yang berasal dari wilayah konflik memang dilarang diadopsi."
Halaman 225
 
"Gue butuh lu ceritain di sini, bagaimana urusan adopsi anak WNA."
"Wah gue gak punya referensi apa pun, kecuali beberapa program liputan khusus BBC yang mengangkat isu adopsi anak lintas negara dan... kalau gak benar-benar clear prosesnya, sebagian besar berakhir di pengadilan atau penjara karena tuduhan human-traficking. Tapi... itu kan acara TV, bisa aja banyak bumbu dramanya."
Halaman 227
 
 
Kisah Hayya juga mengangkat isu penting tentang korban anak-anak dalam peperangan, khususnya korban kekejaman Israel. Bukan baru ini kita menyimak berita nyata anak yang terluka, trauma, bahkan meninggal dunia, berikut foto-fotonya yang memilukan. Menurut kalian apa yang bisa kita lakukan untuk membantu mereka?

 
Novel Hayya punya ending cerita yang sedih tapi juga ada sisi bahagianya. Sebagaimana kehidupan di dunia yang tidak selalu bahagia atau berduka, bittersweet merupakan realita.

Cari yang ringan dengan isu yang serius? Bisa coba baca novel Hayya.
 

 

Siapa Helvy Tiana Rosa

Helvy Tiana Rosa lahir di Medan 2 April 1970. Ia menyelesaikan S1 dan S2 di Fakultas Sastra/Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia. Selain dikenal sebagai sastrawan, ia Dosen Fakultas Bahasa dan Seni, UNJ. Helvy menulis sekitar 60 buku, antara lain Perempuan yang Berdansa dengan Puisi/A Lady Dances with Poetry (Bitread, 2017), Juragan Haji (Gramedia, 2014), Tanah Perempuan (Lapena, 2009), Segenggam Gumam (Syaamil, 2003), dan Mata Ketiga Cinta (ANPH, 2012). Beberapa karyanya telah diterjemahkan dalam Bahasa Inggris, Perancis, Jerman, Arab, Jepang, Swedia dan Persia.

Siapa Benny Arnas

Benny Arnas lahir di Lubuklinggau, Sumatera Selatan, 8 Mei 1983. Ia merupakan Ketua Forum Lingkar Pena Lubuk Linggau yang pertama (2008). Pada tahun tersebut, ia mulai menulis karya sastra, dan di tahun yang sama cerpen pertamanya Dua Beranak Temurun dimuat Kompas. Setelah itu, cerpen-cerpennya merambah ke Koran Tempo, Jawa-Pos, Republika, Horison, Media Indonesia, dll.

 

 

-------------------------------

 

 

-------------------------------------------------------------------------


 

Dipidiff.com adalah sebuah media edukasi yang menginspirasi melalui beragam topik pengembangan diri, rekomendasi buku-buku, dan gaya hidup yang bervibrasi positif.

Diana Fitri, biasa dipanggil Dipi, adalah seorang ibu yang gemar berkebun, dan rutin berolahraga. Gaya hidup sehat dan bervibrasi positif adalah dua hal yang selalu ia upayakan dalam keseharian. Sambil mengasuh putra satu-satunya, ia juga tetap produktif dan berusaha berkembang secara kognitif, sosial, mental dan spiritual.

Lulusan prodi Pemuliaan Tanaman Universitas Padjadjaran, Dipi lalu melanjutkan studi ke magister konsentrasi Pemasaran, namun pekerjaannya justru banyak berada di bidang edukasi, di antaranya guru di Sekolah Tunas Unggul, sekolah kandidat untuk International Baccalaureate (IB), dan kepala bagian Kemahasiswaan di Universitas Indonesia Membangun. Setelah resign tahun 2016, Dipi membangun personal brand Dipidiff hingga saat ini.

Sebagai Certified BNSP Public Speaker dan Certified BNSP Trainerserta certified IALC coach, Dipi diundang oleh berbagai komunitas dan Lembaga Pendidikan untuk berbagi topik membaca, menulis, mereviu buku, public speaking, dan pengembangan diri, misalnya di Kementrian Keuangan, Universitas Negeri Semarang, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, BREED, Woman Urban Book Club, Lions Clubs, Bandung Independent School, The Lady Book Club, Buku Berjalan.id, SMAN 24 Bandung, SMAN 22 Bandung, dan lain-lain. Dipi juga pemateri rutin di platform edukasi www.cakap.com . Dipi meng-coaching-mentoring beberapa remaja dan dewasa di Growth Tracker Program, ini adalah program pribadi, yang membantu (terutama) remaja dan dewasa muda untuk menemukan passion dan mengeluarkan potensi mereka. 

Berstatus bookblogger, reviu-reviu buku yang ia tulis selalu menempati entry teratas di halaman pertama mesin pencari Google, menyajikan ulasan terbaik untuk ribuan pembaca setia. Saat ini Dipi adalah brand ambassador untuk Periplus Bandung dan berafiliasi dengan Periplus Indonesia di beberapa event literasi. Dipi juga menjadi Official Reviewer untuk Republika Penerbit dan berpartner resmi dengan MCL Publisher. Kolaborasi buku-bukunya, antara lain dengan One Peach Media, Hanum Salsabiela Rais Management, KPG, Penerbit Pop, Penerbit Renebook, dan Penerbit Serambi. Reviu buku Dipi bisa dijumpai di www.dipidiff.com maupun Instagram @dipidiffofficial. Dipi host di program buku di NBS Radio. Dulu sempat menikmati masa dimana menulis drop script acara Indonesia Kemarin di B Radio bersama penyiar kondang Sofia Rubianto (Nata Nadia). Podcast Dipi bisa diakses di Spotify DipidiffTalks.

Let's encourage each other to shape a better future through education and book recommendation.

Contact Dipidiff at DM Instagram @dipidiffofficial

 

 

 

TERBARU - REVIEW BUKU

Review Buku The Quiet Tenant - Clémence …

23-08-2023 Dipidiff - avatar Dipidiff

  National Best Seller One of The Most Anticipated Novels of 2023 GMA Buzz Pick A LibraryReads #1 Pick One of The Washington Post’s Notable Summer Books 2023One of Vogue’s Best Books of 2023One of Goodreads’s Most Anticipated Books...

Read more

Review Buku The Only One Left - Riley Sa…

23-07-2023 Dipidiff - avatar Dipidiff

    Editor's Pick Best Mystery, Thriller & Suspense The Instant New York Times Bestseller Named a summer book to watch by The Washington Post, Boston Globe, USA Today, Oprah, Paste, Country Living, Good Housekeeping, and Nerd Daily Judul...

Read more

Review Buku Helium Mengelilingi Kita - Q…

14-06-2023 Dipidiff - avatar Dipidiff

  Judul : Helium Mengelilingi Kita Penulis : Qomichi Jenis Buku : Sastra Fiksi, Coming of Age Penerbit : MCL Publisher Tahun Terbit : Maret 2023 Jumlah Halaman :  246 halaman Dimensi Buku : 14 x 20,5...

Read more

Review Buku Earthlings - Sayaka Murata

14-02-2023 Dipidiff - avatar Dipidiff

A New York Times Book Review Editors' ChoiceNamed a Best Book of the Year by the New York Times, TIME and Literary HubNamed a Most Anticipated Book by the New York Times, TIME, USA Today, Entertainment Weekly, the Guardian, Vulture, Wired, Literary Hub, Bustle, PopSugar, and Refinery29   Judul...

Read more

TERBARU - STORIES OF PLACES

Tomoro Coffee (a Story)

11-09-2024 Dipidiff - avatar Dipidiff

  Bandung sudah mulai masuk musim penghujan, setidaknya begitulah kelihatannya, karena dua hari ini hujan turun menjelang sore atau malam hari. Cuaca juga cenderung mendung dan syahdu. Cocok untuk ngopi di...

Read more

Woodyland Eatery Bandung (a Story)

23-07-2024 Dipidiff - avatar Dipidiff

    Tak terasa Juli 2024 tiba. Saya masih ingat begitu susahnya mengatur jadwal untuk sekadar ngopi di cafe atau resto bersama teman. Agenda yang satu ini memang salah satu yang paling...

Read more

Kalpa Tree di Ciumbuleuit Bandung (a Sto…

11-08-2022 Dipidiff - avatar Dipidiff

Airy, stylish international restaurant with glass walls, plants & wine, plus a pool & garden.   Baru kemarin, Rabu tanggal 10 Agustus 2022 saya ke Kalpa Tree dalam rangka meeting. Sebenarnya ini...

Read more

Marka Cafe + Kitchen (a Review)

16-10-2019 Dipidiff - avatar Dipidiff

  Untuk mereka yang biasa ngafe atau duduk-duduk nongkrong sambil menikmati kopi pasti sudah kenal kafe yang satu ini. Saya juga tahu Marka cafe karena diajak partner saya ngobrol-ngobrol tukar pikiran...

Read more

Cafe Nanny's Pavillon (a Review)

27-07-2019 Dipidiff - avatar Dipidiff

  "Do what you love, love what you do". Saya masih ingat sekali menggunakan kutipan itu untuk caption instagram saya waktu posting foto Nanny's Pavillon. Tapi benar ya, rasanya hari itu...

Read more

The Warung Kopi by Morning Glory (a Stor…

28-03-2019 Dipidiff - avatar Dipidiff

  Setengah ga nyangka dan setengah takjub juga begitu nemu kafe asyik kayak begini di wilayah Bandung Timur. Maklum sudah keburu kerekam di memori otak kalau kafe-kafe cozy adanya cuma di...

Read more

TERBARU - SELF EDUCATION

10 Tips Mengatasi Kesepian

05-12-2021 Dipidiff - avatar Dipidiff

  Apakah kamu akhir-akhir ini merasa kesepian? Rasa sepi ini ga cuma hadir saat sendiri, tapi juga di tengah keramaian, atau bahkan saat bersama orang-orang terdekat. Ada sebuah rasa hampa yang...

Read more

Tentang Caranya Mengelola Waktu

11-08-2021 Jeffrey Pratama - avatar Jeffrey Pratama

  “Seandainya masih ada waktu...” Berani taruhan, diantara kita, pasti pernah berkomentar seperti di atas, atau yang mirip-mirip, minimal sekali seumur hidup. Waktu merupakan satu-satunya sumber daya yang tidak dapat diproduksi ulang. Apa...

Read more

Cara Membuat Perpustakaan Pribadi di Rum…

25-09-2020 Dipidiff - avatar Dipidiff

  Perpustakaan sendiri punya kenangan yang mendalam di benak saya. Saya yakin teman-teman juga punya memori tersendiri ya tentang library. Baca juga "Arti Perpustakaan Bagi Para Pecinta Buku" Baca juga "Perpustakaan Luar...

Read more

The Five Things Your Website Should Incl…

17-08-2019 Dipidiff - avatar Dipidiff

  Website dan blog adalah portal wajib perusahaan masa kini. Penyebabnya tentu saja adalah kemajuan teknologi seperti internet dan gadget. Jaman sekarang memiliki bisnis tak harus memiliki bangunan fisik, cukup dengan...

Read more